Televisi Iran pada hari Kamis (8/12) telah
memublikasikan sebuah pesawat pengintai tak berawak yang disebutkan milik
Amerika Serikat dan telah telah berhasil mereka kuasai. Pesawat yang dipamerkan
sangat mirip dan dikenali sebagai salah satu jenis pengintai AS yang sangat
dirahasiakan, RQ-170 Sentinel. Selama ini pesawat tersebut beroperasi di
kawasan Afghanistan dan Pakistan .
Operasinya dikendalikan oleh CIA.
Setelah kejadian tersebut, pemerintah Iran kemudian memanggil Duta Besar Swiss yang
mewakili AS di Iran, (Iran
tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan AS, Swiss yang mewakili kepentingan
AS di Iran). Iran
mengajukan protes bahwa telah terjadi pelanggaran wilayah dan upaya memata-matai
negaranya.
Kementerian Luar Negeri
Para pejabat Iran mengatakan bahwa pesawat itu
terdeteksi di dekat kota Kashmar, 140 mil dari perbatasan Afghanistan, dan
kemudian ditembak jatuh atau dipaksa turun (force down) karena sistem kontrol
yang telah hacked dengan sebuah serangan cyber oleh militer Iran. Dikuasainya
pesawat ini masih mengundang tanda tanya, karena Sentinel adalah pesawat
siluman, tidak terdeteksi oleh radar. Kemungkinan terbesar, militer Iran memiliki
kemampuan serupa, sehingga mampu melancarkan serangan Cyber dan
memaksa/menuntunnya landing.
Menurut seorang pejabat Afghanistan ,
pesawat itu diterbangkan dari pangkalan bersama Amerika dan Afghanistan di
Shindand di bagian barat Provinsi Herat. Para
pejabat Amerika memang telah mengakui kehilangan sebuah RQ-170, pesawat siluman
(teknologi stealth) tak berawak yang dibuat oleh Lockheed Martin. RQ-170
dirancang untuk terbang dalam misi rahasia untuk mengumpulkan informasi di
wilayah lawan. Menanggapi pemberitaan televisi Iran tersebut, pemerintah AS tidak
menolak untuk mengkonfirmasi ataupun menyangkal bahwa itu adalah pesawat mereka
yang hilang.
Pengintaian udara oleh RQ-170 ke wilayah Iran nampaknya berkait dengan kekhawatiran AS
terhadap program nuklir Iran
yang terus berkembang, bahkan ada kekhawatiran Iran mampu membuat senjata nuklir.
Dalam pidatonya baru-baru, penasihat keamanan nasional Presiden Obama, Tom
Donilon, mengisyaratkan sebuah upaya rahasia Amerika Serikat untuk mengawasi
program nuklir Iran . “Kami akan terus waspada,” kata Donilon bulan lalu di
Brookings Institution. “Kami akan bekerja lebih giat untuk mendeteksi
upaya-upaya baru yang berkait dengan nuklir Iran. Kami akan mengekspos mereka
dan memaksa Iran untuk menempatkannya di bawah inspeksi internasional,” tegas
Dillon.
Rq-170 kini menjadi bahan diskusi banyak
pihak, pemerintah AS sangat khawatir teknologi stealth dan khususnya radar
RQ-170 akan bocor kepihak lain, karena teknologinya jauh diatas radar terbaik
baik dari China maupun Rusia. Sentinel, yang bisa terbang pada ketinggian
50.000 kaki, dianggap penting untuk operasi intelijen udara. Sementara satelit
surveillance yang terus mengorbit hanya dapat mengamati sebuah lokasi hanya
beberapa menit pada suatu waktu. Kehebatan RQ-170, bisa berkeliaran selama
berjam-jam, mengirimkan gambar video. Dapat memberikan petunjuk penting untuk
sifat pekerjaan yang dilakukan, peralatan yang digunakan dan ukuran lainnya.
John Pike, pakar teknologi militer di situs
GlobalSecurity.org mengatakan, “Jika hanya untuk melihat target diam seperti
batu bata dan mortir, satelit jauh lebih baik. Tetapi jika kita ingin melihat
apa yang dilakukan orang sepanjang hari, pesawat tak berawak jauh lebih baik.”
Selain dengan kamera video, pesawat hampir dipastikan membawa peralatan
komunikasi untuk menyadap, serta dilengkapi dengan sensor yang dapat mendeteksi
sejumlah kecil isotop radioaktif dan bahan kimia lainnya yang dapat memberikan
petunjuk adanya kegiatan penelitian nuklir.
Demikian pentingnya pesawat dengan klasifikasi
sangat rahasia tersebut. Kini kekuatan udara telah merubah cara serta strategi
Amerika dalam berperang. Serangan pesawat tak berawak dibawah kendali CIA jauh
lebih banyak dilakukan oleh pemerintahan Presiden Barack Obama dibandingkan era
pemerintahan Presiden George W. Bush. Pentagon kini memiliki sekitar 7000
pesawat udara, dan pemerintah telah meminta Kongres anggaran sebesar hampir US$
5 miliar untuk penambahan pesawat pada tahun 2012. Pesawat pengintai sekaligus
penyerang tak berawak tersebut sangat efektif untuk operasi anti gerilya,
terorisme dan surveillance lainnya.
Lebih dari 1.900 gerilyawan di daerah suku
Pakistan telah tewas oleh pesawat Amerika sejak tahun 2006, demikian dikatakan
situs longwarjournal.com. Ahli etika militer mengakui bahwa pesawat tanpa awak
dapat mengubah perang menjadi sebuah permainan video. Kelebihannya, tidak ada
seorangpun warga Amerika yang beresiko menjadi korban dari perang itu sendiri.
Inilah kelebihan sebuah operasi udara tanpa awak.
Pesawat mata-mata tanpa awak pertama yang
dibuat AS adalah Predator. Pertama kali digunakan di Bosnia dan Kosovo pada
1990-an, dikendalikan oleh Angkatan Udara, dengan kegagalan yang hampir
mencapai 30 persen, teknologinya terus disempurnakan. Sejak serangan 11
September, Angkatan Udara terus meningkatkan operasi pengintaian intelijen
udara. Pengawasan dan pengintaian tercatat naik hingga 3.100 persen, sebagian
besar dalam operasi udara pesawat tanpa awak. Setiap hari, Angkatan Udara
memproses hampir 1.500 jam full-motion video dan sekitar 1.500 gambar statis,
sebagian besar hasilnya berasal dari pesawat Predator dan Reaper didaerah
operasinya di Irak, Afghanistan dan Pakistan.
Pesawat-pesawat pengintai tanpa awak selain
RQ-170 dan Predator, yang juga terkenal adalah Reaper, yang lebih besar dan
Shadow yang lebih kecil. Semua diterbangkan dengan pilot yang menggunakan
remote, menggunakan joystick dan layar komputer, dioperasikan kebanyakan dari
pangkalan militer Amerika Serikat. Versi pesawat tanpa awak dari Angkatan Laut
adalah X-47b, prototipe yang dirancang untuk lepas landas dan mendarat dari
kapal induk secara otomatis. Pesawat ini berkemampuan membawa dan menyerang
dengan bom. Selain itu, operasi pengintaian intelijen udara juga dilakukan oleh
Global Hawk yang lebih besar. Pesawat ini digunakan untuk mengawasi kegiatan
nuklir Korea Utara.
Dikuasainya RQ-170 milik CIA tersebut oleh
militer Iran jelas membuat pemerintah AS khawatir, karena Rusia dan China telah
mengajukan dan meminta akses ke pemerintah Iran untuk ikut memeriksa dan jelas
akan menyalin teknologinya. Nampaknya beberapa negara besar saling memodernisir
kepemilikan pesawat tanpa awak dengan teknologi tinggi, terutama untuk kegiatan
surveillance. Intelijen perlu mengetahui tentang lawan jauh dibelakang palagan
tempur, tentang kekuatan, kemampuan, kerawanan dan niatnya. Pesawat tanpa awak
dengan teknologi tinggi inilah alutsista yang tepat digunakan.
Pesawat tanpa awak tersebut telah membuktikan
keunggulannya dalam beberapa operasi intelijen baik dalam operasi penyelidikan
maupun penyerangan. Pesawat berhasil membunuh beberapa tokoh kelas atas
Al-Qaeda, Taliban dan Haqqani di Afghanistan dan Pakistan serta tokoh Al-Qaeda
diYaman. Juga diketahui RQ-170 berperan menyelidiki dan mendeteksi keberadaan
Osama bin Laden di Abottabat dengan akurasi tinggi sebelum dilakukan ambush
oleh Navy SEALs Six Team. Kejatuhan hingga terbunuhnya Kolonel Khadafi juga
tidak lepas dari peran besar pesawat tanpa awak.
Kini kekhawatiran AS secara khusus ditujukan
kepada Korea Utara dan Iran yang terus dimonitor kepemilikan senjata nuklirnya.
Kedua negara tersebut dikenal nekat dan radikal, memusuhi AS serta tidak
mengenal takut. AS sadar bahwa sebuah serangan nuklir akan sangat menghancurkan
dan tidak mempunyai toleransi sedikitpun. Apabila Iran pada saatnya nanti diketahui
memiliki kemampuan menyerang dengan peluru kendali nuklir dan aksinya
membahayakan, bisa diperkirakan AS dan sekutunya akan melakukan operasi semacam
di Libya. Serangan udara yang akan menjadi pilihan terbaiknya.
Tetapi, dengan terjadinya kasus force down
terhadap RQ-170 di Iran, nampaknya CIA harus lebih waspada dan berhati-hati,
karena ternyata militer Iran mempunyai kemampuan melakukan serangan cyber
terhadap pesawat rahasianya RQ-170. Ataukah kembali AS telah berhasil di
infiltrasi oleh para spion? Mungkin saja.
Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan
(tni-au.mil.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar