"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Jumat, 03 Mei 2013

Serangan Cyber, Alat Baru Propaganda AS


 Beberapa dugaan ancaman cyber tidak lain kecuali hanya perang urat saraf dan propaganda untuk menyudutkan lawan. Meskipun semua tahu bahwa Amerika Serikat memimpin perang di dunia maya, tapi negara itu tetap ingin mengesankan dirinya sebagai korban.


 Selama beberapa tahun terakhir, banyak negara menemukan jejak Amerika dalam berbagai serangan cyber termasuk peretasan ke pusat komputer instalasi nuklir Iran. Akan tetapi, Washington gigih menuding negara-negara lain telah melakukan serangan terhadap mereka.


 Amerika dalam beberapa bulan ini mengaku sudah menjadi korban serangan para peretas dari beberapa negara. Kendati ancaman cyber termasuk jenis ancaman yang perlu diperhatikan, namun Washington sepertinya bersikap over acting dalam masalah tersebut.

 Menurut pejabat Amerika, para hacker hanya meretas jaringan informasi rahasia Negeri Paman Sam. Sementara serangan cyber Amerika ke negara-negara lain bahkan telah mengancam sistem finansial negara sasaran dan juga keselamatan warga. Sebagai contoh, serangan virus Stuxnet terhadap instalasi nuklir Natanz Iran pada tahun 2010.

 Pada Juni 2012, New York Times melaporkan bahwa Obama diam-diam juga memerintahkan serangan cyber dengan virus Stuxnet untuk menyabotase instalasi nuklir Iran.

 Namun, Iran telah berulang kali berhasil menjinakkan virus, termasuk virus Stuxnet dan Flame yang menargetkan berbagai sektor. Kedua worm itu adalah bagian dari program rahasia AS-Israel yang bertujuan untuk mengacaukan program nuklir damai Republik Islam.

 Menyusul serangan berulang itu, Wakil Rusia di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Dmitry Rogozin menyerukan penyelidikan terhadap serangan ke reaktor nuklir Iran dan memperingatkan tentang bencana yang mungkin ditimbulkan akibat aksi itu.

 Iran dan Cina adalah dua negara yang selalu menjadi sasaran tudingan Amerika terkait aktivitas peretasan. Washington kadang juga mengaku bahwa pusat data mereka mendapat serangan cyber dari Tehran dan Beijing. Dalam kerangka itu, Gedung Putih rutin mengeluarkan peringatan dan statemen dengan tujuan untuk membesar-besarkan ancaman yang mereka terima.

 Dua situs utama militer Cina, termasuk situs Departemen Pertahanan, menghadapi sekitar 144.000 kali serangan setiap bulan, hampir dua pertiga di antaranya berasal dari Amerika. Akan tetapi, Presiden Barack Obama justru berpendapat bahwa sebagian serangan dunia maya terhadap sejumlah perusahaan Amerika yang berasal dari Cina "disponsori negara."

 Obama memperingatkan untuk menghindari "perang retorika" dan menyerukan Kongres memperkuat keamanan jaringan internet Amerika. Ia juga sudah menandatangani aturan baru yang mengatur tentang keamanan di dunia maya atau cyber-security. Aturan ini memungkinkan pemerintah untuk berbagi informasi mengenai adanya ancaman cyber dengan perusahaan privat.

 Berkenaan dengan Iran, New York Times menulis bahwa para pejabat Amerika sama sekali tidak menyerahkan bukti yang mengindikasikan keterlibatan Iran dalam serangan cyber. Meski demikian, mereka percaya bahwa serangan itu dilakukan oleh Iran sebagai aksi balas dendam atas sanksi ekonomi dan virus Stuxnet.


 Standar Ganda AS Terkait Serangan dan Keamanan Cyber


 Standar ganda Amerika Serikat dalam menghadapi serangan cyber dan juga pelanggaran yang terjadi dalam penyusunan dokumen legal komprehensif untuk menghentikan serangan tersebut, pada akhirnya memaksa pemerintah Cina mereaksi.

 Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina menyatakan, "Cina sebagai salah satu korban terbesar serangan cyber, siap untuk menggelar perundingan berdasarkan prinsip penghormatan timbal balik dengan masyarakat internasional termasuk Amerika Serikat untuk menyelesaikan masalah ini."

 Hua Chuying mengatakan, "Dalam sebulan pada tahun 2012, situs Kementerian Pertahanan Cina menghadapi lebih dari 140 ribu serangan cyber yang dua pertiganya berasal dari Amerika Serikat."

 Pusat Koordinasi Respon Darurat Jaringan Komputer Nasional Cina (CNCERT), sebagai badan keamanan internet tertinggi di negara itu, mencatat bahwa serangan cyber dari pihak asing terhadap jaringan komputer Cina "semakin serius." CNCERT menegaskan, lebih dari separuh serangan cyber itu datang dari Amerika Serikat, yang sering menuding Cina telah meningkatkan serangan cyber destruktif terhadap sistem pemerintahan dan jaringan industri di Paman Sam.

 Berdasarkan laporan tersebut, hanya selama dua bulan pertama tahun ini tercatat 2.196 server yang berbasis di AS yang "mengontrol" 1,29 juta host komputer di Cina, dan menjadi "negara teratas" yang melancarkan serangan cyber ke server dan host komputer di Cina.

 Dalam beberapa waktu terakhir Washington dan Beijing gencar melontarkan tudingan serangan cyber. Namun para pejabat tinggi Cina khususnya para perwira militernya dalam sidang parlemen tahunan negara ini menolak segala bentuk keterlibatan dalam aksi-aksi serangan cyber.

 Wang Hungwang, Wakil Panglima Militer Cina dalam hal ini mengatakan, "Para pejabat Amerika Serikat sama seperti seorang maling yang menuding pihak lain sebagai pencuri."

 Bukan hanya Cina yang mengklaim telah menjadi sasaran serangan cyber Amerika Serikat. Bulan November 2012 lalu, koran Express terbitan Perancis mempublikasikan laporan mengenai serangan cyber dari Amerika Serikat terhadap situs istana kepresidenan Elysee. Para pejabat Washington cepat-cepat menepis laporan tersebut.

 Meningkatnya serangan cyber Amerika Serikat ke berbagai negara menuntut penyusunan sebuah dokumen legal komprehensif untuk menghentikan serangan tersebut. Akan tetapi Amerika Serikat menentang penyusunan dokumen tersebut dan dengan memberlakukan standar ganda, Washington berusaha membatasi gerak pihak lain.

 Banyak pengamat yang berpendapat bahwa Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir membobol arsip informasi di banyak negara yang sebagian besarnya memiliki dampak destruktif. Akan tetapi mengingat kerentanan sistem perlindungan yang dimilikinya terhadap serangan cyber, sekarang Amerika Serikat memecah kebungkamannya dalam hal ini dan menuding negara lain untuk menjustifikasi aksi-aksi intervensifnya.

 Cina yang dituding sebagai pelaku utama serangan cyber ke Amerika Serikat oleh media massa dan pejabat AS, meminta Washington untuk bergabung dengan negara-negara lain dalam mewujudkan keamanan cyber.

 Sebelumnya, Cina telah menggelar perundingan dengan Rusia dan sejumlah negara untuk menandatangani untuk kesepakatan baru anti-kejahatan cyber.

 (irib.ir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar