"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Rabu, 11 September 2013

GAGASAN : Menuju Tempe Kedelai Dhewe

Tempe yang selama ini dikenal sebagai makanan rakyat bawah tiba-tiba
menggegerkan kancah komoditas pertanian nasional.

Penyebabnya tak lain adalah kelangkaan kedelai sebagai bahan baku
tempe. Ribuan pengrajin tahu-tempe terancam gulung tikar, dan
mengancam akan mogok berproduksi serta berunjuk rasa di mana-mana.

Itulah pelajaran yang perlu dipetik para pengambil kebijakan bahwa
barang yang dianggap sepele seperti tempe bila tak ditunjang kebijakan
yang kecedapat menyebabkan ekonomi rakyat memble.

Adalah hal yang sungguh ironis di negeri yang mengaku asal tempe
tetapi bahan bakunya adalah kedelai yang diimpor dari Amerika Serikat.
Ada apa dengan tempe? Mengapa suplai kedelai memble?

Itulah topik pekan ini yang menjadi sorotan pedagang tahu-tempe hingga
pejabat perlente.
Sesungguhnya saya sudah mengamati sejak 2005 bahwa suatu saat akan
terjadi masalah dengan kedelai jika tidak ada perhatian serius
terhadap penanaman komoditas kedelai tersebut (lihat gambar 1).
Ternyata di awal 2008 lalu terbukti masalah kedelai harus dibahas DPR
dan pemerintah demi menyelamatkan ekonomi rakyat.

Para pengusaha tahu-tempe yang mampu menyerap ribuan tenaga kerja di
level bawah ternyata harus menganggur karena kelangkaan kedelai.

Dari grafik tersebut terlihat kecenderungan impor dan produksi kedelai
nasional seharusnya diwaspadai sejak 2005. Apalagi, walaupun luas
lahan meningkat tetapi peningkatannya tidak seberapa, sementara
kebutuhan semakin meningkat dan impor meningkat tajam mulai 2005.
Dan lebih parahnya lagi kejadian serupa terjadi lagi pada 2013 ini.

Bagaimana kebijakan Kementerian Pertanian (Kementan)—lebih tepatnya
Menteri Pertanian–selaku pemangku kebijakan pertanian?
Jika ditilik dari kebutuhan kedelai nasional per tahun yang mencapai
2.2 juta ton, 1.8 juta ton di antaranya tersedot untuk pembuatan
tahu-tempe dan sejenisnya, dan anehnya 72% di antaranya atau hampir
1.58 juta ton masih tergantung dari impor.

Itu terjadi karena kebijakan perdagangan yang memungkinkan masuknya
kedelai impor bersubsidi dari luar negeri dengan harga murah dan
dengan pembayaran ringan yang berakibat melemahkan potensi produksi
dalam negeri dari waktu ke waktu.

Sementara itu, dengan perubahan pola penggunaan kedelai global dari
konsumsi pangan yang mulai didiversifikasi menjadi bahan bakar nabati,
meningkatlah permintaan kedelai dunia. Akibatnya seperti dirasakan di
Indonesia.

Dalam waktu hanya tiga bulan terakhir terjadi peningkatan harga
kedelai lebih dari 100 persen. Ini suatu lonjakan harga yang mencapai
rekor tertinggi sepanjang 34 tahun terakhir. Bahkan harga kedelai
lokal sudah mencapai Rp7.000-Rp10.000 per kilogram.

Produksi kedelai dalam negeri tak mampu lagi memenuhi kebutuhan
nasional, apalagi mewujudkan swasembada. Mengapa petani enggan menanam
kedelai?

Seharusnya dengan fenomena meningkatnya harga-biji-bijian di pasar
dunia, hal itu meningkatkan rangsangan bagi petani untuk menanam
kedelai secara besar-besaran. Bagaimana kiat untuk menggairahkan
petani menanam kedelai secara massal untuk mencukupi kebutuhan
nasional ?


Kunci di Penanaman

Asumsi bahwa tanaman kedelai itu tanaman asli daerah subtropis dan
kurang baik dibudidayakan di daerah tropis terpatahkan dengan berbagai
penemuan varietas unggul kedelai nasional seperti varietas lokon,
wilis, baluran, marubateri, dan lain-lainnya. Bahkan edamame(kedelai
sayur) pun sudah tumbuh baik di Jember, Jawa Timur.
Menurut saya yang berlatar belakang petani, kunci utama adalah di budi
daya kedelai.

Kuncinya adalah bagaimana budi daya kedelai bisa menghasilkan panen
yang banyak dan berkualitas baik. Selama ini petani enggan menanam
kedelai karena produktivitasnya yang rendah dan harganya yang tidak
cukup baik bagi petani.

Produktivitas nasional hanya berkisar 1 ton–1,2 ton per hektare dengan
harga hanya Rp3.000-Rp3.500 per kilogram saat itu. Jika biaya budi
daya per hektare (sarana produksi pertanian atau saprotan dan tenaga
kerja dihitung) sekitar Rp3 juta–Rp3.5 juta per hektare, pendapatan
petani dengan produktivitas satu ton/hektare hanya Rp3 juta–Rp3.5 juta
per hektare. Artinya tak ada keuntungan bagi petani.

Dengan program kemitraan dengan berbagai pihak, beberapa petani maupun
profesional di bidang pertanian telah mengkaji bahwa dengan teknik
budi daya yang baik dan intensif dan dukungan teknologi (benih unggul,
pemupukan berimbang, dan cara budi daya) yang baik maka produktivitas
tanaman kedelai dapat ditingkatkan menjadi 1,8 ton per hektare bahkan
pernah mencapai tiga ton per hektare untuk varietas unggul nasional
baluran.
Dengan pencapaian rata-rata dua ton per hektare saja dapat dipastikan
petani akan bergairah kembali untuk menanam kedelai.

Jika harga kedelai nasional bertahan pada titik keseimbangan Rp6.000
per kilogram, dengan produktivitas dua ton per hektare dan biaya yang
meningkat hingga Rp4 juta per hektare pun petani masih akan untung
hingga Rp6 juta per musim atau hampir Rp2 juta per bulan.

Tanaman kedelai hanya membutuhkan waktu 80 hari-90 hari dari penanaman
hingga panen. Banyak petani menggunakan pola tanam sela atau tanaman
jeda di antara dua penanaman padi di sawah. Kurang tepatnya kebijakan
pemerintah saat ini adalah ada rangsangan agar petani hanya menanam
dengan pola padi-padi-padi (tiga kali musim) padahal selayaknya
penanaman yang baik adalah padi-padi-kedelai atau padi-padi-jagung
atau palawija lainnya yang bisa mengembalikan kesuburan tanah atau
menjaga keseimbangan unsur hara.

Dari pantauan saya di beberapa lokasi di Jawa Tengah (Jateng) dan
Daeran Istimewa Yogyakarta (DIY), yang dibutuhkan petani adalah
"jaminan pasar". Jangan sampai peluang harga tinggi hanya sesaat,
tapi begitu panen harga turun lagi. Itulah pikiran praktis petani
kita. Oleh karena itu kunci kedua adalah pola kemitraan penanaman
dengan petani dan jaminan pasar.

Siapakah yang akan mampu menjamin pasar? Sementara kepastian
pemerintah untuk menunjuk Badan Urusan Logistik (Bulog) atau lembaga
lainnya sebagai lembaga penyeimbang komoditas kedelai masih menunggu
maka mekanisme pasar yang akan menjadi penentu harga kedelai di
pasaran.

Keseimbangan harga kedelai di tingkat petani dan pengrajin tahu-tempe
sebaiknya terjadi secara alamiah danmarket driven. Kalau petani kita
diintroduksi dengan varietas unggul kedelai, mereka akan senang sekali
menanam kedelai. Para petani punya harapan titik keseimbangan harga
beli pemerintah/lembaga yang akan ditunjuk nanti berkisar
Rp6.000-Rp7.000 per kilogram.

Akses terpenting untuk pengembangan kedelai adalah akses konsumen
produk kedelai yaitu para anggota Koperasi Tahu Tempe Indonesia
(Kopti) dan akses produsen kedelai yaitu para anggota Koperasi Tani
dan Nelayan (Koptan).

Dua hal inilah yang bisa memegang peran dalam rangka menuju kembalinya
"impian" swasembada kedelai nasional. Diharapkan di masa depan hal
ini bukanlah sebagai impian belaka tetapi dapat menjadi kenyataan.


Solusi

Sekali lagi apa pun langkah pemerintah apakah menurunkan bea impor
sampai nihil atau intervensi pola pertanian, sebagai petani saya tetap
berpendapat solusi yang tepat adalah tetap membudidayakan kedelai
sebagai tanaman produktif yang bukan hanya sebagai tanaman sela tetapi
sebagai pola tanam yang produktif menghasilkan pendapatan yang
berujung pada peningkatan kesejahteraan petani.

Ingat, tanaman kedelai tidak hanya berfungsi sebagai tanaman produksi,
tetapi juga sebagai tanaman yang dapat membantu keseimbangan unsur
hara tanah karena mampu menambat unsur nitrogen (N) bebas yang sangat
diperlukan bagi pertumbuhan tanaman dan kesuburan tanah.

Program ketahanan pangan dan kedaulatan pangan bukan hanya tanaman
pangan, tetapi palawija seperti budi daya kedelai juga harus
diperhatikan karena menopang hajat hidup orang banyak, khususnya
petani.

Niat baik untuk memberdayakan petani pangan ini perlu dukungan dari
berbagai pihak dan para pengambil kebijakan agar program ini dapat
menjadi program nyata khususnya untuk menangani masalah kedelai
nasional seperti yang terjadi saat ini. Di masa depan jangan lagi kita
menjadi "bangsa tempe kedelaiyu es e(USA)", tetapi kita menuju "bangsa
tempe kedelai dhewe (Jawa: hasil panen sendiri)".
Semoga…


Penulis: M. Sholeh
Pengamat masalah pertanian
Dewan Pembina Kontak Tani Nelayan Andalan Jawa Tengah
(Solopos.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar