"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Jumat, 29 November 2013

Ketua DPR RI Gelar Pertemuan dengan Presiden Iran



Dalam rangkaian kunjungan ke Iran Rabu (20/11), Delegasi DPR yang dipimpin Ketua DPR Marzuki Alie menggelar pertemuan dengan Presiden Negara Republik Islam Iran Hassan Rouhani. Dalam kesempatan tersebut Ketua DPR mengucapkan rasa belasungkawa kepada bangsa Iran atas insiden ledakan di depan gedung Kedutaan Besar Iran di Beirut.

"Mereka yang melakukan aksi-aksi ini adalah pihak-pihak yang kalah dan membuktikan ketidakberhasilan mereka diantara masyarakat Iran." ungkap dia. Ketua DPR Marzuki Alie juga berharap hubungan bilateral antara Indonesia dan Iran yang sudah terjalin selama ini dapat terus diperluas disegala bidang.

Delegasi DPR juga melakukan kunjungan ke Research Institute of Petroleum Industry (RIPI). Delegasi berdiskusi mengenai kemungkinan kerjasama dalam memaksimalkan sumur- sumur tua yang banyak tersebar di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia serta berharap negara Islam Iran mau membantu serta memberikan ilmu serta pendidikan mengenai pemaksimalan eksplorasi sumur tua. Setelah berdiskusi delegasi melakukan peninjauan fasilitas yang tersedia di Research Institute of Petroleum Industry (RIPI).

Selanjutnya Delegasi DPR RI juga melakukan lawatan dan melihat aktifitas di Gedung Tehran Stock Exchange. Dalam perbincangan dengan Direktur Tehran Stock Exchange diketahui bahwa hampir mayoritas penduduk negara Republik Islam Iran mempunyai saham. Di Iran ada empat pasar bursa besar, salah satunya pasar bursa energi dan dalam perdagangan negara Islam Iran juga menganut sistem perdagangan dengan system Syariah.

Pada rangkaian acara terakhir, Delegasi DPR menggelar pertemuan dengan masyarakat Indonesia yang bersekolah dan bekerja di negara Republik Islam Iran- berlangsung di Wisma KBRI Teheran. Dalam kesempatan tersebut mahasiswa berkesempatan melakukan tanya jawab dengan Marzuki Alie sebagai Ketua DPR RI dan anggota Delegasi lainnya.

(dpr.go.id)

******************************
Marzuki Alie Terkesan dengan Iran


KETUA DPR Marzuki Alie tak bisa menyembunyikan ketakjubannya pada Iran saat mengunjungi negara itu, Jumat (22/11). Meski diembargo negara-negara Barat, Iran tetap maju secara luar biasa.

Awal Oktober 2013, Parlemen Iran berkunjung ke Kompleks Parlemen Senayan. Kini giliran Parlemen Indonesia yang diwakili Ketua DPR RI melawat ke Iran.

Banyak hal lain yang bisa dicontoh untuk membangkitkan nasionalisme, cinta terhadap negeri, menegakkan kedaulatan bangsa untuk sejajar dengan bangsa merdeka lainnya
Teheran -Iran yang diembargo negara-negara Barat sejak 1979 silam ternyata mampu bertahan bahkan jadi makin kuat sekarang.

Berpenduduk sekitar 75 juta jiwa, pendapatan per kapita negara itu mencapai 13.500 dollar AS per kapita atau sekitar empat kali lipat Indonesia.

Selain infrastrukturnya tumbuh pesat, hampir semua rayat Iran mengenyam pendidikan tinggi. Hal inilah yang membuat takjub Ketua DPR Marzuki Alie saat mengunjungi negara para mullah itu.

"Iran membangun alutsista dengan kekuatan sendiri. Banyak hal lain yang bisa dicontoh untuk membangkitkan nasionalisme, cinta terhadap negeri, menegakkan kedaulatan bangsa untuk sejajar dengan bangsa merdeka lainnya," kata Marzuki Alie melalui pesan singkat dari Teheran, Iran, Jumat (22/11).
Belajar dari Iran, Marzuki berharap pemimpin Indonesia memiliki sikap yang tegas dan lugas demi kepentingan nasional.

"Harus berani menegakkan kekuatan dan kedaulatan bangsa, dengan kemampuan dan kekutan sendiri. Caranya, utamakan produksi dalam negeri sendiri. Hal itu seperti dilakukan Iran, mereka mampu bertahan meski diembargo negara Barat,"ujarnya.

Kunjungan Marzuki Alie ke Iran merupakan balasan atas Parlemen Iran yang telah berkunjung ke Kompleks Parlemen Senayan pada awal Oktober 2013. Lawatan ke Iran, menurut Marzuki, adalah bagian dari diplomasi sesuai konstitusi.

(jurnalparlemen.com)

Sistem Demokrasi ala Iran: Demokrasi ‘Tangan Tuhan’

Oleh: Dina Y.Sulaeman


Ini tulisan lama, pernah dimuat di sebuah jurnal mahasiswa Indonesia di Iran tahun 2001. Isinya penjelasan yang cukup detil mengenai sistem pemerintahan Iran.

Taghyir-e qanun-e matbu’at be amsal-e an-che dar komisiun pisy bini syudeh masyru’ va be maslahat-e nizam va kesyvar nist. (Ayatullah Khamenei)

Kalimat singkat tersebut di atas adalah isi surat dari Ayatullah Khamenei, wali faqih (dalam bahasa Persia disebut rahbar) Republik Islam Iran. Artinya kurang lebih “Perubahan Undang-Undang Pers sebagaimana yang direncanakan oleh komisi (parlemen) tidak legal dan tidak layak bagi kemaslahatan sistem dan negara.”

Pada pagi hari 6 Augustus 2000, surat itu dibacakan oleh Jurubicara Parlemen Iran di depan kurang lebih 270 orang anggotanya. Juru bicara Parlemen, Mehdi Karoubi menyatakan, bahwa inilah negara bersistem wilayatul faqih yang dulu dibentuk oleh rakyat Iran(tahun 1979). Artinya, ketika seorang wali faqih mengeluarkan perintah, perintah itu wajib ditaati. Artinya, sidang pagi itu yang sedianya akan membahas rancangan amandemen terhadap UU Pers Iran harus dibatalkan.

Kekacauan pun segera menyusul. Para anggota parlemen saling bertengkar. Sebagian menyetujui pendapat Karoubi, sebagian memprotes. Mereka saling melemparkan kata-kata keras. Adu fisik pun sempat terjadi. Akhirnya, sebagian anggota parlemen dari kalangan reformis melakukan walk out.

Kekacauan dalam sidang parlemen Iran itu disiarkan oleh televisi Iran. Rakyat Iran kemudian melakukan demonstrasi besar di berbagai kota untuk menyatakan dukungan terhadap rahbar dan mengecam anggota parlemen yang menunjukkan sikap pembangkangan terhadap rahbar.

Dunia pun segera memberi tanggapan “prihatin” atas peristiwa di atas. Tak kurang Madeleine Albright, menlu AS pada Kabinet Clinton pun menyatakan penyesalannya atas “penindasan terhadap demokrasi” yang terjadi di Iran. Berita-berita yang beredar di media massa dunia umumnya bernada sama, yaitu bahwa pelarangan amandemen pers yang dilakukan Ayatullah Khamenei menggambarkan sistem pemerintah Iran yang antidemokrasi dan mengultuskan seorang manusia “biasa” (yaitu Ayatullah Khamenei).

Benarkan sistem wilayatul faqih tidak demokratis? Benarkah sistem ini idem ditto dengan pengultusan pribadi seseorang?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita ajukan pertanyaan lain, apakah seseungguhnya demokrasi itu? Apabila demokrasi diartikan dengan keputusan yang diambil harus berdasarkan suara terbanyak (atau bahkan, 50% +1), perlu pula kita pertanyakan, bagaimana bila suara terbanyak itu bertentangan dengan Al Quran?

Bila, misalnya, 50%+1 anggota parlemen (yang mengklaim diri sebagai pembawa suara rakyat, karena dipilih oleh rakyat melalui pemilu) bersepakat untuk mencabut pasal UU Pers yang melarang pemakaian parabola oleh masyarakat umum, bisakah keputusan itu diberlakukan? Negara-negara antiIran telah menggelontorkan dana sangat besar untuk membangun stasiun-stasiun televisi berbahasa Persia yang gencar memprovokasi rakyat Iran untuk menentang rezim. Apakah negara/pemerintah tidak boleh melakukan upaya pencegahan?

Atau, bila misalnya, 50%+1 anggota parlemen bersepakat mencabut pasal UU Pers yang melarang media massa Iran menerima dana dari luar negeri, bisakah keputusan itu diberlakukan? Pihak luar negeri yang bersedia memberi dana kepada media massa Iran tentu memiliki misi tertentu, yang bisa dipastikan akan merongrong pemerintahan Islam Iran. Apakah demi demokrasi, sistem pemerintahan Islam harus dibiarkan begitu saja dirongrong pihak luar?

Atau, bila misalnya, 50%+1 anggota parlemen di negeri antah-berantah bersepakat untuk menaikkan gaji mereka hingga 200%, bisakah keputusan itu diberlakukan?

Dalam pandangan the founding fathers-nya Iran, untuk menghadapi persoalan-persoalan di atas, harus ada sistem nilai yang lebih tinggi yang mengatur dan membatasi demokrasi itu sendiri. Mereka merumuskan, harus ada perpanjangan “tangan” Tuhan untuk menjaga agar demokrasi tidak keluar dari nilai-nilai Islam.

*

Republik Islam Iran dibentuk pada tahun 1979 melalui referendum. Sebelumnya, Iran selama 50 tahun berada di bawah kekuasaan rezim Pahlevi yang memerintah ala Suharto dan keluarganya. Perjuangan melawan rezim yang zalim ini dilakukan oleh ulama-ulama dengan cara mengajarkan ilmu dan hakekat Islam demi menanamkan pemahaman kepada masyarakat bahwa kezaliman harus dilawan. Satu persatu para ulama dipenjara, dibuang, bahkan dibunuh.

Pada tahun 1962, Ayatullah Ruhullah Khomeini diangkat menjadi marji’ taqlid. Sebelumnya, kegiatan beliau di bidang politik dilakukan dengan cara belajar, mengajar, dan menulis buku (diantara buku karya beliau adalah Kashf al-Ashrar yang berisi ajaran Islam tentang perjuangan melawan kezaliman dan Wilayah Al-Faqih). Setelah diangkat menjadi marji’ taklid, beliau memulai perjuangan politiknya secara terbuka dan gaungnya menggema ke seluruh pelosok Iran.

Dua tahun kemudian, tahun 1964, rezim Shah membuang Imam Khomeini ke Iraq (sampai tahun 1978, lalu pindah ke Paris). Namun, perjuangan tidak berhenti. Lewat surat maupun rekaman suara, beliau terus membangkitkan semangat rakyat Iran untuk menegakkan Islam dan menentang kezaliman.

“Berdiam diri dan tidak melawan terhadap tiran adalah bertentangan dengan ajaran Islam dan teladan yang ditunjukkan oleh Rasulullah dan para Imam Ma’shum,” demikian kata Khomeini dalam salah satu suratnya yang ditulis pada tahun 1978.

Rakyat menyambut seruan Khomeini dengan mengadakan demonstrasi besar-besaran silih berganti, menentang rezim Shah. Slogan “Esteqlal, Azadi, Jumhuriye Eslami” (merdeka, bebas, Pemerintahan Islam) selalu dikumandangkan dalam setiap demonstrasi. Tercatat lebih dari 60.000 orang meninggal selama masa perjuangan itu dan lebih dari 100.000 orang terluka atau cacat.

Akhirnya, pada akhir tahun 1978, Shah Pahlevi melarikan diri ke Mesir dan Khomeini kembali ke Iran pada awal tahun 1979. Pada tanggal 29 dan 30 Maret 1979 dilakukanlah referendum, yang diawasi juga oleh pengamat internasional. Hasil referendum adalah 98,2% rakyat Iran mendukung dibentuknya negara dengan sistem pemerintahan wilayatul faqih.

*

Semasa hidup Imam Khomeini, yang menjadi wali faqih adalah dirinya sendiri. Presiden Iran dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Presiden pertama Republik Islam Iran adalah Bani Sadr, seorang liberalis. Namun, setelah terbukti di pengadilan bahwa dia malah bekerja sama dengan pihak luar negeri untuk menghancurkan pemerintahan Islam Iran, dia pun dipecat oleh Khomeini.

Kemudian, kembali diadakan pemilu dan terpilihlah Syahid Rajai yang kemudian terbunuh oleh teroris. Berikutnya, diadakan pemilu kembali dan terpilihlah Sayyid Ali Khamenei sebagai presiden. Setelah empat tahun masa kepresidenannya selesai, rakyat sekali lagi memilih Sayyid Ali Khamenei untuk menjadi presiden periode kedua.

Pada tahun 1989, Imam Khomeini meninggal dunia. Menurut UUD RII, wali faqih sepeninggal Imam Khomeini dipilih oleh Dewan Ahli (Majlis-e Khubregan), yang terdiri dari 72 ulama-ulama yang mendapat kepercayaan rakyat (artinya, anggota Dewan Ahli ini dipilih oleh rakyat melalui pemilu). Para anggota Dewan Ahli ini memilih seorang ulama diantara mereka sendiri untuk dijadikan rahbar.

Sepeninggal Imam Khomeini, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei terpilih menjadi rahbar dan selalu kembali terpilih sampai saat ini (pemilihan atau pengevaluasian atas kapabilitas rahbar dilakukan setiap enam tahun sekali).

Kriteria seseorang yang berhak dipilih sebagai wali faqih adalah memiliki keilmuan agama yang dibutuhkan untuk memberi fatwa dalam urusan agama, memiliki integritas dan kesucian akhlak yang dibutuhkan untuk memimpin umat Islam, dan memiliki visi politik dan sosial, kebijaksanaan, keberanian, kemampuan adiministrasi, dan kemampuan pemimpin yang memadai. Apabila ada lebih dari satu orang yang memenuhi kriteria ini, seseorang yang lebih kuat visinya di bidang fiqih dan masalah-masalah politik harus diprioritaskan (pasal 109, Bab VIII, UUD RII).

Di depan hukum, seorang rahbar memiliki persamaan hak dan kewajiban sebagaimana hak dan kewajiban sebagaimana warga negara lainnya (pasal 108, Bab VII, UUD RII). Apabila rahbar tidak mampu menjalankan tugasnya atau kehilangan salah satu atau lebih kualifikasi yang seharusnya dimilikinya sebagai seorang rahbar, atau terbukti bahwa sesungguhnya sejak awal dia tidak memenuhi syarat sebagai rahbar, dia akan diberhentikan. Yang berhak memberikan penilaian terhadap rahbar adalah Majlis-e Khubregan (pasal 111 Bab VIII UUD RII).

Berdasarkan UUD RII pasal 110 Bab VII, tugas-tugas seorang rahbar adalah sebagai berikut:

1. Menentukan kebijakan umum RII setelah berkonsultasi dengan Dewan Penentuan Kelayakan Nasional (Majlis-e Takhis-e Maslahat-e nizham).

2. Mengawasi pelaksanaan kebijakan umum pemerintah.

3. Mengeluaskan dekrit untuk pelaksanaan referendum nasional.

4. Memiliki komando tertinggi dalam Angkatan Bersenjata Nasional.

5. Menyatakan perang dan damai, dan memobilisasi angkatan bersenjata.

6. Menunjuk, memberhentikan, dan menerima pengunduran diri dari: Anggota Dewan Penjaga (Syura-e Negahban), Ketua Mahkamah Agung (Quwe-ye Qazai-ye), Kepala Radio dan Televisi, Pemimpin Dewan Pengawal Revolusi Iran, Pemimpin Angkatan Bersenjata.

7. Menyelesaikan Perselisihan di Antara Tiga Kekuasaan Negara (Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif)

8. Menyelesaikan Masalah-masalah yang tidak terselesaikan dengan perantaraan Dewan Penentuan Kelayakan Nasional

9. Menandatangani surat pengangkatan presiden setelah dipilih oleh rakyat melalui pemilu.

10. Kelayakan para calon presiden, selain harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh UUD juga harus dikonfirmasi oleh Dewan Penjaga dan rahbar sebelum pemilihan.

11. Memutuskan penghentian presiden atas kepentingan negara, setelah Mahkamah Agung memutuskan bahwa presiden tersebut bersalah melanggar tugas-tugas konstitusionalnya atau setelah Parlemen menyampaikan mosi tidak percaya.

12. Memberikan pengampunan atau pengurangan hukuman dalam kerangka hukum Islam terhadap hukuman yang dijatuhkan oleh Ketua Mahkamah Agung.

*

Presiden Republik Islam Iran dipilih setiap empat tahun sekali dan berhak dipilih lagi untuk satu periode berikutnya. Calon presiden harus mendapatkan suara mayoritas mutlak agar dapat menjadi presiden. Apabila tidak ada satu calon pun yang memperoleh suara mayoritas mutlak, diadakan pemilihan kembali dengan dua kandidat yang memperoleh suara terbanyak. Pengadaan pemilihan umum dilakukan oleh Syura-e Negahban (pasal 114,117, dan 118 Bab IX UUD RII).

Anggota kabinet ditunjuk oleh presiden, namum sebelum bisa diangkat, calon-calon menteri harus menyampaikan program-program mereka di depan parlemen. Seorang calon menteri baru dapat diangkat menjadi menteri baru dapat diangkat menjadi menteri bila mendapat persetujuan anggota parlemen (pasal 133, Bab IX UUD RII).

Anggota Parlemen Iran (Majlis-Syura-e Islami) dipilih oleh rakyat melalui pemilu setiap empat tahun sekali. Jumlah anggota parlemen ini 270 orang dan bila diperlukan, bisa bertambah maksimal 20 orang. Kaum Zoroaster dan Yahudi berhak mengirimkan masing-masing satu wakil di parlemen. Kaum Kristen Assyrian dan Chaldean berhak memiliki satu wakli (bersama), dan kaum Kristen Armenia berhak memiliki dua wakil di parlemen (pasal 64, Bab VI UUD RII).

Rancangan undang-undang dapat diajukan oleh parlemen bila disetujui oleh dua pertiga anggota parlemen. Rancangan UU itu harus diserahkan kepada Dewan Penjaga untuk diverifikasi atau dinilai, apakah sesuai dengan hukum Islam atau tidak. Bila ternyata RUU tersebut bertentangan dengan hukum Islam atau UUD RII, RUU tersebut akan dikembalikan kepada parlemen untuk diperbaiki. (pasal 72, Bab VI UUD RII).

Dewan Penjaga (Syura-e Negahban) adalah dewan yang bertugas menjaga hukum-hukum Islam an UUD RII, memverifikasi rancangan undang-undang yang disampaikan oleh parlemen, dan menyelenggarakan pemilu untuk memilih Dewan Ahli, presiden, dan anggota parlemen. Anggota dewan ini adalah 12 orang yang dipilih tiap enam tahun sekali. Susunan dari Dewan Penjaga ini adalah:

-Enam Fuqaha (ahli hukum Islam) yang memenuhi kriteria dari segi integritas dan kemampuan dalam memahami kepentingan dan kebutuhan masyarakat masa kini (kontemporer). Mereka ditunjuk oleh rahbar.

-Enam hakim dari berbagai bidang hukum. Mereka dipilih oleh parlemen. Kandidat hakim yang akan duduk di Dewan Penjaga diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung (pasal 91 dan 92, 99 Bab VI UUD RII).

*

Kesimpulannya, Wali Faqih (Rahbar) dipilih oleh Dewan Ahli yang anggotanya dipilih oleh rakyat. Rahbar (yang pada hakekatnya ditunjuk oleh rakyat) menunjuk enam orang lainnya untuk menjadi anggota Dewan Penjaga. Artinya, anggota Dewan Penjaga pada hakikatnya juga dipilih oleh rakyat. Anggota kabinet baru dapat diangkat bila mendapat persetujuan dari wakil rakyat(parlemen).

Bila kita mencermati komposisi pembagian kekuasaan dalam sistem waliyatul faqih yang diaplikasikan di Republik Islam Iran, akan terlihat bahwa rakyat memiliki peran yang besar dalam negara. Artinya, kalau menggunakan kacamata Barat, sistem ini amat demokratis. Beda kedemokratisan sistem wilayatul faqih dengan demokrasi liberal ala Barat adalah bahwa dalam sistem wilayatul faqih ada “tangan” Tuhan yang membimbing jalannya demokrasi.

“Tangan” Tuhan itu secara simbolis diwakili oleh Rahbar, Sang Wali Faqih, karena dia dianggap sebagai sosok yang paling menguasai hukum Islam. Dalam kasus UU Pers Iran, Wali Faqih dengan otoritas keilmuan Islam-nya, menilai bahwa UU Pers yang ada sudah benar dan tidak bertentangan dengan hukum Islam; dan rancangan amandemen yang diajukan parlemen amat menyimpang dari hukum Islam.

(dinasulaeman.wordpress.com)

Seminar Internasional Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Menurut Perspektif Ali bin Abi Thalib (Democracy and Human Rights from Ali Bin Abi Thalib’s Perpective)




Pada hari Senin, 28 Oktober 2013, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga telah menyelenggarakan seminar internasional bertema “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Menurut Perspektif Ali bin Abi Thalib”.

Kegiatan ini merupakan pelaksanaan program kerjasama antara Iranian Corner Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga dengan Kedutaan Besar Republik Islam Iran. Kegiatan berlangsung di Convention Hall lantai 2 UIN Sunan Kalijaga dari pukul 09.00 s.d 12.00 WIB.

Pembicara yang hadir dalam seminar tersebut adalah: 1) Prof. Drs. Akhmad Minhaji, M.A., Ph.D. yang menyampaikan pidato kunci sekaligus membuka acara seminar internasional secara resmi mewakili Rektor UIN Sunan Kalijaga; 2) Dr. Mohammad Mehdi Mazaheri Tehrani (penasehat tinggi kementerian pada Menteri Penerangan Islam dan Kebudayaan Republik Islam Iran); 3) Dr. Mohammad Hosein Safakhah (Direktur Pusat Pengkajian pada Universitas Azad Iran); dan 4) Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, M.A.(dosen pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta).

Berperan selaku moderator adalah Muhrison, M.A., Ph.D (dosen pada Fakultas Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga). Selama berlangsung seminar, para narasumber dari negara Iran menggunakan Bahasa Persia dalam berkomunikasi. Untuk itu hadir Imam Ghazali, staf kedutaan Negara Islam Iran yang bertindak sebagai penerjemah dari Bahasa Persia ke dalam Bahasa Indonesia.

Seminar internasional ini dihadiri oleh 700 orang peserta yang terdiri dari para mahasiswa S-1 dan program pascasarjana, para dosen dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta, para pimpinan perpustakaan dan lembaga penelitian dari berbagai perguruan tinggi serta masyarakat umum di Yogyakarta. Kegiatan seminar internasional ini didukung sepenuhnya oleh Atase Kebudayaan Republik Islam Iran dan Al-Mustafa Al-Alam Foundation untuk Indonesia serta didukung oleh mitra perpustakaan yaitu Digibook Yogyakarta. Di akhir acara, sejumlah peserta yang mengajukan pertanyaan kepada para narasumber memperoleh doorprize menarik dari panitia penyelenggara.

Dari pelaksanaan seminar tersebut, penyelenggara berharap bahwa kajian-kajian tentang pemikiran dan kontribusi ilmuan Muslim seyogyanya terus dilakukan untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, dan perpustakaan dapat berperan startegis dalam pengelolaan dan penyebaran pengetahuan melalui berbagai kegiatan ilmiah seperti seminar.

(uin-suka.ac.id)

Iran Berbagi Pengalaman Demokrasi Dengan Indonesia





Sistem yang diberlakukan di Indonesia dengan sistem yang berlakukan di Iran ada beberapa hal yang secara prinsipil sama, namun juga secara teknis berbeda.
Perbedaan itu lebih dilatarbelakangi oleh sejarah dan budaya, adat istiadat, kebiasaan masyarakat termasuk kemungkinan aliran-aliran ideologi yang mungkin tumbuh di kedua Negara.

Hal tersebut diungkapkan Ketua Komisi II DPR RI, Agun Gunanjar Sudarsa usai menerima kunjungan Parlemen Iran bersama BKSAP (Badan Kerjasama Antar Parlemen) dan Grup Kerjasama Bilateral (GKSB) DPR RI, di Gedung Nusantara III DPR RI, Selasa (1/10/2013).

“Misalnya seperti yang dikatakan pimpinan delegasi Parlemen Iran, Amir Khojasteh tadi bahwa penyelenggaraan pemilu disana yang menyelenggarakannya adalah pemerintah, sedang di kita pemerintah tidak boleh intervensi sama sekali,” ungkap Agun.

Hal tersebut mungkin dilatar belakangi dengan kehidupan di Negara tersebut yang memang secara prinsipil dimana pemimpin itu Mulloh, dipilih berdasarkan kriteria-kriteria ajaran agama yang memberikan keteladaan dan kejujuran. Dan ketika itu terwujud maka pemimpin secara penuh bertanggung jawab atas pemerintahan yang ada termasuk, pengaturan bagaimana demokrasi itu dijalankan melalui mekanisme pemilu.

Selain itu,peserta pemilu pun disana lebih berangkat pada hak individu. Peserta pemilu siapapun orangnya dari daerah mana, status sosial apa dan golongan apa bisa menjadi calon. Sementara itu pembentukan komisi itu didasarkan atas keahlian dan kompetensi setiap individu.

Dengan kata lain,seseorang dipilih karena keterwakilan kepercayaan publik terhadap dirinya, sehingga basis individu itu begitu kuat dalam parlemen. Pemilihan gubernur pun bukan diserahkan kepada rakyat, melainkan kepada dewan kota.

“Sementara di Indonesia, seseorang bisa terpilih lewat sebuah partai politik. Sedangkan Gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat,” jelas Agun.

Ditambahkan politisi dari Fraksi Golkar ini, semua sistem ada plus dan minus nya. Namun untuk Indonesia jika menggunakan mekanisme tersebut jelas akan sulit, namun bisa saja diadaptasi karena konstitusi pun tidak melarang hal tersebut. Tetapi kultur budaya demokratik Indonesia yang belum terbangun secara penuh, sehingga jika mengadopsi budaya pemilihan langsung yang berdasarkan pada individu akan timbul konflik dan kerusuhan dimana-mana.


(dpr.go.id)

Menarik! Demokrasi ala China yang Komunis dan Iran `Konservatif`


Untuk kali keenamnya, Bali Democracy Forum diselenggarakan di Pulau Dewata.

Ini adalah forum yang inklusif, terbuka, dan konstruktif untuk berbagi pengalaman berdemokrasi. Tidak untuk menghakimi.

Salah satu yang berbagi pengalaman adalah China, negara berjuluk `Tirai Bambu` -- yang selama 30 tahun terakhir telah mereformasi diri dan makin terbuka pada dunia.

"China memiliki pencapaian hebat dalam bidang politik, ekonomi, kultural, dan pembangunan sosial.

Menciptakan 'China Miracle' -- keajaiban China yang menjadi perhatian dunia," kata Duta Besar China, Lu Shumin di Nusa Dua, Bali, Kamis (7/11/2013).

Sejurus dengan reformasi dan keterbukaan, juga kemajuan ekonomi, masyarakat China beralih dari struktur yang seragam menjadi plural. "Pemerintah dan rakyat China mengintegrasikan nilai-nilai universal dan prinsip demokrasi dengan realitas China," tambah Dubes Lu.

China membangun sistem demokrasi sosialisme yang sesuai dengan karakteristik negara. Apalagi, kata Lu, tak ada konsep demokrasi tunggal di dunia.

Sistem demokrasi sosialisme ala China terdiri dari Kongres Rakyat Nasional (NPC), sistem multipartai yang dipimpin Partai Komunis China, sistem otonomi regional bagi etnis minoritas, dan sistem pemerintahan sendiri di level bawah. "Ini adalah sistem politik yang dirasa paling mampu menyatukan keinginan dan kekuatan 1,3 miliar penduduk China," kata Lu.

China bukan lagi yang dulu, dimana rakyatnya banyak yang miskin. Kini, negara yang kuat dan masyarakat yang makmur adalah tujuan. Menurut Wamenlu, praktik membuktikan, hanya jika rakyat makmur, maka mungkin untuk meningkatkan stabilitas sosial, mendorong pembangunan ekonomi, "Dan memastikan kemajuan reformasi institusional dan politik, serta membangun politik yang demokratis,"kata Lu.

China, tambah dia, secara konstan juga mengembangkan sistem hukum yang demokratis dan mengimplementasikan penegakkan hukum. "Demokrasi bukan anarkhisme, tak bisa dipisahkan dari kerangka hukum.

Semua partai politik, organisasi, dan warga negara harus mematuhi konstitusi dan hukum."

China juga menolak pemaksaan atas nama demokrasi oleh pihak luar. "Demokrasi di berbagai negara sejalan dengan kondisi negara tersebut, bukan pemaksaan oleh kekuatan eksternal," kata Lu.


Iran Melunak?

Sementara, Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Monteza Samardi menegaskan, demokrasi bukan liberalisme.

"Demokrasi adalah cara memerintah di mana pemerintah merepresentasikan seluruh anggota masyarakat yang secara langsung atau tak langsung terlibat dalam isu dan keputusan yang terkait kepentingan mereka," kata dia.

Wamenlu menambahkan, Iran adalah tipe pemerintahan demokratis yang berlandaskan Islam. "Dalam model seperti ini, tak ada kontradiksi antara agama dan demokrasi," kata dia.

Demokrasi di Iran, kata Samardi, salah satunya diwakili dengan pemilu, baru-baru ini misalnya, di mana 73 persen dari 50 juta rakyat Iran terdaftar sebagai pemilih dalam Pilpres. "Pemilu adalah praktik demokrasi, sebuah praktik yang diadopsi rakyat Iran dalam aktivitas sosial dan politik."

Pemerintahan Iran saat ini adalah yang moderat, dalam kebijakan dalam negeri maupun internasional. "Republik Islam Iran mencoba menjauhkan diri dari pendekatan yang memaksa, mendominasi, tak bertanggung jawab, dan radikal terhadap isu-isu global," kata Samardi. "Sejalan dengan apa yang disampaikan Presiden Hassan Rouhani kepada Majelis Umum PBB tahun ini."

Iran bahkan mengajak masyarakat dunia bergabung dalam gerakanWorld Against Violence dan Extremism-- Dunia Melawan Kekerasan dan Ekstremisme.


(liputan6.com)

Buka Bali Democracy Forum VI, SBY Bagikan Tips Berdemokrasi ala Indonesia



Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) resmi membuka Bali Democracy Forum (BDF) VI di Nusa Dua, Bali. Orang nomor satu di Indonesia ini membagi-bagikan tips berdemokrasi kepada delegasi yang berasal dari Asia Pasifik.

BDF VI bertema 'Consolidating Democracy in Pluralistic Society'. Karena itu, dalam sambutannya, SBY menjelaskan beragamnya masyarakat Indonesia. Terdiri 3 ribu suku dengan beragam bahasa dan 17 ribu pulau.

"Bagaimana menyatukan itu semua? Kami berpegang pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika," kata SBY dalam bahasa Inggris di hadapan ratusan peserta BDF di Bali Nusa Dua Convention Center, Kamis (7/11/2013).

SBY yang mengenakan jas warna hitam ini menambahkan forum BDF diharapkan bisa menjadi tukar pengalaman, pandangan, dan promosi demokrasi. Di tengah perbedaan-perbedaan, ia menyebutkan Indonesia telah berhasil berdemokrasi.

"Caranya adalah pertama, menjamin prinsip demokrasi dalam Undang-undang," kata SBY.

Kedua, lanjut SBY, perlindungan terhadap kebutuhan dasar. Terutama dalam hal kebebasan beragama, berekspresi, dan lain-lain.

Ketiga, peningkatan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan demokrasi. Ini berkaitan dengan politik dan ekonomi atau kesejahteraan. Karena terbagi dalam berbagai wilayah, maka pemerintah Indonesia melakukan desentralisasi kekuasaan.

"Berbagai promosi demokrasi juga dilakukan, seperti toleransi dan sikap inklusif," katanya.

SBY membuka acara didampingi Menlu Marty Natalegawa, Sultan Hassanal Bolkiah, PM Timor Leste Xanana Gusmao. Sebelum sambutan, delegasi disuguhi tarian khas Bali. Usai pembukaan, acara dilanjutkan dengan pertemuan dan diskusi dari berbagai level, mulai dari tingkat menteri hingga dubes.

(detik.com)

Pesan Rakyat Iran kepada Amerika


Rakyat Iran pada hari Senin (4/11) menggelar pawai akbar untuk memperingati pendudukan Kedutaan Besar Amerika Serikat pada November 1979 lalu. Aksi ini mengisyaratkan ketidaksenangan mereka terhadap kebijakan konfrontatif AS, yang diadopsi untuk menghantam Republik Islam.

Mantan Sekjen Dewan Tinggi Keamanan Nasional Iran, Saeed Jalili dalam orasinya di Tehran, mengatakan slogan "mampus Amerika" adalah simbolis dan mencerminkan semangat perlawanan rakyat Iran terhadap pasukan intimidasi global, yang dipimpin oleh AS. Secara politis, Iran selalu membedakan antara warga negara Amerika dan pemerintah AS.

Sejarah mencatat daftar panjang kejahatan AS terhadap rakyat Iran antara lain, keterlibatan negara adidaya itu dalam kudeta militer 1953 di Iran, dukungan seperempat abad AS kepada rezim despotik Iran, dukungan untuk tindakan represif Shah Reza Pahlevi terhadap pengunjuk rasa, dukungan untuk Saddam Hussein dalam invasi ilegal ke Iran, penembakan pesawat sipil Iran oleh kapal perang AS, penerapan sanksi sepihak dan ancaman serangan militer terhadap Republik Islam, dan peran potensial AS dalam meneror para ilmuwan nuklir Iran.

Jadi, tak heran jika aktivis perdamaian AS, Noam Chomsky menyatakan bahwa AS telah menyiksa Iran selama lebih dari 60 tahun.

Kebijakan luar negeri AS memerlukan peninjauan ulang demi sebuah paradigma baru, berdasarkan penghormatan terhadap hak-hak bangsa Iran.

Para pejabat Tehran menyeru pemerintahan Obama untuk membuktikan ucapannya dalam aksi nyata.

Pada September 2013, Obama dalam pidatonya di Majelis Umum PBB, menyatakan bahwa AS tidak mencari perubahan pemerintahan di Iran menghormati hak-hak sah Iran. Oleh karena itu, Obama sudah seharusnya menghormati kedaulatan Iran dan hak nuklir damai Tehran sebagai penandatangan Traktat Non-Profilerasi Nuklir (NPT) dan anggota Badan Energi Atom Internasional (IAEA).

Semua itu harus dibuktikan dalam bentuk tindakan, tapi negosiator AS dalam perundingan nuklir dengan Iran, Wendy Sherman, baru-baru ini menghina Iran dengan komentar kasarnya. Dia bahkan memberi jaminan ke Israel bahwa AS tidak akan menawarkan pengurangan sanksi kepada Iran.

Sikap ini mengindikasikan bahwa AS tidak tertarik untuk mengakhiri kebuntuan nuklir Iran, yang digunakan sebagai alasan untuk menekan Republik Islam. Kebijakan AS terhadap Iran semakin dipertanyakan oleh sebagian besar masyarakat internasional, sebab Tehran telah menyatakan kesiapan untuk membangun interaksi konstruktif dengan dunia.

Semakin lama, perilaku kontraproduktif tersebut semakin kehilangan dukungan dan kepatuhan internasional. Beberapa aspek sanksi Uni Eropa telah dibatalkan oleh pengadilan Eropa meskipun ada tekanan dari Washington.

Mayoritas pakar Barat setuju bahwa kebijakan luar negeri baru yang diadopsi oleh Presiden Hassan Rohani akan menciptakan tantangan baru bagi sanksi-sanksi Barat yang dikenakan atas Iran.

Pemerintah Inggris pada September lalu, meminta AS dan Uni Eropa untuk mencabut sanksi yang dikenakan terhadap ladang gas alam Inggris-Iran di Laut Utara.
Belum lagi, tekad Pakistan untuk melanjutkan proyek pipa gas dengan Iran meskipun oposisi kuat dari AS.

Sebenarnya, jika AS ingin memperjuangkan kepentingan nasionalnya sehubungan dengan Iran, maka ada cukup banyak kepentingan bersama dan keprihatinan umum, yang saat ini terkubur oleh tekanan lobi-lobi Zionis dan negara tertentu di Timur Tengah.

(irib.ir)