KARTINI-KARTINI
Malam Kartini-Kartini
Yang berserak di remangnya:
perempuan-perempuan dijalan-jalan..
Terlihat sumringah tertawa-tawa…
Tetapi tidak dengan
hatinya: mereka sekarat lamat-lamat..
MEREKA: Kartini-Kartini..
Penggalan puisi diatas tertuang begitu saja
ketika saya terinspirasi dengan keruwetan Kartini, yang menggambarkan jati diri
perempuan dari zaman ke zaman.
Bahwa perempuan lekat sekali dengan
keterpasungan, ketidakadilan pun ketidaksetaraan dan kerap dinomorduakan.
Begitu pula R.A. Kartini, yang terlahir pada 21 April tahun 1879 di
Bagimanpun, seorang Kartini selalu menyikapi
kodratnya sebagai perempuan dengan kewajaran dalam artian ia masih bersikap
toleran dan mempunyai cita-cita yang merepresentasikan suara wanita pada
zamannya. Sehingga pemikiran-pemikiran Kartini untuk mengubah pandangan
masyarakat Indonesia
terhadap perempuan pribumi dapat diterima dan banyak menjadi inspirasi. Yang
diinginkan Kartini adalah bahwa wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan
belajar. Dengan berani ia menggugat budaya Jawa yang dipandang sebagai
penghambat kemajuan perempuan.
Kartini menggambarkan penderitaan wanita Jawa
akibat kungkungan adat yang tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus
dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia
dimadu. Dan melalui perkenalannya dengan Estelle Zeehandelaar, ia mengungkap
keinginannya -yang bisa dibilang- sederhana untuk menjadi seperti kaum muda
Eropa. Melihat pemikiran Kartini yang memang “sederhana”, saya berpendapat
bahwa Kartini adalah sosok perempuan biasa, yang justru dengan ke-biasa-annya
menjadikan dia pribadi yang luar biasa. Dalam keterkungkungan jiwa, seorang
Kartini mampu menjadi sosok bebas yang bertanggung jawab, ia menunjukan bahwa
represi dominan patriarki hanya bisa memenjarakan badan, tapi tidak dengan
jiwanya. Kalau tidak, tentulah semangat Kartini tidak akan pernah mampu
menginspirasi.
Dan saat ini, setelah genap 134 tahun
bergulirnya era Kartini, teknologi telah menjadi satu bagian penting yang
dengan mudah bisa diakses oleh kalangan perempuan. Hal ini sangat berpengaruh
pada pengetahuan dan wawasan yang dimiliki Kartini-Kartini Indonesia .
Yaitu dengan berkembangnya daya pikir setiap individu. Kita bisa melihat fakta
bahwa wanita dapat belajar memalui situs-situs online yang memberikan informasi
mengenai hal-hal yang dicari. Melalui proses ini, pendidikan dapat ditempuh
dengan teknologi. Memang, tidak akan ada ijazah seperti layaknya sekolah
formal. Tetapi pendidikan juga bukan hanya sebatas duduk dan mendengarkan.
Melainkan proses belajar keingintahuan seseorang, baik formal atau pun
nonformal. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan Kartini yang terus menjadi
pembelajar melalui buku-buku bacaan tanpa harus sekolah.
Gambaran diatas hanyalah sekelumit bagian dari
kehidupan wanita Indonesia
di era digital. Bagi mereka perempuan yang dibekali pendidikan memadai tentu
bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, penghargaan yang mutlak. Kenyataannya
masih banyak Kartini-Kartini
Indonesia yang
berjejal menantang kehidupan. Mereka yang tidak menikmati kemajuan, mereka yang
tidak mampu mengakses teknologi informasi. Mereka perempuan-perempuan yang
marak menjadi pemberitaan di televisi dan koran-koran, mereka yang hidup
dijalanan, mereka yang berstatus PSK, TKW yang disiksa majikan, mereka yang
menjadi korban trafficking, yang mengalami pelecehan seksual, juga sadisnya
tindakan KDRT hingga membuat nyawa melayang. Utamanya kasus kekerasan seksual yang
kian kemari kian unjuk gigi. Apakah ini semua salah satu bagian dari dampak
kemajuan teknologi? Bagaimana sejatinya Kartini-Kartini modern menyikapinya?
Tentu saja, ini menjadi PR bagi saya, anda dan
kita semua, bagi para Kartini Indonesia
masakini yang sejatinya mengoptimalkan teknologi secara positif. Bukannya
menghabiskan pulsa untuk sekedar chatting dan browsing sebagai penggenap
kebutuhan rekreasi , bukan pula berlomba berkonde berkebaya, BUKAN. Melainkan
membuka nurani dan mata hati bahwa saatnya menyuarakan kembali pemikiran
pembaharuan seorang Kartini. Bahwa Kartini era digital Indonesia
sedianya mampu memanfaatkan kebebasan yang ada dengan maksimal dan bertanggung
jawab. Dengan bantuan teknologi, wanita Indonesia dapat memberdayakan
kemampuan dan pikirannya untuk saling berbagi ilmu dan mendapatkan income
melalui teknologi. Memberdayakan banyak perempuan yang mampu membebaskannya
dari keterbatasan ekonomi. Sehingga kedepannya tidak ada lagi berita tentang
Kartini Indonesia
yang harus menderita mengais rezeki di negeri orang. Tidak ada lagi Kartini
yang harus menjual tubuh demi sebotol susu untuk anak-anaknya. Tidak ada lagi
cerita tentang Kartini Indonesia
yang hilang akal sehingga lebih memilih membuang jabang bayi semata alasan
ekonomi.
Well, di era globalisasi ini dengan adanya
social media yang memfasilitasi, semakin mudah bagi kita para Kartini untuk
menuangkan ide-ide gemilang dan bersinergi. Menyatukan para Kartini yang
memiliki kemampuan berbeda ke dalam suatu sistem kerja sama terpadu guna
mencapai kesuksesan bersama. Itulah yang harus kita manifestasikan saat ini.
Karena kasus-kasus pelecehan, KDRT, trafficking, sosial, dan semua yang terkait
dengan keperempuanan dan dunianya hanya bisa diselesaikan dengan sinergi para
perempuan sendiri. Kita para Kartini dapat menyuarakan segala persoalan dan
mencari solusi dengan memanfaatkan jejaring sosial, media dan semua akses
teknologi. Maka, tidak ada lagi alasan untuk bersikap acuh dan hidup dalam
kepentingan diri. Sebab sejatinya Kartini dan para pejuang bukan sosok yang
hidup untuk dirinya sendiri.
Bisa dibilang Kartini sekarang -sebagian-
telah menikmati apa yang disebut persamaan hak, apa yang disuarakan sebagai
emansipasi perempuan. Tapi perjuangan belum berakhir, masih banyak dirasakan
penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Dari itulah saya
mengajak segenap perempuan untuk tetap bersinergi dan berkarya. Menjadi Kartini
era digital Indonesia
yang sadar terhadap fitrahnya sebagai istri dan ibu namun menyimpan semangat
kemajuan yang melampaui adatnya.
Ini memang sudah tanggal 22 April pasca puncak
selebrasi Kartini yang sejatinya selalu dirayakan pada hari ke-21 di bulan
April. Bagaimanapun, menurut saya setiap hari adalah hari emansipasi bagi
setiap perempuan di Indonesia .
Sehingga, walau tulisan ini sejatinya sudah dibuat genap setahun yang lalu,
saya justru menyengaja untuk memposting dan membaginya di akun Kompasiana.
Kenapa? Mungkin ada baiknya jika kita sedikit berkontemplasi mengenai Kartini.
Apatah yang membedakan sosok Kartini dan pahlawan wanita Indonesia
lainnnya yang juga tak kalah mengagumkan seperti Cut Nyak Dien dan Martha
Christina Tiahahu? Mereka -tentu saja- sama-sama memperjuangkan privilege
kebangsaan negara. Sama-sama menorehkan perjuangan panjang seumur hidupnya
untuk bangsa kita tercinta, negara Indonesia . Hanya saja, Seorang
Kartini menuangkan gagasannya, melawan ketidak-adilan dan kesemena-menaan
dengan pena bukannya pedang ataupun Samurai.
Ya, dengan menulis pemikiran-pemikiran seorang
Kartini menjadi tak lekang dan terus dikenang, dimana gagasannya bahkan masih
relevan sampai sekarang. Pemikirannya yang universal mampu menerobos
batas-batas etnisitas dan primordialisme. Sehingga tidak mengherankan jika
tulisan Kartini banyak memberi pengaruh bagi tokoh-tokoh pergerakan di masa
awal. Karena itu, di zaman yang makin sarat dengan fasilitas menulis baik
secara manual maupun digital, siapapun kita, Kartini era kini, entah pelajar,
dokter, mahasiswi, Manager, Ibu rumah tangga, buruh migran, pengusaha ataupun
guru -dan apapun profesinya, jadilah Kartini pengusung pena untuk tetap
menuliskan ide dan cerita kita untuk disebarkan, untuk dikenang, yang mampu
memberi banyak inspirasi dan nutrisi positif bagi semua. Berusahalah menjadi
Kartini era kini yang konsisiten untuk memanfaatkan teknologi sebagai alat yang
menjebatani kita para Kartini untuk bisa menjadi agen perubahan, menjadi
wanita-wanita mandiri yang berdikari dan saling bersinergi. Dan untuk segenap
perempuan Indonesia :
SELAMAT HARI KARTINI, untuk hari kemarin, hari ini dan seterusnya… Salam unjuk
PENA, Salam Kompasiana!
Taken from my last-year note, April 21, 2012
Didowardah (kompasiana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar