"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Jumat, 29 Maret 2013

Pemilu, Konstitusi dan Posisi Presiden di Iran


Dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, presiden memiliki posisi yang sangat utama. Karena itu, pemilihan umum presiden (pilpres) di Iran memiliki peran sangat penting. Berdasarkan pasal 113 Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran, presiden merupakan posisi tertinggi di Republik Islam Iran setelah pemimpin besar Revolusi atau rahbar. Kecuali di beberapa bidang khusus yang berada di bawah wewenang rahbar, presiden juga merupakan pimpinan lembaga eksekutif negara.


Sistem pemerintahan Republik Islam Iran memiliki dua dimensi yang saling terkait. Yaitu dimensi keislaman dan dimensi kerakyatannya.
Dengan melihat kembali UUD Iran, kedua dimensi itu merupakan dua pilar utama negara yang saling melengkapi. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 56 UUD, "Kekuasaan mutlak atas dunia dan manusia adalah milik Tuhan dan Dialah yang menjadikan manusia menguasai nasib sosialnya. Tak ada siapapun yang bisa menafikan hak ilahi itu dari diri manusia ataupun memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu".

Pemilihan umum presiden merupakan manifestasi partisipasi rakyat dalam menentukan nasibnya di Republik Islam Iran. Pasca amandemen UUD pada tahun 1989, wewenang Presiden makin meningkat tajam. Sebelum amandemen UUD, urusan eksekutif lebih banyak dipegang oleh perdana menteri. Namun sejak 20 tahun lalu, jabatan perdana menteri dihapus dalam sistem pemerintahan Iran. Mengingat begitu pentingnya posisi presiden, maka UUD pun menggariskan syarat-syarat yang khusus bagi para kandidat presiden. Persyaratan itu bisa kita temui dalam pasal 115 UUD Iran yang berbunyi, "Presiden adalah seorang yang mesti agamis, politisi, asli Iran, berkewarganegaraan Iran, pemimpin yang bijak dan cakap, memiliki latar belakang yang baik, amanah, bertakwa, mukmin, meyakini prinsip Republik Islam Iran dan agama resmi negara".

Kelayakan calon presiden akan diseleksi dan ditetapkan oleh Dewan Konstitusi Republik Islam Iran. Presiden akan dipilih setiap empat tahun sekali dan hanya bisa memegang jabatan itu selama dua periode berturut-turut.

Tugas utama presiden republik Islam Iran adalah sebagai pimpinan kabinet kementerian dan menangani urusan eksekutif negara. Berdasarkan pasal 133 UUD, presidenlah yang memilih menteri dan memperkenalkannya kepada parlemen untuk mendapatkan mosi kepercayaan. Setelah usulan calon menteri disetujui parlemen, kabinet pun memulai kerjanya di bawah pimpinan presiden. 

Lantaran dipilih oleh presiden dan ditetapkan oleh parlemen, maka para menteri pun mesti mempertanggungjawabkan tugasnya pada presiden dan parlemen. Karena itu, biasanya presiden memilih seorang menteri yang tidak hanya sejalan dengan kebijakannya tapi juga yang direstui oleh parlemen. Tentu saja, secara umum hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif di Iran terjalin begitu luas dan dekat. Parlemen merupakan lembaga yang berwenang untuk mensahkan draft anggaran negara dan memantau jalannya pemerintahan.

Selain meminta pertanggungjawaban dari menteri, parlemen juga berhak untuk meminta keterangan dari presiden. Meski demikian, rencana meminta keterangan dari presiden itu mesti dihadiri oleh minimal seperempat anggota parlemen. Umumnya, presiden menyusun dan menerapkan kebijakan ekonomi, budaya, dan sosialnya lewat koordinasi dengan parlemen. Namun, penetapan politik makro negara tetap berada di bawah wewenang rahbar atau pemimpin besar Revolusi Islam. Selain itu, presiden juga memiliki tugas lainnya yaitu menjalan keputusan parlemen yang telah disahkan.

Berdasarkan pasal 128 UUD, para calon duta besar Iran ditentukan melalui usulan menteri luar negeri dan ditetapkan oleh presiden. Penerimaan dan penandatanganan surat kepercayaan para dubes dari negara-negara lain merupakan juga wewenang presiden selaku pejabat tertinggi negara yang kedua. Di samping itu, menurut konstitusi, surat keputusan, nota kesepakatan, dan nota perjanjian antara pemerintah Iran dengan negara-negara lainnya mesti ditandatangani oleh presiden setelah disahkan oleh parlemen. Presiden juga berwenang untuk memilih pimpinan lembaga penting negara seperti sekjen Dewan Tinggi Keamanan Nasional dan Dewan Tinggi Revolusi Kebudayaan. Selain itu, presiden merupakan anggota Dewan Penentu Kebijakan Negara.
Presiden tidak hanya memiliki tugas dan wewenang yang berat dan luas, tapi juga mesti bertanggung jawab atas apa yang telah dijalankannya. Pasal 122 UUD memaparkan, "Presiden harus bertanggung jawab terhadap bangsa, rahbar, dan parlemen Islam sesuai dengan wewenang dan tugas yang telah ditetapkan oleh konstitusi dan aturan hukum lainnya". Karena itu, presiden mesti mempertanggungjawabkan tugasnya di hadapan rakyat dan para wakilnya di parlemen. Biasanya, presiden menggelar pidato atau pembicaraan terbuka dengan masyarakat guna memberikan keterangan soal kebijakan pemerintah dan pelbagai program yang telah dijalankan.

Lantaran kedekatan hubungannya dengan rahbar, presiden biasanya juga bermusyawarah dengan rahbar tentang pelbagai persoalan negara. Apalagi selama dua dekade kepimpinan Ayatollah Al-Uzma Sayed Ali Khamenei sebagai rahbar, dia selalu memberikan bantuan yang tulus kepada pemerintah dan membantunya untuk melepaskan negara dari pelbagai tantangan serius.

Presiden merupakan hasil pilihan rakyat. Namun jika ia melakukan tindakan yang menyalahi konstitusi dan bersikap otoriter sehingga mengancam kepentingan negara, bisa saja ia diberhentikan oleh parlemen. Dalam hal ini, sesuai dengan pasal 88 UUD, parlemen berhak untuk menyatakan ketidaklayakan presiden dalam memimpin negara. Rencana untuk menggelar interpelasi terhadap presiden mesti ditandatangani oleh minimal sepertiga dari anggota parlemen. Sementara keputusan untuk menetapkan ketidaklayakan seorang presiden memerlukan dua pertiga suara anggota parlemen.

Meski presiden merupakan pejabat tertinggi negara setelah rahbar, namun di mata hukum, posisi presiden sama seperti rakyat biasa. Karena itu, jika presiden dituding bersalah, maka ia pun mesti diseret ke pengadilan. Berdasarkan pasal 140 UUD, proses hukum terhadap dakwaan yang diarahkan kepada presiden, wakil presiden, dan para menteri dalam pidana biasa dilakukan dengan pemberitahuan kepada parlemen. Selain itu untuk mencegah terjadinya penyelewengan jabatan dan fasilitas negara, harta miliki seluruh pejabat negara termasuk presiden mesti diaudit terlebih dahulu baik sebelum maupun sesudah menjabat. 

(irib.ir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar