Menyusul adanya pembukaan Kantor Perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kota Oxford-Inggris, menurut Pengamat Hukum Internasional dan Sosial Politik dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Marinus Yaung, merupakan kekalahan telak dalam diplomasi Indonesia di Eropa.
Ditegaskan, peristiwa ini merupakan peringatan
serius bagi pemerintah Indonesia
untuk tidak menganggap remeh atau sepelehkan isu Papua merdeka di luar Negeri.
Presiden SBY harus mengambil langkah-langkah untuk melakukan protes diplomasi
yang lebih serius dan tegas, seperti mengusir pulang duta besar Inggris dari
Indonesia, mengembalikan gelar kehormatan Kesatria Perang Salib atau Knight
Grand Cross In The Order of Bath dari Ratu Inggris, dan memutuskan dengan
segera kontrak karya Pemerintah Indonesia dengan British Petroleum Tangguh di
Bintuni, Papua.
“Langkah dan protes tersebut harus dilakukan
Pemerintah Indonesia ,
jika Papua tetap menjadi harga mati bagi NKRI,” ungkapnya kepada Bintang Papua
di kediamannya, Senin, (6/5).
Baginya, langkah ini akan memberikan efek
jerah bagi Pemerintah Inggris yang kemungkinan akan langsung bertindak untuk
menutup Kantor Perwakilan OPM. Tetapi kalau Presiden SBY memilih untuk
melakukan protes melalui Telepon dengan berbicara dengan Perdana Menteri
Inggris atau bentuk protes yang lazim dalam diplomasi, dirinya berpikir bahwa
perjuangan Papua Merdeka akan semakin mendapat cukup ruang luas di Inggris dan
Eropa terus berkembang.
Dengan demikian dipastikan tinggal menunggu
watu saja Papua akan merdeka dan menjadi Negara sendiri . Dengan kata lain,
merdeka secara berdaulat penuh baik defacto maupun dejure, dan bukan lagi
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Lanjutnya, dipilihnya Kota Oxford sebagai
tempat Kantor Perwakilan OPM merupakan pilihan politik yang strategis karena
Kota Oxford mempunyai sejarah dan paling berpengaruh, tidak saja di Inggris
tetapi juga di Eropa dan dunia.
Perjuangan Papua Merdeka akan semakin
mendapatkan dukungan Internasional dengan cepat karena Oxford
sebagi kota berkumpulnya intelektual terbaik
dari seluruh penjuru dunia yang mengambil studi di Universitas Oxford .
“Jadi isu Papua Merdeka akan semakin cepat
berkembang jikalau tidak ada langkah-langkah diplomatis yang tegas, keras dan
cepat dari Pemerintah Indonesia
untuk segera menutup kantor OPM, karena menurut hematnya Pemerintah Indonesia sudah
kalah langka dan kalah strategi,” tukasnya.
Sementara itu Ketua Komisi A DPRP Ruben Magay
ketika dikonfirmasi diruang kerjanya, Senin (6/5), mengatakan, Pembukaan Kantor
OPM di negeri Belanda lalu di Inggris merupakan bagian dari corong HAM dan
Demokrasi rakyat Papua di luar negeri.
Karenanya, tandas Ruben Magay, pihaknya
memberikan apresiasi khusus kepada OPM yang telah membuka Kantor Perwakilan di
negeri Belanda dan kini di Inggris. Pasalnya, melalui perwakilan OPM di
sebagian negara di Eropa , maka kalangan OPM dapat lebih leluasa
mengkampanyekan pelanggaran HAM dan Demokrasi yang terjadi di Papua kepada
dunia internasional, karena sudah sangat lama rakyat Papua minta kepada
pemerintah Jakarta terkait Pelurusan Sejarah Papua, Dialog Jakarta—Papua,
Evaluasi Otsus dan lain-lain.
Dijelaskan, pihaknya menilai pemerintah
Indonesia salah kaprah menolak pembukan Kantor OPM di Inggris, karena
pemerintah Indonesia memandangnya dari sisi politik, dimana dunia makin besar
menyoroti kasus pelanggaran HAM dan Demokrasi di Indonesia, khususnya di Papua.
Bahkan kwatir pemerintah Inggris mendukung Papua merdeka.
Namun demikian, ujar Ruben Magay, pemerintah
Inggris memandang pembukaan Kantor OPM di Inggris lebih ke sisi HAM dan
Demokrasi karena Inggris adalah salah satu negara yang mendukung penegakan HAM
dan Demokrasi, termasuk Indonesia dan Papua.
Ruben Magay menuturkan, pemerintah Inggris
mendukung siapapun yang ingin mengkampanyekan isu HAM dan Demokrasi, karena itu
merupakan hak paling hakiki dari setiap manusia. Tapi pemerintah Indonesia justru kaget karena HAM dan demokrasi
di Indonesia
diatur-atur oleh pimpinan negara, pimpinan legislatif dan lain-lain.
“Bila Benny Wenda Cs diizinkan membuka Kantor
OPM di Inggris untuk mengkampanyekan masalah HAM dan Demokrasi di Inggris ke
seluruh dunia, karena memang mereka sudah mempraktekan HAM. Tak hanya bicara
aturan bahkan menuding pemerintah Indonesia mengizinkan separatis di
Inggris,” katanya.
Kata dia, pemerintah Indonesia tak
perlu kebakaran jenggot, terkait pembukan Kantor OPM di Inggris merupakan
kebijakan politik dari pemerintahan negeri Pangeran Charles untuk merestui
Papua merdeka. Tapi sebuah upaya pelanggaran HAM dan Demokrasi di Papua
didiplomasikan atau dibuka ke dunia luar.
“Jadi pemerintah Indonesia tak bisa serta-merta
mendesak pemerintah Inggris membubarkan Kantor OPM di Inggris.
Sementara itu, Juru Bicara Forum Rekonsiliasi
Nasional Republik Papua Barat Saul J. Bomay yang dikonfirmasi terpisah
mengatakan, pihaknya tak sependapat aksi protes yang dilancarkan pemerintah
Indonesia terhadap pemerintah Inggris terkait pembukaan Kantor OPM di Inggris,
Pasalnya, pembukaan Kantor OPM di Inggris mendapat dukungan penuh dari Kongres
Amerika Serikat, untuk mengawasi kasus pelanggaran HAM dan Demokrasi di Papua,
yang selam ini disoroti masyarakat internasional.
“Dia harus bersyukur negara lain bisa membuka
Kantor OPM dalam meringankan beban pemerintah Indonesia tertutama menegakan HAM
dan demokrasi di Papua Barat. Bahkan kami segera usulkan membuka Kantor OPM di
Jakarta dan di negara lain,” tandasnya.
Aksi protes pemerintah Indonesia terhadap
pemerintah Inggris, lanjutnya, hal ini tak boleh terjadi.
“Jakarta
harus tanya orang Papua kamu mau merdeka atau tidak. Baru OPM yang ada seperti
Goliat Tabuni, Jhon Yogi, Lamber Pekikir dan lain-lain tanya mereka baik kalau
mereka katakan ingin memisahkan diri dari NKRI, Indonesia harus membuka diri
dengan mempertangggungjawabkan segi politik dan moril terhadap orang Papua
melalui perundingan yang difasilitasi pihak ketiga bukan Dialog Jakarta—Papua.
(bintangpapua.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar