kali menginjakkan kaki di kota Qom. Bukan tanpa informasi. Saya justru
mendapat bekal, Iran itu negeri Syiah. Syiah itu sesat bahkan bukan
bagian dari Islam. Mereka punya Al-Qur'an yang berbeda dengan yang
dibaca kaum muslimin dinegeri muslim lain di dunia. Sehari sebelum
berangkat, Ust. Said Abdushshamad tokoh yang getol mengkampanyekan
gerakan anti Syiah di Makassar menemuiku. Sangat kebetulan, saudara
kandung beliau, bertetanggaan dengan rumah ibuku di Makassar. Mungkin
beliau tahu informasi rencana kepergianku ke Iran dari Puang Tia,
saudara perempuannya itu. Diapun menjejaliku dengan nasehat untuk
waspada terhadap ajaran Syiah. Saya cukup mengiyakan saja. Setiba di
Iran, yang disampaikan hampir semuanya berkebalikan. Saya melihat Iran
negara yang Islami, justru sangat Islami. Tidak ada satupun perempuan
yang bebas keluar rumah tanpa mengenakan jilbab, dan hampir semuanya
berwarna hitam.
Dimanapun aku mampir shalat berjama'ah, masjid-masjid nyaris penuh.
Kompleks Haram dijantung kota Qom, tempat dimakamkannya Sayyidah
Fatimah Maksumah sa adik kandung Imam Ridha as terbuka 24 jam. Dan
peziarah selalu berdatangan tanpa henti. Aktivitas Islami tidak pernah
tidak terlihat dikompleks itu. Ada yang mengaji, shalat, membentuk
kelompok-kelompok kecil untuk membahas masalah agama, atau sekedar
bercengkrama dengan keluarga. Anak-anak kecil bebas lari berkeliaran.
Setelah berkeluarga, sayapun selalu membawa istri dan kedua anakku
ditempat itu selepas maghrib dan pulang kerumah menjelang subuh. Yang
menarik, dan menurut saya, ini nilai lebihnya Haram itu, tersedia
posko-posko tanya jawab dan diskusi agama. Sebut saja seperti ruang
pengaduan di gereja. Bukan untuk membeli surat pengampunan dosa. Sama
sekali bukan. Melainkan untuk bertanya masalah agama: aqidah, akhlak
dan fiqh serta konsultasi keluarga. Semua ada posko khususnya.
Termasuk posko khusus mengecek benar tidaknya bacaan dalam shalat.
Yang melayani adalah pakar-pakar Islam dibidangnya. Saya sering mampir
bertanya masalah aqidah. Mereka menjawab semua pertanyaan yang saya
ajukan. Sementara istri betah berlama-lama di posko fiqh, menanyakan
masalah amalan keseharian.
Disepanjang jalan, terpampang papan-papan reklame yang bertuliskan
pesan-pesan Islami dan baliho-baliho besar gambar Ayatullah plus
informasi jadwal pengajiannya (bukan baliho kampanye politik). Di
baliho itu tertulis, hari ini kelas tafsir, besoknya kelas akhlak,
lusanya kelas fiqh di sini dan disitu. Tidak hanya itu ceramah para
Ayatullah itu disiarkan di tivi-tivi secara langsung bahkan lewat
radio. Esoknya sudah tersedia cd-cd rekamannya di kios-kios CD, dan
selalu laku keras. Warga Iran memang pendengar yang baik. Mereka betah
mendengar ceramah ataupun pidato-pidato politik berjam-jam. Momentum
shalat Jum'at dimanfaatkan pemerintah Iran untuk menyampaikan
pesan-pesan politik. 2-3 jam sebelum khutbah Jum'at, jama'ah Jum'at
dijejali orasi politik satu dua tokoh aktivis, kebanyakannya
menceritakan kondisi dunia Islam, dan selalu terdengar slogan
perlawanan terhadap AS dan Israel. Di mimbar Jum'at bahkan ditulis, AS
letaknya dibawah kaki kami. Kalau pidatonya membakar, jama'ah serentak
berdiri, mengepalkan tangan sembari meneriakkan yel-yel dukungan
terhadap pemimpin mereka dan kecaman terhadap AS. Persis situasi
demonstrasi di jalan-jalan. Dengan kondisi seperti itu, sangat ganjil
kalau sampai ada yang mengantuk. Bagi yang sibuk dan tidak sempat
membaca Koran tiap hari, cukup mendengarkan pidato-pidato tersebut, ia
akan paham apa yang terjadi selama sepekan itu. Karena itu, rakyat
Iran tidak mudah terpengaruh propaganda murahan dari media-media
asing. Mereka mandiri disegala hal, ekonomi, keamanan, budaya, sosial
dan politik.
Masjid-masjid di Qom, tidak terlalu besar, tapi lapang dan nyaman bagi
jama'ah. Terdapat beberapa kursi, buat mereka yang kesulitan shalat
dengan duduk melantai. Terdapat bantal sandaran, buat para orangtua
lanjut usia untuk menyandarkan tubuhnya saat mendengarkan ceramah atau
sekedar mengaji. Dan dihari-hari tertentu, sambil dengar ceramah kita
bisa menikmati segelas susu dan 1-2 biji kurma yang disediakan gratis
pengurus masjid. Setelah shalat, remaja masjid akan membagikan
Al-Qur'an, hampir disemua masjid ada program membaca al-Qur'an
satu-dua halaman berjama'ah. Dipimpin qari-qari yang bacaannya sangat
merdu. Di Tv ada saluran khusus menyiarkan program-program Qur'ani.
Semua acara serba Qur'ani. Kelas tafsir, kelas ulumul Qur'an.
Bincang-bincang Al-Qur'an menjawab problem keseharian, termasuk
menyiarkan profil-profil para penghafal Al-Qur'an. Iran kaya dengan
hafiz Al-Qur'an. Mulai dari usia sekolah dasar, remaja sampai usia
dewasa. Saya pernah mewancarai beberapa remaja Iran yang hafal
Al-Qur'an. Mulai dari Ali Amini yang telah menghafal Qur'an di usia 8
tahun sampai Mujtaba Karsenasi yang menghafal 30 juz al-Qur'an diusia
15 tahun. Mereka adalah penerus dari Husan Tabatabai, Doktor Cilik
Penghafal Qur'an, yang dikenal sebagai mukjizat abad 20 karena
memiliki penguasaan dan pengetahuan Al-Qur'an yang mengagumkan, sampai
mendapat gelar doctor honoris causa bidang studi Al-Qur'an. Wawancara
saya itu dimuat dalam buku Bintang-bintang Penerus Doktor Cilik yang
kususun bersama bu Dina Sulaeman dan suaminya, diterbitkan Pustaka
Iiman pertengahan tahun 2011.
Toko-toko buku jumlahnya hampir berimbang dengan toko kelontong. Di
tengah kota, hampir disetiap lorong ada toko buku. Bukan hanya
buku-buku karya ulama Syiah namun juga kitab-kitab ulama Sunni.
Diperpustakaan pun demikian. Meski berbeda, orang-orang syiah tidak
fobia terhadap karya-karya ulama sunni. Hal yang berbeda dari mereka
yang menyebut syiah itu sesat. Bisa jadi bahkan melihat langsung
buku-buku syiah saja mereka tidak pernah.
Mahasiswa Indonesia di Iran, tidak semuanya Syiah. Ada juga yang
Sunni. Mereka tersebar di Teheran, Ghorghon dan Esfahan. Untuk menepis
fitnah, di Iran warga Sunni dibunuhi, disiksa dan mendapat perlakuan
tidak adil dari pemerintah Iran yang Syiah, saya mewancarai teman asal
Indonesia yang belajar di Universitas agama yang bermazhab Sunni.
Namanya Syarif Hidayatullah dan wawancara itu dimuat di ABNA. Dari
lisannya, ia menepis tudingan dan fitnah tidak bertanggungjawab itu.
Pemerintah Iran gemar menyelenggarakan event-event internasional.
Konferensi Mahdawiyat, konferensi ulama Islam, konferensi pemuda
Islam, konferensi perempuan Islam, MTQ Internasional dan Pameran kitab
Internasional yang melibatkan banyak negara muslim. Karena itu, banyak
tokoh-tokoh nasional kita yang mengunjungi Iran sebagai delegasi
Indonesia dalam event-event tersebut. Selama di Iran, setidaknya saya
sudah bertemu dengan DR. Amin Rais (tokoh Muhammadiyah), Prof. Quraish
Shihab (mantan menteri agama dan mantan ketua MUI), Dr. Umar Shihab
(ketua MUI Pusat) dan Muh. Maftuh Basyuni (menteri agama kabinet
SBY-JK). Tokoh-tokoh nasional itu mengunjungi langsung kampus saya di
Qom. Berbincang dan membuka ruang dialog dengan mahasiswa Indonesia di
Qom. Tidak ada yang ganjil. Mereka tidak meminta kami waspada dengan
Iran dan Syiahnya. Justru meminta semua mahasiswa Indonesia belajar
serius dan bisa memanfaatkan ilmunya jika kembali ke tanah air. Dengan
adanya event-event internasional yang melibatkan banyak negara muslim
tersebut menyodorkan fakta yang tidak terbantahkan, Iran diakui
keberadaannya sebagai negara Islam. Terlebih lagi Republik Islam Iran
juga memang termasuk dalam anggota OKI, organisasi internasional yang
beranggotakan khusus negara-negara yang bermayoritas penduduk muslim.
Tidak ada satupun negara yang keberatan dengan penamaan Iran sebagai
Republik Islam juga semakin menguatkan fakta itu.
Hubungan mahasiswa Indonesia di Qom dengan KBRI di Teheran pun sangat
akrab. Berkali-kali pihak KBRI datang ke Qom mengadakan silaturahmi,
buka puasa bersama, atau silaturahmi pasca lebaran. Mengundang untuk
menonton timnas PSSI yang bertanding di Teheran. Ataupun pada saat 17
Agustus, upacara bendera dan makan bersama. Saya pernah meraih juara I
lomba penulisan karya tulis ilmiah yang diadakan KBRI Teheran. Dan
perlu teman-teman tahu, semua staff di KBRI Teheran tidak ada yang
Syiah, semuanya Sunni. Kalaupun memang Sunni mendapat tindakan
semena-mena dari pemerintah Iran, bahkan katanya di Teheran tidak ada
masjid Sunni, staff KBRI yang akan lebih dulu menyampaikan hal itu.
Atau minimal kedutaan besar Malaysia, Arab Saudi, Mesir, dst yang ada
di Teheran. Mengapa yang getol menyebarkan propaganda negatif tentang
Iran justru media-media yang tidak satupun staff atau wartawannya yang
pernah ke Iran?. Guru-guru besar UIN Syarif Hdayatullah Jakarta bahkan
sejumlah guru besar UIN Alauddin Makassar pernah ke Iran. Seorang
Dosen Unismuh Makassar pernah ke Qom, mengadakan penelitian tesis
doktoralnya. Saya yang menemani beliau berkunjung ke Teheran dan
Masyhad. Mengajaknya shalat berjama'ah dibeberapa masjid-masjid. Ia
shalat sambil bersedekap dengan tenang di tengah-tengah jama'ah Iran
yang tidak bersedekap. Saya pernah menyambut tamu dirumah, ketua umum
PB HMI, dan delegasi HMI yang ikut dalam konferensi perempuan
internasional di Teheran. Kesemua tamu itu sunni. Dan sepulangnya
mereka menulis pengalaman mereka selama di Iran dan dimuat dimedia.
Tidak ada cerita sunni dibantai, cerita sahabat-sahabat Nabi dilaknat
dimimbar-mimbar, tidak ada cerita mereka menemukan Al-Qur'an orang
Iran yang berbeda, tidak ada cerita praktik nikah mut'ah yang
kebablasan sampai katanya dimasjid-masjid di Iran disediakan ruangan
khusus untuk melakukan praktik mut'ah. Yang ada semangat ukhuwah dan
persahabatan yang menakjubkan dari orang-orang Iran yang mazhabnya
beda.
Saya yang sampai saat ini masih berada di Iran masih sering mendapat
kiriman konten-konten yang negatif tentang Iran dan Syiah, sembari
menasehatkan saya tentang bahaya Syiah. Saya tegaskan, sekalipun pada
akhirnya saya tidak memilih Syiah sebagai mazhabku dalam berIslam,
saya tidak akan merusak diri dengan mengkafirkan sesama muslim. Yang
mengkafirkan orang-orang Syiah yang juga bersyahadat, shalat, puasa,
zakat dan naik haji. Saya tidak mungkin mau menghina akal sehat dan
rasioku dengan lebih mempercayai mereka dari apa yang saya lihat dan
rasakan langsung. Kalau Prof. Amin Rais, DR. Diin Syamsuddin, KH.
Hasyim Mazudi, Habib Rizieq, Muh. Maftuh Basyuni , guru-guru besar
UIN, akdemisi Universitas2 Islam Indonesia yang dengan hanya beberapa
jam di Iran telah berkesimpulan untuk tidak sampai mengkafirkan Syiah
bagaimana dengan saya yang hidup ditengah-tengah mereka
bertahun-tahun, dan melihat langsung amalan-amalan mereka?.
Sayang, bahkan selama Ramadhan inipun mereka kelompok takfiri masih
juga getol menyebar berita dusta tentang Iran dan rakyatnya.
Kebanyakan yang melakukan itu adalah aktivis dakwah, aktivis ormas
Islam, bahkan katanya akademisi di lembaga penelitian. Apa ketika saya
kembali ke tanah air, dan kembali ditemui oleh KH. Said Abdushshamad
(sekarang sudah Kyai Haji) dan menjelaskan kepada saya tentang Iran
seakan lebih tahu dari saya sendiri yang menetap bertahun-tahun di
Iran dan mengingatkan tentang kesesatan dan kekafiran Syiah seakan
lebih tahu dari saya yang mendengar langsung ceramah-ceramah Syiah
dari Ayatullah di Qom, apa saya akan mempercayainya karena beliau Kyai
Haji, karena beliau ketua umum LPPI Indonesia Timur dan karena beliau
jauh lebih tua dari saya?.
Sangat mengerikan menyerahkan urusan Islam kepada mereka.
(Ismail Amin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar