Dunia tengah disuguhkan "Perang Urat
Syaraf" tingkat tinggi di Semenanjung Korea . Dalam beberapa pekan
terakhir Amerika Serikat bersama sekutunya, Korea Selatan saling gertak dengan
musuh mereka, Korea Utara.
Ini bukan ketegangan biasa. Tapi melibatkan
dua negara bersenjata penghancur massal sekaligus perusak bumi. Berjuluk negara
adidaya, AS punya armada kapal dan pesawat yang mampu menjatuhkan bom-bom
nuklir. Walaupun negara miskin dengan banyak warga yang kurang makan, Korea
Utara punya teknologi nuklir yang bisa diolah menjadi bom atom. Satu saja lepas
tembakan rudal berisi nuklir dari salah satu pihak yang bertikai, bencana besar
bisa muncul.
Perang urat syaraf ini adalah kelanjutan dari
konflik turun-temurun di Semenanjung Korea . Sejak berakhirnya Perang Korea 1950-1953 melalui perjanjian gencatan
senjata PBB , AS -Korsel melawan Korut terus berlangsung.
Tapi situasi saat ini lebih menegangkan dari sebelumnya.
Ban Ki-moon, Sekretaris Jenderal PBB yang kebetulan
adalah orang Korea ,
menilai ketegangan kali ini sudah "kelewatan." Para
pemimpin dari negara yang bertikai belum mengendurkan sikap keras mereka.
Pemimpin belia Korut, Kim Jong-un, bertekad
membela negeri, dan mempertahankan harga diri bangsa dengan kekuatan nuklir.
Kalangan pengamat menilai retorika sangar dari Jong-un, bisa jadi hanya
menegaskan posisinya sebagai pemimpin yang tak bisa dianggap sebelah mata,
walau usianya diyakini baru 30 tahun.
Sebagai penerus dinasti penguasa tunggal
Korut, Jong-un tampak ingin meneruskan kebiasaan almarhum ayah dan kakeknya,
yaitu Kim Jong-il dan Kim Il-sung, dengan melontarkan retorika yang bisa
membuat panas telinga para musuh-musuhnya di luar negeri.
Pemimpin Korsel juga tidak kalah garang.
Sebagai presiden Korsel yang baru dilantik, Park Geun-hye juga melontarkan
pernyataan keras militernya tidak segan membalas bila diserang.
Ancaman
rudal
Seberapa seriuskah ancaman Korea Utara?
Kalangan pakar keamanan masih menganggap ancaman serangan nuklir Korut ke AS
masih sebatas gertakan retorik. Yang dikhawatirkan adalah tembakan rudal-rudal
Korut, apalagi bila diisi oleh hulu ledak nuklir.
Mereka hanya bisa menilai Pyongyang telah meningkatkan kemampuan rudal
mereka dalam beberapa tahun terakhir. Senjata penghancur itu bisa menyentuh Guam , Alaska , dan Hawaii . Namun, belum ada
bukti Korut sudah menguji senjata nuklir yang dapat dipasang hulu ledak di
rudal balistik, seperti milik AS, Rusia, dan China . Itulah sebabnya AS belum
yakin Korut sudah bisa menembakkan rudal ke Amerika Daratan.
Gary Samore, pakar proliferasi nuklir AS,
yakin ancaman dari Kim Jong-un kepada AS kemungkinan besar semuanya hanya
gertakan. "Sangat-sangat tidak yakin mereka sudah punya rudal nuklir yang
mampu mencapai AS," kata Samore, seperti dikutip kantor berita Reuters.
Dia melihat Korut tidak senekad yang dikira
banyak pihak. "Mereka tahu bahwa serangan apapun ke AS pada akhirnya juga
akan berdampak kepada negeri mereka," kata Samore, yang kini mengajar di Kennedy School , Universitas Harvard, setelah
menjadi salah satu penasihat keamanan Presiden Barack Obama bidang proliferasi
nuklir.
Tidak jelas seberapa besar pengetahuan AS akan
perkembangan program senjata Korut karena Washington sendiri masih merahasiakan
laporan intelijen mereka atas negara komunis itu. Ada dugaan Korut baru bisa merancang
perangkat nuklir skala kecil yang bisa dimasukkan menjadi hulu ledak ke
rudal-rudal jarak menengah buatan mereka, seperti Nodong.
Walau belum pasti Korut mampu membuat senjata
nuklir dan mampu menembakkan rudal jarak jauh, ancaman militer Korut tetap
membahayakan AS dan dunia. Rudal jarak menengah seperti Nodong bisa mencapai
negara sekutu AS, seperti Korsel dan Jepang.
Pangkalan AS di Guam, Okinawa, dan Hawaii pun bisa menjadi
target empuk. Maka, sudah lama intelijen AS mewaspadai rudal Korut lainnya,
KN-08. Jarak tempuhnya lebih panjang dari Nodong, dan telah dipertontonkan
dalam parade militer Korut tahun lalu.
Korut juga punya beberapa tipe rudal lain,
seperti varian SCUD tipe B dan C yang masing-masing berjangkau 300 km dan 500
km. Juga ada beberapa puluh rudal tipe Nodong yang diperkirakan berjarak tempuh
1.300 km.
Efek politis
Suara netral berasal dari Rusia. Para pengamat di negeri beruang es itu menilai ancaman
perang yang muncul selama ini hanya bersifat politis. Mereka tak yakin aksi
pertempuran akan meletus. Alexei Pushkov, Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri
Parlemen Rusia (Duma), menilai ancaman Korut itu lebih terkait kepada latihan
militer AS-Korsel yang dekat dengan perbatasan dua Korea. Pernyataan Pyongyang,
menurut Pushkov, lebih diarahkan sebagai sinyal kepada AS.
"Mereka [Korut] mengambil pelajaran dari
Perang Irak, saat Saddam Hussein tidak siap dan tidak mampu menerapkan serangan
atas wilayah musuh. Korut, dengan mengancam AS dan pangkalan serta sekutunya,
memberi peringatan bahwa mereka tak akan diperlakukan seperti Irak. Dan mereka
punya potensi untuk membalas," kata Pushkov seperti dikutip RBTH Asia.
Pushkov juga melihat Korut sudah mencapai
tujuannya. Setidaknya, membuat AS menanggapi pernyataan mereka itu secara
serius, dan akan mengantisipasi apa yang bakal diterapkan Pyongyang .
Dia sendiri dan negaranya ikut resah.
"Rusia tengah mengikuti situasinya dan sangat khawatir. Memberi sinyal dan
menggunakan tekanan politik merupakan satu hal, namun menggunakan kekuatan
militer untuk mengatasi isu ini betul-betul tidak dapat diterima," lanjut
Pushkov.
Alexander Vorontsov, Ketua Departemen Korea
dan Mongolia dari Russian Academy of Science Oriental Studies Institute, juga
menilai pernyataan konfrontatif Korut bukan deklarasi perang atau memulai
permusuhan. Pyongyang
lebih melihat gencatan senjata dengan Korsel sudah berakhir. "Ini bukanlah
deklarasi berniat memulai aksi militer, namun menunjukkan determinasi untuk
membalas bila terjadi kemungkinan provokasi," kata Vorontsov, seperti
dikutip RBTH Asia.
Dia mengingatkan ketegangan serupa beraroma
konfrontatif, pernah terjadi di dekade 1960an. Saat itu Korut menahan sebuah
kapal Amerika di perairannya. Krisis itu pada akhirnya bisa diselesaikan lewat
pendekatan diplomatik, namun perlu waktu setahun.
Namun Vorontsov mengingatkan skenario
terburuk, yaitu perang terbuka, ada konsekuensinya. "Tidak ada jaminan suatu
konflik lokal bisa dicegah penyebarannya," kata dia. Bahkan negara seperti
Rusia pun, yang punya garis perbatasan 17 km dengan Korut, bisa terpengaruh.
Efek negatif dari skenario perang terbuka itu,
bagi Rusia, adalah bisa mengancam salah satu provinsinya, yaitu Primorye.
Vorontsov mengingatkan ada risiko bencana lingkungan karena terdapat 30 reaktor
nuklir di Korut, baik di sebelah utara dan selatan negara itu. "Mereka ini
bisa menjadi 10 kali Chernobyl dan Fukushima ," dia
menambahkan. Banjir pengungsi dari Korut bila pecah perang besar tidak saja
merepotkan China ,
namun juga Rusia.
"Saya berharap akal sehat akan
menang," kata Vorontsov.
(IRIB Indonesia/Vivanews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar