"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Kamis, 18 April 2013

Korea di Gerbang Perang Nuklir


 Dunia tengah disuguhkan "Perang Urat Syaraf" tingkat tinggi di Semenanjung Korea. Dalam beberapa pekan terakhir Amerika Serikat bersama sekutunya, Korea Selatan saling gertak dengan musuh mereka, Korea Utara.

 

Ini bukan ketegangan biasa. Tapi melibatkan dua negara bersenjata penghancur massal sekaligus perusak bumi. Berjuluk negara adidaya, AS punya armada kapal dan pesawat yang mampu menjatuhkan bom-bom nuklir. Walaupun negara miskin dengan banyak warga yang kurang makan, Korea Utara punya teknologi nuklir yang bisa diolah menjadi bom atom. Satu saja lepas tembakan rudal berisi nuklir dari salah satu pihak yang bertikai, bencana besar bisa muncul.


 Perang urat syaraf ini adalah kelanjutan dari konflik turun-temurun di Semenanjung Korea. Sejak berakhirnya Perang Korea 1950-1953 melalui perjanjian gencatan senjata PBB, AS-Korsel melawan Korut terus berlangsung. Tapi situasi saat ini lebih menegangkan dari sebelumnya.

 Ban Ki-moon, Sekretaris Jenderal PBB yang kebetulan adalah orang Korea, menilai ketegangan kali ini sudah "kelewatan." Para pemimpin dari negara yang bertikai belum mengendurkan sikap keras mereka.

 Pemimpin belia Korut, Kim Jong-un, bertekad membela negeri, dan mempertahankan harga diri bangsa dengan kekuatan nuklir. Kalangan pengamat menilai retorika sangar dari Jong-un, bisa jadi hanya menegaskan posisinya sebagai pemimpin yang tak bisa dianggap sebelah mata, walau usianya diyakini baru 30 tahun.

 Sebagai penerus dinasti penguasa tunggal Korut, Jong-un tampak ingin meneruskan kebiasaan almarhum ayah dan kakeknya, yaitu Kim Jong-il dan Kim Il-sung, dengan melontarkan retorika yang bisa membuat panas telinga para musuh-musuhnya di luar negeri.

 Pemimpin Korsel juga tidak kalah garang. Sebagai presiden Korsel yang baru dilantik, Park Geun-hye juga melontarkan pernyataan keras militernya tidak segan membalas bila diserang.

 Presiden AS, Barack Obama, tampak masih menahan diri meladeni gertakan Korut. Namun melihat manuver dari para jenderalnya, AS juga makin serius menghadapi ancaman dari Pyongyang dengan menyiagakan kekuatan militernya


 Ancaman rudal

 Seberapa seriuskah ancaman Korea Utara? Kalangan pakar keamanan masih menganggap ancaman serangan nuklir Korut ke AS masih sebatas gertakan retorik. Yang dikhawatirkan adalah tembakan rudal-rudal Korut, apalagi bila diisi oleh hulu ledak nuklir.

 Tapi AS sendiri pun tampak belum mengetahui secara detail kemampuan rudal Korut dan seberapa besar ancaman yang ditimbulkan. Data intelijen mereka tampak masih terbatas. Korut menutup diri dari komunitas internasional, terutama Barat. Fasilitas vital Korut seperti reaktor nuklir tampak susah ditembus.

 Mereka hanya bisa menilai Pyongyang telah meningkatkan kemampuan rudal mereka dalam beberapa tahun terakhir. Senjata penghancur itu bisa menyentuh Guam, Alaska, dan Hawaii. Namun, belum ada bukti Korut sudah menguji senjata nuklir yang dapat dipasang hulu ledak di rudal balistik, seperti milik AS, Rusia, dan China. Itulah sebabnya AS belum yakin Korut sudah bisa menembakkan rudal ke Amerika Daratan.

 Gary Samore, pakar proliferasi nuklir AS, yakin ancaman dari Kim Jong-un kepada AS kemungkinan besar semuanya hanya gertakan. "Sangat-sangat tidak yakin mereka sudah punya rudal nuklir yang mampu mencapai AS," kata Samore, seperti dikutip kantor berita Reuters.

 Dia melihat Korut tidak senekad yang dikira banyak pihak. "Mereka tahu bahwa serangan apapun ke AS pada akhirnya juga akan berdampak kepada negeri mereka," kata Samore, yang kini mengajar di Kennedy School, Universitas Harvard, setelah menjadi salah satu penasihat keamanan Presiden Barack Obama bidang proliferasi nuklir.

 Tidak jelas seberapa besar pengetahuan AS akan perkembangan program senjata Korut karena Washington sendiri masih merahasiakan laporan intelijen mereka atas negara komunis itu. Ada dugaan Korut baru bisa merancang perangkat nuklir skala kecil yang bisa dimasukkan menjadi hulu ledak ke rudal-rudal jarak menengah buatan mereka, seperti Nodong.

 Walau belum pasti Korut mampu membuat senjata nuklir dan mampu menembakkan rudal jarak jauh, ancaman militer Korut tetap membahayakan AS dan dunia. Rudal jarak menengah seperti Nodong bisa mencapai negara sekutu AS, seperti Korsel dan Jepang.

 Pangkalan AS di Guam, Okinawa, dan Hawaii pun bisa menjadi target empuk. Maka, sudah lama intelijen AS mewaspadai rudal Korut lainnya, KN-08. Jarak tempuhnya lebih panjang dari Nodong, dan telah dipertontonkan dalam parade militer Korut tahun lalu.

 Korut juga punya beberapa tipe rudal lain, seperti varian SCUD tipe B dan C yang masing-masing berjangkau 300 km dan 500 km. Juga ada beberapa puluh rudal tipe Nodong yang diperkirakan berjarak tempuh 1.300 km.

 Efek politis

 Suara netral berasal dari Rusia. Para pengamat di negeri beruang es itu menilai ancaman perang yang muncul selama ini hanya bersifat politis. Mereka tak yakin aksi pertempuran akan meletus. Alexei Pushkov, Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Parlemen Rusia (Duma), menilai ancaman Korut itu lebih terkait kepada latihan militer AS-Korsel yang dekat dengan perbatasan dua Korea. Pernyataan Pyongyang, menurut Pushkov, lebih diarahkan sebagai sinyal kepada AS.

 "Mereka [Korut] mengambil pelajaran dari Perang Irak, saat Saddam Hussein tidak siap dan tidak mampu menerapkan serangan atas wilayah musuh. Korut, dengan mengancam AS dan pangkalan serta sekutunya, memberi peringatan bahwa mereka tak akan diperlakukan seperti Irak. Dan mereka punya potensi untuk membalas," kata Pushkov seperti dikutip RBTH Asia.

 Pushkov juga melihat Korut sudah mencapai tujuannya. Setidaknya, membuat AS menanggapi pernyataan mereka itu secara serius, dan akan mengantisipasi apa yang bakal diterapkan Pyongyang.

 Dia sendiri dan negaranya ikut resah. "Rusia tengah mengikuti situasinya dan sangat khawatir. Memberi sinyal dan menggunakan tekanan politik merupakan satu hal, namun menggunakan kekuatan militer untuk mengatasi isu ini betul-betul tidak dapat diterima," lanjut Pushkov.

 Alexander Vorontsov, Ketua Departemen Korea dan Mongolia dari Russian Academy of Science Oriental Studies Institute, juga menilai pernyataan konfrontatif Korut bukan deklarasi perang atau memulai permusuhan. Pyongyang lebih melihat gencatan senjata dengan Korsel sudah berakhir. "Ini bukanlah deklarasi berniat memulai aksi militer, namun menunjukkan determinasi untuk membalas bila terjadi kemungkinan provokasi," kata Vorontsov, seperti dikutip RBTH Asia.

 Dia mengingatkan ketegangan serupa beraroma konfrontatif, pernah terjadi di dekade 1960an. Saat itu Korut menahan sebuah kapal Amerika di perairannya. Krisis itu pada akhirnya bisa diselesaikan lewat pendekatan diplomatik, namun perlu waktu setahun.

 Namun Vorontsov mengingatkan skenario terburuk, yaitu perang terbuka, ada konsekuensinya. "Tidak ada jaminan suatu konflik lokal bisa dicegah penyebarannya," kata dia. Bahkan negara seperti Rusia pun, yang punya garis perbatasan 17 km dengan Korut, bisa terpengaruh.

 Efek negatif dari skenario perang terbuka itu, bagi Rusia, adalah bisa mengancam salah satu provinsinya, yaitu Primorye. Vorontsov mengingatkan ada risiko bencana lingkungan karena terdapat 30 reaktor nuklir di Korut, baik di sebelah utara dan selatan negara itu. "Mereka ini bisa menjadi 10 kali Chernobyl dan Fukushima," dia menambahkan. Banjir pengungsi dari Korut bila pecah perang besar tidak saja merepotkan China, namun juga Rusia.

 "Saya berharap akal sehat akan menang," kata Vorontsov.
 (IRIB Indonesia/Vivanews)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar