Garin
Nugroho mengangkat Romo Soegijapranata dalam film karena pesan dari tokoh
tersebut berguna untuk persoalan bangsa saat ini.
"Saya buat film kalau menurut saya film itu berguna dan ada dialog. Kata-kata dalam film ini tepat untuk hari ini. Soegija memberikan pesan yang aktual untuk hari ini," kata Garin saat jumpa pers film "Soegija" di, Jakarta , Kamis.
Menurut Garin, multikulturalisme menjadi masalah yang mewarnai bangsa saat ini, seperti yang telah didengungkan oleh para 'founding fathers' Indonesia ; Soekarno, Bung Hatta, bahkan Soegija.
Soegija, orang pribumi pertama yang diangkat Vatikan menjadi Uskup, memberikan sumbangan besar terhadap berdirinya republik
Soegija melakukan panduan nilai kepemimpinan lewat kunjungan warga, kotbah, dan tulisan-tulisan antara lain, "Apa artinya menjadi bangsa merdeka jika kita gagal mendidik diri sendiri." Pesan lainnya, "Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik, jika tidak punya maka plotikus hanya jadi benalu negara."
"Film ini merupakan sebuah catatan tepat untuk hari ini. Film ini perayaan kegembiraan beragam dan berbangsa. Sudah saatnya tidak ada ketakutan, kalau mereka tidak merasa gembira dengan hal itu, maka
mereka tertinggal," kata Garin.
Soegija diangkat di tengah situasi gejolak perang Asia pasifik ketika harapan tumbuhnya keadilan disertai berbagai bentuk kekerasan dan penderitaan yang melibatkan bangsa-bangsa dunia, persoalan nasionalisme dan transisi kepemimpinan di daerah-daerah di
Di tengah situasi penuh kekacauan di
Dalam Soegija terdapat kisah-kisah manusia dari delapan tokoh dan kemanusiaan yang begitu beragam dan penuh dimensi. "Tokoh disini akan membuka persoalan-persoalan masyarakat bangsa ini," tambah Garin.
(antaranews.com)
Soegija, Kisah
Pejuang Tanpa Senjata
Situasi di
berbagai belahan dunia memburuk. Tahun 1941, Pangkalan militer Amerika Serikat,
di Pearl Harbor luluh-lantak akibat serangan
mendadak yang dilancarkan pasukan Jepang. Di Eropa perang juga berkecamuk.
Inggris, Perancis, dan Belanda, berjibaku menghadapi gempuran serdadu Jerman.
Pada 1942, Jepang muncul sebagai kekuatan baru sekaligus
mengklaim sebagai pemimpin di Asia . Kedudukan
Belanda di Indonesia pun melemah dan menyerahkan kekuasannya tanpa syarat.
Bangsa Indonesia
menyambut gembira karena Jepang menjanjikan kemerdekaan.
Kenyataan jauh panggang dari api. Jepang mengeksploitasi Indonesia di
setiap lini. Penjajahan baru dimulai. Mereka memperkuat basis militer dengan
membangun pertahanan untuk menghalau serangan sekutu. Berbagai cara dilakukan.
Termasuk merekrut pemuda untuk dilatih sebagai tentara. Tak sedikit pula yang
dijadikan romusa atau pekerja paksa. Kaum wanita diculik dari rumahnya.
Dalam peristiwa tersebut, banyak orang kehilangan anggota
keluarga. Ling Ling, gadis kecil keturunan Tionghoa itu, menangis setelah
ibunya (Olga Lydia) dibawa paksa oleh tentara Jepang. Mariyem, remaja yang
bercita-cita menjadi perawat terpaksa hidup sebatangkara setelah kakak
kandungnya bersembunyi entah di mana. Suasana betul-betul mencekam.
Romo Soegijapranata (Nirwan Dewanto) gelisah. Ia melihat keadaan
rakyat semakin menderita dilanda ketakutan dan kelaparan. Emosinya sempat memuncak
saat Suzuki, tentara Jepang itu, berupaya mengambil alih gereja untuk dijadikan
markas militer. Dengan lantang, ia menolak keinginan tentara Jepang itu.
Soegija sengaja memanfaatkan hubungan diplomatik Jepang dan
Vatikan supaya Suzuki tidak memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Soegija
saat itu adalah uskup Indonesia
pertama yang diangkat oleh Vatikan. "Penggal dulu kepala saya, baru kamu
bisa pakai tempat ini."
Setelah Suzuki meninggalkan gereja, Koster Toegimin (Butet
Kertaredjasa) kemudian muncul dari belakang. "Apa yang harus kita
perbuat," tanya pelayan yang setiap hari membantu Soegija menjalankan
tugasnya sebagai uskup. Soegija tertegun sejenak mendengarkan pertanyaan
Toegimin. "Ada
saatnya kita tidak bisa berbuat apa-apa," jawabnya singkat.
Dari situ Romo Soegija mengawali kiprahnya dalam
memperjuangankan kemerdekaan Indonesia
dari tangan penjajah ketika merasa tidak berdaya melawan ketidakadilan. Ia
hanya meluapkan kegelisahannya dengan menulis di buku harian. Air matanya
berlinang.
Ketidakberdayaan itulah menjadi titik tolak Soegija untuk
bertindak. Di tengah kekacauan, ia memandu religiusitas masyarakat dalam
perspektif nasionalisme yang mengedepankan kemanusiaan. Ia menjalankan silent
diplomacy, mengupayakan melakukan perundingan damai yang melibatkan sekutu,
Belanda, dan Jepang, dengan menginisiasi gencatan senjata di tengah perang 5
hari di Semarang .
Ia juga melakukan surat-menyurat dan pertemuan bersama pemimpin Indonesia seperti Syahrir, Soekarno, Sultan
Hamengku Buwono IX, dan pemimpin lainnya untuk merencanakan pergerakan menuju Indonesia
merdeka. Soegija mendukung pengorganisasian kepemudaan dan terus melakukan
pelayanan sosial dengan mengunjungi warga di rumah sakit dan pengungsian.
Pascakemerdekaan,
Belanda rupanya ingin kembali berkuasa lewat agresi militernya. Soegija
memutuskan memindahkan Keuskupan Semarang ke Yogyakarta
sebagai bentuk dukungannya terhadap upaya mempertahankan kemerdekaan. Yogyakarta saat itu menjadi ibukota republik.
Soegija tidak mengangkat senjata. Ia terus berjuang dengan cara
silent diplomacy yang menggugah Vatikan memberikan dukungannya untuk
kemerdekaan Indonesia .
Pengaruh dukungan Vatikan luar biasa dan berdampak luas sehingga menaruh
simpati dunia internasional. Belanda kemudian hengkang.
Meski begitu, Soegija tetap rendah hati saat Koster Toegimin
memuji upayanya memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Soegija merasa
perjuangannya belum ada apa-apanya dibandingkan Bung Karno, Soedirman, Sultan
Hamengku Buwono IX, dan pemimpin lainnya di negeri ini.
Soegija bukan hanya tampil sebagai uskup, tetapi sebagai seorang
pemimpin. Ia tidak diam saja dalam situasi kekacauan yang melanda bangsa Indonesia . Ia
bertindak sebagai patriot dengan mengedepankan kemanusiaan. Ia menunjukkan
dirinya sebagai pemimpin bangsa, bukan pemimpin agama.
Sutradara Garin Nugroho membuat film "Soegija" dengan
pendekatan sejarah popular yang beragam dimensi. Ia menggabungkan kisah nyata
Soegijapranata dengan interpretasi kisah lain di tengah perjuangan kemerdekaan Indonesia
berdasarkan sejumlah sumber.
Garin sengaja memberikan porsi cukup banyak kepada tokoh
lainnya, seperti Mariyem, remaja yang bercita-cita menjadi perawat dan
kehilangan kakaknya. Dalam perjalanan hidupnya ia diceritakan terlibat asmara dengan seorang
fotografer asal Belanda.
Kemudian Ling Ling, anak kecil yang merindukan kepulangan ibunya
setelah dibawa paksa oleh tentara Jepang. Begitu pula dengan Banteng, seorang
gerilyawan remaja buta hurup. Tingkahnya yang konyol memberi nuansa humor dalam
film tersebut. Lantip, gerilyawan yang belakangan melanjutkan perjuangannya
menjadi politisi.
Suzuki, tentara Jepang itu, berperang demi kehormatan negaranya.
Di sisi lain, ia ternyata mencintai anak-anak. Makanya, ia tidak tega ketika
Ling Ling berusaha mempertahankan mesin pemutar piringan hitam yang berusaha
dirampas oleh temannya sesama tentara.
Lantas, kisah Koster Toegimin yang hidup sendiri menjadi teman
ngobrol Soegija. Dialog di antara keduanya sangat menarik. Misalnya, saat
Toegimin mengeluh kepada Soegija bahwa dirinya tidak sempurna karena belum
mempunyai istri. Secara keseluruhan kisah-kisah mereka memperkaya film tersebut
sehingga layak untuk disimak.
(tribunnews.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar