Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979),
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis
sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”.
Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini.
“Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di
Gugatan terhadap Kartini simbol kebangkitan
perempuan dengan argument bahwa sebelum kartini banyak perempuan di tiap daerah
Indonesia
banyak melalukan hal bagi rakyatnya. Misalnya R. A. Lasminingrat penulis
pertama perempuan sebelum kartini,Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya
berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah
yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di
berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung . Rohana Kudus
(1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan
Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus
bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan.
Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Wanita tangguh dan pejuang yang lain adalah
Cut Nya Dien, Cut Mutia, Malahayati Panglima angkatan Lautpertama di Aceh.
Serta Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Wanita ini bukan hanya
dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F.
Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat
manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000
halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada
tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan
modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Namun fakta para wanita hebat sebelum Kartini
ini menjadi hilang dalam bayang-bayang Kartini. Lepas dari pro dan kontra
Kartini saya tetap sangat mengangumi kartini karena kartini bukan hanya pejuang
emansipasi lebih luas dari itu.Perjuangan Kartini merupakan sebuah gagasan yang
ideal dari seorang perempuan di jaman feodalisme yang kuat. Kartini tidak saja
menjadi sosok yang kongrit bagi pergerakan kebangsaan, tetapi kartini juga
merupakan seorang bangsawan yang demokratis. Kartini secara kongrit adalah
seorang penulis, profesi kongrit itulah yang dimiliki kartini sebagai kekuatan
minimal saat itu. Sebagai tugas sosial bagi seorang perempuan. Sastra merupakan
kekuatan bagi mereka yang sama sekali tidak memiliki kebebasan. Kartini tidak
bergerak di ruang yang sempit semua aspek kehidupan menjadi kajian dan
pemikiran kartini baik dalam tulisan maupun diskusi bersama petinggi Belanda.
Kartini hidup dalam budaya yang sangat feodal
dibandingkan para perempuan di daerah lain, namun pemikiran kartini sudah jauh
melampaui jamannya melalui tuisannya dibeberapa majalah dan buku yang
diterbitkan oleh J.H Abendanonn “Habis Gelap Terbitlah Terang” (Door Duisternis
tot Licht) Kumpulan surat-surat kartini dihimpun olrh Mr.J.H.Abendanon menurut
pramoedya merupakan “one men business” atau menjadi lahan bisnis para petinggi
Belanda membuat yayasan Kartini.
Mengapa harus Kartini karena kartini adalah
wanita yang dekat dengan petinggi Belanda dalam hal ini para pelaku politik
Etis, kartini dianggap bukan dari kalangan Islam garis keras oleh Belanda
meskipun Kartini banyak belajar Al Quran secara kritis.
Suka tidak suka Kartini dimanfaatkan Belanda
sebagai simbol berhasilnya kebijakan Politik Etis dan diteruskan oleh
Pemerintah Indonesia. Selamat Hari Kartini Semoga hari kartini tidak identik
dengan Kebaya namun identik dengan kehebatan pemikiran para perempuan. Salam
Ummy Latifah
(theglobal-review.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar