"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Kamis, 01 Agustus 2013

Yaumul Quds; Moment Kehancuran Israel



Saya meminta seluruh umat Islam dunia untuk menjadikan hari Jumat
terakhir bulan Ramadhan - yang termasuk malam-malam Lailatul Qadar dan
juga dapat menjadi penentu nasib bangsa Palestina - sebagai Hari Quds
dan mengumumkan solidaritas internasional umat Islam dalam mendukung
hak-hak legal bangsa Palestina." Imam Khomeini

Lebih Separuh abad lamanya dunia dirundung duka oleh sebab lahirnya
sebuah nama di atas tanah bertuan, tumbuh di sana dan menjadi semakin
kuat dengan ability to survive (kemampuan bertahan) di tengah teritory
yang sama sekali tak ada ikatan kebangsaan dengannya. Siapa lagi kalau
bukan Israel, anak haram imperialisme, penyebab bagi tercipnya segala
polemik tak berkesudahan.

Ketika Israel disebut, spontan kita teringat pada sebuah nama yang
akan memandu pembicaraan ke arah yang jelas. Palestina! Ya, Palestina.
sebuah kata dimana kebisuannya adalah paradoks bagi kekejaman
konstalasi politik international, sebuah wilayah di tengah kawasan
timur tengah yang kaya minyak bumi, sekaligus bangsa yang menjadi
target utama dari agenda panjang penguasaan dunia. Demikian, layak
kiranya menyebut palestina sebagai "pintu terbuka" bagi siapa saja
yang ingin bersolidaritas, kemudian kata "Free Paestine" menjadi hak
untuk diteriakkan setiap orang di seluruh penjuru dunia.

Pada perkembangan belakangan ini, Kejelasan nasib Palestina terlihat
semakin samar di tengah pusaran prahara Timur Tengah. Inilah kenapa
Palestina menjadi sulit dinarasi, berdiri di antara dua wacana yang
talik ulur terkait pertanyaan program perjuangan Palestina ke depan;
apakah tetap pada perjuangan terbentuknya pemerintahan merdeka?
Ataukah sebatas menyepakati nota perdamaian yang sengaja dimunculkan
ketika zionis tidak dalam posisi menguntungkan?

Lebih mengecewakan lagi, HAMAS mengalami dis-orientasi dengan turut
ambil bagian angkat senjata dalam krisis Suriah. Mereka menganggap
bahwa pelengseran Basyar al-Assad sebagai proses awal kemenangan
Palestina. Langkah ini sangat disayangkan mengingat Palestina sendiri
masih di bawah penjajahan Israel sebagai musuh yang jelas di depan
mata.

Namun, meski realitas terlihat sedemikian acak, perlu disadari bahwa
Palestina dengan seluruh problematika yang muncul di Timur Tengah
merupakan paket tunggal yang dimainkan "tricky brain" zionis. Hal ini
dilakukan untuk mengalihkan pokok persoalan sebenarnya, dan tentu saja
dengan melanggengkan konflik antar negara di satu kawasan. sebuah
situasi yang hanya akan berakhir jika semuanya bersatu dalam satu
perjuangan; DELETE ISRAEL!, Mungkinkah?

Nampaknya, saatnya optimisme berbicara. Jika kita perhatikan secara
seksama situasi update tentang Timur Tengah, dapat ditemukan sebuah
gejolak sosial berbentuk spiral dimana rezim-rezim arogan mulai
tumbang oleh rakyat sendiri, atau setidaknya sedang berproses kesana.
Hal ini merupakan indikasi positif bagi kebangkitan rakyat di Timur
Tengah dimana di saat mereka mulai mengambil peran mengontrol jalannya
pemerintahan.

Dampak minimum yang dimunculkan ialah berubahnya formulasi pemegang
otoritas lama ke pejabat baru yang berujung pada terputusnya mata
rantai Israel dengan mitra-mitra sebelumnya, ini berpengaruh
signifikan dan sangat mungkin terjadi. Tentu saja, kemajuan di Suriah
adalah catatan tersendiri.

Jadi, apakah zionis dapat mengubah visi perjuangan Palestina? Mampukah
mereka mengganti slogan Free Palestine?

Jawabannya adalah tidak, karena masjid Al-aqsha adalah masjid semua
Muslim dan Palestina adalah suara yang memanggil seluruh dunia untuk
melawan kebiadaban zionisme. Inilah spirit yang diusung hari
Internasional Al-Quds, sebuah moment persatuan dan kebangkitan
International untuk pembebasan Palestina.


******************************************

Refleksi Yaumul Quds: Israel Yang Meluruh


Langganan menerima berbagai penghargaan jurnalistik, Jeffrey Goldberg
memang bukan wartawan sembarangan. Keturunan Yahudi AS yang pernah
menjadi prajurit Angkatan Bersenjata Israel di berbagai perang itu
adalah salah satu tangki pemikir elit rezim Zionis Israel hingga hari
ini. Berbagai tulisannya dipandang mencerminkan suara autentik
"negara" Yahudi di media massa AS.

Dalam liputan utama sepanjang 12 halaman di majalah bulanan The
Atlantic edisi Mei 2008 silam, Jeffrey Goldberg menguji kemungkinan
bertahannya entitas Israel di kawasan Timur Tengah. Dalam artikel
panjang itu, Godlberg memulai tulisannya dengan rangkaian pertanyaan:
"Bagaimana Israel bisa bertahan hidup 60 tahun lagi di belahan dunia
yang sudah membesarkan kelompok-kelompok perlawanan seperti Hamas?
Bagaimana Israel bisa berkembang bila angkatan bersenjatanya tak bisa
mengalahkan gerombolan kecil para peluncur roket (Hizbullah)? Apakah
penumpukan begitu banyak Yahudi di tempat yang demikian kecil hingga
menimbulkan "klaustrofobia" di kawasan dunia paling bergejolak itu
justru melemahkan daya tahan masyarakat Yahudi?"

Godlberg tampaknya berusaha menjawab berbagai kegalauan eksistensial
rezim zionis Israel, sembari menimbang ancaman internal
yang—menurutnya—terus berusaha menggagalkan solusi dua negara. "Saya
khawatir. Kalian bisa mencoba bertahan dari ancaman luar sebaik
mungkin, tapi kalian juga harus waspada dengan ancaman dari dalam,"
tulis Goldberg. "Saya benar-benar khawatir terhadap masa 10 sampai 15
tahun Israel di depan. Saya khawatir dengan delegitimasi, dan
delegitimasi adalah proses yang (masyarakat) Israel sendiri bisa ikut
serta melakukannya," imbuhnya.

Goldberg melanjutkan, "Kalangan Yahudi Amerika khususnya harus
menyadari bahwa segala sesuatunya sangat rapuh." Lantas, Goldberg
menekankan bahwa bertanya tentang pertanyaan terbesar (masa depan
eksistensi Israel) adalah baik, meski tak pernah memberi jawaban yang
jelas.

Penulis dan ekspatriat Israel, Leonard Fein, memerikan artikel
Goldberg sebagai tulisan yang "merusak secara tidak perlu." Katanya
lebih lanjut, "Hati saya hancur. Saya merasa kelam, tapi saya pikir
kita memang telah merusak (peluang) yang ada." Pendiri majalah Moment
itu meneruskan, "Sementara saya menghargai kemajuan ekonomi dan
sumbangan ilmiah [Israel], saya miris meramalkan apa yang akan terjadi
pada 60 tahun mendatang..."

Apa yang disampaikan Goldberg 5 tahun silam itu, tepatnya Mei 2008,
tampaknya terus menghantui elit politik dan militer di negeri itu.
Bagaimana tidak? Negara yang berdiri di atas tanah milik bangsa lain
itu kini sedang berada di pusaran torpedo yang dahsyat. Dua tiga
negara yang tampak begitu kuat dan berakar dalam ribuan tahun lamanya,
seperti Irak dan Suriah, bisa mendadak oleng, apatah lagi dengan
negara buatan yang ditanam oleh rezim penjajah yang datang nun jauh
dari wilayah itu.

Ketakutan dan kegelisahan bangsa ini dapat kita lihat setiap hari dari
serangkaian analisis dan komentar media massa mereka sendiri. Hampir
setiap hari barang satu dua analisis dari para pemikir Yahudi yang
mulai mempertanyakan makna dan maslahat kehadiran negara eksklusif
Yahudi di tengah-tengah lingkungan yang sama sekali menolaknya. Kian
hari kian jelas bahwa Israel ibarat minyak di tengah puluhan juta
liter danau yang tak mampu melebur.

Kegelisahan dan kegamangan eksistensial itu makin terlihat dari
keragu-raguan keputusan-keputusan elit Israel dalam menghadapi semua
perubahan yang terjadi di sekitarnya. Ia tak lagi tampak seperti
Israel di tahun 70-an dan 80-an yang gampang menyerang dan menginvasi
negara. Kini, bahkan untuk menyerang sepetak tanah Gaza atau Lebanon
Selatan saja, ubun-ubunnya sudah terasa bergetar keras. Bagaimana
tidak? Amerika yang menjadi ibu kandung saja kini bagai badak
kehilangan culanya menghadapi guncangan-guncangan Timur Tengah,
apalagi Israel.

Bukan suatu kegilaan lagi tampaknya bila sebagian peneliti berpikir
bahwa rezim palsu yang dicangkok di tanah asing itu bakal segera
lenyap dari peta kawasan, berganti menjadi sebuah negara asli bernama
Palestina dengan segala konsekuensi suka-duka berbagi tanah dan kuasa
dengan penduduk yang ada di sana. Hampir tak ada lagi orang pandai
yang menganggap kesirnaan Israel sebagai ide pandir di Timur Tengah,
kecuali mungkin sebagian kecil orang-orang sok-pintar yang duduk jauh
dari kawasan dan menonton kejadian hanya dari layar kaca. Selamat
Memperingati Yaumul Quds di Jum'at terakhir Ramadhan 1434 H

(voiceofpalestine.net)


"Saya meminta seluruh umat Islam dunia untuk menjadikan hari Jumat
terakhir bulan Ramadhan - yang termasuk malam-malam Lailatul Qadar dan
juga dapat menjadi penentu nasib bangsa Palestina - sebagai Hari Quds
dan mengumumkan solidaritas internasional umat Islam dalam mendukung
hak-hak legal bangsa Palestina." Imam Khomeini

Lebih Separuh abad lamanya dunia dirundung duka oleh sebab lahirnya
sebuah nama di atas tanah bertuan, tumbuh di sana dan menjadi semakin
kuat dengan ability to survive (kemampuan bertahan) di tengah teritory
yang sama sekali tak ada ikatan kebangsaan dengannya. Siapa lagi kalau
bukan Israel, anak haram imperialisme, penyebab bagi tercipnya segala
polemik tak berkesudahan.

Ketika Israel disebut, spontan kita teringat pada sebuah nama yang
akan memandu pembicaraan ke arah yang jelas. Palestina! Ya, Palestina.
sebuah kata dimana kebisuannya adalah paradoks bagi kekejaman
konstalasi politik international, sebuah wilayah di tengah kawasan
timur tengah yang kaya minyak bumi, sekaligus bangsa yang menjadi
target utama dari agenda panjang penguasaan dunia. Demikian, layak
kiranya menyebut palestina sebagai "pintu terbuka" bagi siapa saja
yang ingin bersolidaritas, kemudian kata "Free Paestine" menjadi hak
untuk diteriakkan setiap orang di seluruh penjuru dunia.

Pada perkembangan belakangan ini, Kejelasan nasib Palestina terlihat
semakin samar di tengah pusaran prahara Timur Tengah. Inilah kenapa
Palestina menjadi sulit dinarasi, berdiri di antara dua wacana yang
talik ulur terkait pertanyaan program perjuangan Palestina ke depan;
apakah tetap pada perjuangan terbentuknya pemerintahan merdeka?
Ataukah sebatas menyepakati nota perdamaian yang sengaja dimunculkan
ketika zionis tidak dalam posisi menguntungkan?

Lebih mengecewakan lagi, HAMAS mengalami dis-orientasi dengan turut
ambil bagian angkat senjata dalam krisis Suriah. Mereka menganggap
bahwa pelengseran Basyar al-Assad sebagai proses awal kemenangan
Palestina. Langkah ini sangat disayangkan mengingat Palestina sendiri
masih di bawah penjajahan Israel sebagai musuh yang jelas di depan
mata.

Namun, meski realitas terlihat sedemikian acak, perlu disadari bahwa
Palestina dengan seluruh problematika yang muncul di Timur Tengah
merupakan paket tunggal yang dimainkan "tricky brain" zionis. Hal ini
dilakukan untuk mengalihkan pokok persoalan sebenarnya, dan tentu saja
dengan melanggengkan konflik antar negara di satu kawasan. sebuah
situasi yang hanya akan berakhir jika semuanya bersatu dalam satu
perjuangan; DELETE ISRAEL!, Mungkinkah?

Nampaknya, saatnya optimisme berbicara. Jika kita perhatikan secara
seksama situasi update tentang Timur Tengah, dapat ditemukan sebuah
gejolak sosial berbentuk spiral dimana rezim-rezim arogan mulai
tumbang oleh rakyat sendiri, atau setidaknya sedang berproses kesana.
Hal ini merupakan indikasi positif bagi kebangkitan rakyat di Timur
Tengah dimana di saat mereka mulai mengambil peran mengontrol jalannya
pemerintahan.

Dampak minimum yang dimunculkan ialah berubahnya formulasi pemegang
otoritas lama ke pejabat baru yang berujung pada terputusnya mata
rantai Israel dengan mitra-mitra sebelumnya, ini berpengaruh
signifikan dan sangat mungkin terjadi. Tentu saja, kemajuan di Suriah
adalah catatan tersendiri.

Jadi, apakah zionis dapat mengubah visi perjuangan Palestina? Mampukah
mereka mengganti slogan Free Palestine?

Jawabannya adalah tidak, karena masjid Al-aqsha adalah masjid semua
Muslim dan Palestina adalah suara yang memanggil seluruh dunia untuk
melawan kebiadaban zionisme. Inilah spirit yang diusung hari
Internasional Al-Quds, sebuah moment persatuan dan kebangkitan
International untuk pembebasan Palestina.


******************************************

Refleksi Yaumul Quds: Israel Yang Meluruh


Langganan menerima berbagai penghargaan jurnalistik, Jeffrey Goldberg
memang bukan wartawan sembarangan. Keturunan Yahudi AS yang pernah
menjadi prajurit Angkatan Bersenjata Israel di berbagai perang itu
adalah salah satu tangki pemikir elit rezim Zionis Israel hingga hari
ini. Berbagai tulisannya dipandang mencerminkan suara autentik
"negara" Yahudi di media massa AS.

Dalam liputan utama sepanjang 12 halaman di majalah bulanan The
Atlantic edisi Mei 2008 silam, Jeffrey Goldberg menguji kemungkinan
bertahannya entitas Israel di kawasan Timur Tengah. Dalam artikel
panjang itu, Godlberg memulai tulisannya dengan rangkaian pertanyaan:
"Bagaimana Israel bisa bertahan hidup 60 tahun lagi di belahan dunia
yang sudah membesarkan kelompok-kelompok perlawanan seperti Hamas?
Bagaimana Israel bisa berkembang bila angkatan bersenjatanya tak bisa
mengalahkan gerombolan kecil para peluncur roket (Hizbullah)? Apakah
penumpukan begitu banyak Yahudi di tempat yang demikian kecil hingga
menimbulkan "klaustrofobia" di kawasan dunia paling bergejolak itu
justru melemahkan daya tahan masyarakat Yahudi?"

Godlberg tampaknya berusaha menjawab berbagai kegalauan eksistensial
rezim zionis Israel, sembari menimbang ancaman internal
yang—menurutnya—terus berusaha menggagalkan solusi dua negara. "Saya
khawatir. Kalian bisa mencoba bertahan dari ancaman luar sebaik
mungkin, tapi kalian juga harus waspada dengan ancaman dari dalam,"
tulis Goldberg. "Saya benar-benar khawatir terhadap masa 10 sampai 15
tahun Israel di depan. Saya khawatir dengan delegitimasi, dan
delegitimasi adalah proses yang (masyarakat) Israel sendiri bisa ikut
serta melakukannya," imbuhnya.

Goldberg melanjutkan, "Kalangan Yahudi Amerika khususnya harus
menyadari bahwa segala sesuatunya sangat rapuh." Lantas, Goldberg
menekankan bahwa bertanya tentang pertanyaan terbesar (masa depan
eksistensi Israel) adalah baik, meski tak pernah memberi jawaban yang
jelas.

Penulis dan ekspatriat Israel, Leonard Fein, memerikan artikel
Goldberg sebagai tulisan yang "merusak secara tidak perlu." Katanya
lebih lanjut, "Hati saya hancur. Saya merasa kelam, tapi saya pikir
kita memang telah merusak (peluang) yang ada." Pendiri majalah Moment
itu meneruskan, "Sementara saya menghargai kemajuan ekonomi dan
sumbangan ilmiah [Israel], saya miris meramalkan apa yang akan terjadi
pada 60 tahun mendatang..."

Apa yang disampaikan Goldberg 5 tahun silam itu, tepatnya Mei 2008,
tampaknya terus menghantui elit politik dan militer di negeri itu.
Bagaimana tidak? Negara yang berdiri di atas tanah milik bangsa lain
itu kini sedang berada di pusaran torpedo yang dahsyat. Dua tiga
negara yang tampak begitu kuat dan berakar dalam ribuan tahun lamanya,
seperti Irak dan Suriah, bisa mendadak oleng, apatah lagi dengan
negara buatan yang ditanam oleh rezim penjajah yang datang nun jauh
dari wilayah itu.

Ketakutan dan kegelisahan bangsa ini dapat kita lihat setiap hari dari
serangkaian analisis dan komentar media massa mereka sendiri. Hampir
setiap hari barang satu dua analisis dari para pemikir Yahudi yang
mulai mempertanyakan makna dan maslahat kehadiran negara eksklusif
Yahudi di tengah-tengah lingkungan yang sama sekali menolaknya. Kian
hari kian jelas bahwa Israel ibarat minyak di tengah puluhan juta
liter danau yang tak mampu melebur.

Kegelisahan dan kegamangan eksistensial itu makin terlihat dari
keragu-raguan keputusan-keputusan elit Israel dalam menghadapi semua
perubahan yang terjadi di sekitarnya. Ia tak lagi tampak seperti
Israel di tahun 70-an dan 80-an yang gampang menyerang dan menginvasi
negara. Kini, bahkan untuk menyerang sepetak tanah Gaza atau Lebanon
Selatan saja, ubun-ubunnya sudah terasa bergetar keras. Bagaimana
tidak? Amerika yang menjadi ibu kandung saja kini bagai badak
kehilangan culanya menghadapi guncangan-guncangan Timur Tengah,
apalagi Israel.

Bukan suatu kegilaan lagi tampaknya bila sebagian peneliti berpikir
bahwa rezim palsu yang dicangkok di tanah asing itu bakal segera
lenyap dari peta kawasan, berganti menjadi sebuah negara asli bernama
Palestina dengan segala konsekuensi suka-duka berbagi tanah dan kuasa
dengan penduduk yang ada di sana. Hampir tak ada lagi orang pandai
yang menganggap kesirnaan Israel sebagai ide pandir di Timur Tengah,
kecuali mungkin sebagian kecil orang-orang sok-pintar yang duduk jauh
dari kawasan dan menonton kejadian hanya dari layar kaca. Selamat
Memperingati Yaumul Quds di Jum'at terakhir Ramadhan 1434 H

(voiceofpalestine.net)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar