mengendalikan harga kedelai yang sudah tak karuan.
Maklum saja, kedelai yang biasanya cuma Rp7-8 ribu per kilogram
tiba-tiba melambung jadi Rp10 ribu. Bahkan, belakangan sempat
menyentuh Rp12 ribu.
Tentu, ini memberatkan para perajin. Karena tidak mudah menaikkan
harga tahu dan tempe, akhirnya, mereka pun memilih mengurangi ukuran
untuk mengurangi dampak kerugian yang membesar.
Namun, hal ini sudah tak bisa dilakukan lagi. Sebab, sejak kemarin,
Senin 9 September, mereka memilih mogok produksi menunggu hingga harga
kedelai sedikit landai.
Mahalnya kedelai saat ini tak lain karena nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika Serikat yang sangat lemah. Kedelai pun, yang di Amerika
harganya masih stabil jadi lebih mahal ketika masuk Indonesia.
Namun, bukan kali ini saja para perajin tahu dan tempe ini berteriak.
Beberapa waktu lalu, saat terjadi kemarau panjang di Amerika Serikat,
impor kedelai pun terganggu. Harganya jadi melambung. Dari biasanya
Rp7 ribu melonjak jadi Rp9 ribu.
Intinya, harga kedelai sangat rentan dengan kondisi perekonomian
global. Mengapa demikian?
Catatan Kementerian Pertanian, konsumsi kedelai Indonesia pada 2012
mencapai 2,5 juta ton.
Konsumsi ini jauh dari produksi lokal yang hanya 700-800 ribu ton per
tahun. Itu sebabnya pemerintah sangat membutuhkan impor untuk
mencukupi kebutuhan dalam negeri. "70-80 Persen kebutuhan kedelai dari
impor," kata Menteri Pertanian Suswono.
Direktur Budidaya Aneka Kacang dan Umbi-umbian Ditjen Tanaman Pangan
Kementerian Pertanian Maman Suherman mengatakan, anjloknya produksi
kedelai tak lain karena regulasi impor yang dikeluarkan pada 1998.
Karena banyak barang impor, saat panen raya harga kedelai bisa jatuh
jadi Rp3-4 ribu per kilo.
Padahal, harga produksinya Rp5 ribu. "Petani akhirnya lebih tertarik
menanam jagung dan padi," katanya.
Menteri Pertanian sebenarnya sudah mengetahui masalah ini.
Lahan pertanian kedelai menurun tajam dari sebelumnya 1,5 juta hektare
kini tinggal 700 ribu hektare. Karena itu, sejak 2011, atau bahkan
sebelumnya, pemerintah sudah merancang menambah lahan pertanian.
Setidaknya 2 juta lahan pertanian tengah disiapkan. Lahan ini untuk
menanam tebu (500 ha), kedelai (500 ha), dan padi (1 juta ha).
Tentu tak cuma penyediaan lahan, pemerintah juga akan mematok harga
kedelai Rp7 ribu per kg. Harga ini, kata Suswono sangat menarik bagi
petani, dibanding sebelumnya Rp4.500.
Menteri Negara BUMN Dahlan Iskanjuga pernah mengatakan, PT Perhutani
dan PT Perkebunan Nusantara memiliki puluhan ribuan herktare lahan
yang siap ditanami kedelai. Sebelumnya, lahan-lahan ini baru ditanami
dengan skala kecil-kecilan, sehingga tak cukup membantu mengatasi
tingginya harga pangan.
Indonesia, kata Maman, pernah swasembada kedelai pada 1992 dengan
produksi 1,87 juta ton.
Kedelai ini dari 1,8 juta hektare lahan. Namun, masa kejayaan itu
berakhir sejak pemberlakuan perdagangan bebas pada 1998.
Sejak saat itu, kata dia, kedelai impor marak berdatangan sehingga
kedelai lokal tidak bisa bersaing.
Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Aip Syarifudin
mengatakan masa kejayaan produsen tempe dan tahu nasional telah
berakhir sejak 1998. Hampir selama 20 tahun sejak 1979, kedelai
dimonopoli Bulog. Hingga akhirnya pada 1992 swasembada kedelai
terwujud. "Ini masa keemasan kami para perajin kedelai," kata Aip.
Tapi, pada 1998 Dana Moneter Internasional mensyaratkan adanya
perdagangan bebas, termasuk di perdagangan kedelai. Sejak saat ini
kedelai impor membludak.
Aip mengatakan sejak 1998 pihaknya mulai kerap unjuk rasa, hingga
mogok berproduksi. Ini semua karena harga kedelai yang sangat
fluktuatif, tergantung kondisi dunia.
Kini, seiring kembalinya campur tangan Bulog, Gakoptindo berharap
pemerintah bisa membuat tata niaga kedelai yang labih baik. Pastinya,
agar bisa swasembada kedelai lagi.
(viva.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar