Serikat sebagai blok perdagangan yang berskala lebih luas dibandingkan
dengan blok ekonomi-perdagangan Asia Pasifik ala APEC atau Free Trade
Area for the Asia Pacific Agreement di abad 21.
Yang menjadi isu strategis yang diusung Amerika adalah Intellectual
Property Right (IPR), Electronic Commerce dan Cross border data flow
(Arus informasi lintas negara), Badan Usaha Milik Negara (State owned
Enterprise), dan akses pasar bagi produk-produk tekstil dan garmen.
Karena itu, gagasan utama yang mendasari disusunnya skema TPP AS
adalah kebijakan proteksi terhadap aset-aset ekonomi dan produk-produk
Amerika dalam persaingannnya dengan negara-negara lain. Terutama
dengan Cina yang dipandang Washington sebagai pesaing utama di ranah
ekonomi dan perdagangan. Khususnya dalam merebut pengaruh dan pangsa
pasar di kawasan Asia Pasifik.
Tak heran jika The United States Trade Representative (USTR) hanya
bersedia membuka akses pasar kepada beberapa negara kepada beberapa
sekutunya yang sepertinya setuju dengan skema TPP AS seperti Selandia
Baru, Malaysia, Brunei dan Vietnam. Dan tentu saja kepada Meksiko dan
Kanada yang selain sudah menjalin ikatan dengan Amerika terkait TPP,
juga merupakan sekutu strategis AS sejak era Perang Dingin.
Adapun Selandia Baru, Malaysia, Brunei dan Vietnam, negara-negara
tersebut saat ini menaruh kekhawatiran yang amat kuat terhadap semakin
menguatnya Cina di ranah ekonomi-perdagangan dan bahkan juga di bidang
pertahanan.
Sedangkan Australia, meski dikenal sekutu Amerika dan Inggris, dalam
soal kebijakan ekonomi, nampaknya belum dianggap cukup solid mendukung
skema TPP AS. Buktinya, Washington menutup akses pasar bagi ekspor
gula Australia ke negara paman Sam.
Aspek lain yang ditekankan Amerika melalui skema TPP adalah,
penekannya pada hubungan dan kerjasama bilateral antar negara, dan
menghindari kesepakatan-kesepakatan strategis melalui forum
multi-lateral. Sehingga bisa menekan negara mitra dialognya baik
secara offensive maupun defensive dalam rangka mengamankan
kepentingan-kepentingan strategis perdagangan Amerika.
Karenanya, salah satu isu krusial dalam beberapa perundingan antar
negara-negara anggota TPP adalah: Soal pengaturan akses pasar bagi
negara-negara TPP.
Apakah direalisasikan lewat atas dasar kerangka pasar bersama (Common
Market Access) antar sesama negara-negara anggota TPP, atau disepakati
lewat kerjasama bilateral antara Amerika dan masing-masing negara
anggota TPP terkait akses pasar (The Market Access Architecture).
Menghadapi skema AS tersebut, beberapa negara lebih cenderung
menerapkan kesepakatan Pasar Bersama yang tentunya kesepakatan yang
dibangun berdasarkan kesepakatan yang bersifat multilateral. Sehingga
kesepakatan strategis berlaku bagi semua negara-negara anggota TPP.
Akar penyebab dari tidak mulusnya skema TPP AS tersebut karena Amerika
pada dasarnya menggunakan skema TPP ini untuk melindungi atau
menerapkan kebijakan proteksi terhadap sektor-sektor sensitif seperti
Gula dan susu, gandum dan daging.
Bisa dipahami jika Amerika sangat berkepentingan untuk mengamankan
kebijakan-kebijakan perekonomian di sektor pertanian dari
negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Beberapa sumber Global Future Institute menginformasikan bahwa USAID
banyak merekrut lulusan-lulusanperguruan tinggi ternama di Indonesia
dari fakultas Pertanian, untuk direkrut sebagai konsultan pertanian
untuk melayani kepentingan-kepentingan strategis pertanian Amerika di
Indonesia.
Selain itu, asosiasi-asosiapebisnis di sektor industri dan jasa di
Amerika, juga punya pertaruhan yang cukup besar di negara-negara
kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia, mengingat Cina semakin
menguatnya pengaruh Cina yang saat ini semakin mengimbangi pengaruh
Jepang dalam bidang ekonomi dan perdagangan.
Maka dari itu kepentingan-kepentingan para pebisnis di sektor industri
dan jasa, pada perkembangannyaakan menghadapi resistensi dari kalangan
kelompok-kelompok perburuhan, lembaga-lembagakonsumen, dan
kelompok-kelompok anti globalisasi yang memandang isu globalisasi
identik dengan kolonialisme dan imperialisme terselubung.
Karena itu, Global Future Institute merasa perlu mengingatkan para
stakeholders kebijakan perekonomian nasional untuk mewaspadai salah
satu isu krusial dari skema TPP tersebut yaitu: Pertikaian Hukum
antara Pemerintah dan Investor Asing.
Apalagi jika kemungkinan pertikaian tersebut berkaitan dengan akses
air minum, pembangunan tambang di wilayah-wilayahyang melibatkan
adat-istiadat setempat yang masih dianggap sacral (Indigenous sacred
sites), larangan penggunaan bahan-bahan kimia., maupun peringatan
kesehatan bagi para perokok (Health Warnings on cigarette packages).
Apalagi ketika kenyataan saat ini isu pertikaian pemerintan dan
investor asing tidak lagi sebatas di kalangan negara-negara yang
tergabung dalam The North American Free Trade Agreement (NAFTA).
Melainkan isu ini sudah meluas menjadi fenomena global, karena saat
ini setidaknya ada 80 negara yang amat berkepentingan untuk
memperjuangkan kesepakatan yang adil antara pemerintah dan investor
asing.
Sepertinya TPP ini bagi AS memang amat penting dan vital.
Terbukti bahwa TPP ini dirancang berdasarkan gagasan membangun
kemitraan lintas pasifik untuk membentuk kemitraan strategis di bidang
ekonomi, yang nampaknya akan dikembangkan lebih lanjut untuk
menciptakan kerjasama ekonomi yang semakin erat di bawah skema Pacific
Agreement on Closer Economic Relations (PACER Plus).
Nah melalui skema TPP maupun PACER Plus, masalah krusial yang patut
diwaspadai adalah tentang hubungan antara pemerintah dan investor
asing. Karena bukan tidak mungkin, agenda-agenda tersembunyi 600
korporasi AS akan menanam pengaruhnya melalui kesepakatan-kesepakatan
hukum yang dibuat dengan negara-negara anggota TPP. Salah satu klausul
yang harus diwaspadai adalah, kika terjadi pertikaian hukum antara
pemerintah dan investor asing, pihak investor asing menolak untuk
merujuk pada produk hukum nasional negara di mana pihak investor
tersebut mengelola bisnisnya, melainkan akan memaksakan penyelesaian
hukum melalui Badan Arbitrase Bisnis Internasional.
Pada posisi tersebut, negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
yang akan terjerat dalam kesepakatan semacam ini, bisa dipastikan
berada dalam posisi yang sangat lemah dan tidak berdaya.
Hendrajit
Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar