Dolar dan euro berbentuk kapal udara kertas berhamburan menembus angkasa biru. Lalu sebuah tulisan "Perang valuta asing!" Inilah cover story majalah ekonomi Iran, Eghtesad, Rabu (5/12/2012).
Majalah ini, termasuk yang tenar di Teheran, tidak
berlebihan. Ibarat perang, rial, mata uang Iran, kini berdarah-darah.
Penyebabnya? Apalagi jika bukan karena gempuran dolar dan euro.
Pada Kamis
(6/12), misalnya, dolar kukuh di level 29.300 rial (setara Rp22.900)
, sementara euro setara 39.000
rial. Angka itu melambung dari harga resmi yang dipatok Pemerintah Iran sekitar
enam bulan silam, yakni 12.260 rial/dolar dan 15.110 rial/euro.
Media-media Barat dan sejumlah negara di Teluk
umumnya menggambarkan gejolak rial dengan cobek politik yang kental propaganda.
Ada berita
Teheran diambang kekacauan massal dan krisis pangan. Ada pula sassus perkelahian dan rusuh di
sejumlah pintu loket bank. Orang digambarkan saling sikut untuk sekadar bisa
menukarkan dolar atau euro.
Faktanya? Jauh dari itu. Memang, untuk menukarkan
dolar atau euro, lebih susah saat sekarang ini. Turis-turis asing utamanya.
Dompet mereka boleh tebal, tapi teramat susah mencari money changer yang mau
melayani penukaran dolar.
Berbeda dengan Jakarta di 1998, pemerintah di Teheran
berhasil memaksakan pengetatan operasi money changer. Di sisi lain, para
pedagang bazar seperti kompak menolak melayani transaksi dalam dolar sebagai
solidaritas pada upaya pemerintah meredam ulah buas spekulan.
Hingga hari ini, prioritas penukaran dolar lebih
diberikan pada kalangan perdagangan dan importir bahan pokok. Kendati
menyusahkan, langkah ini banyak membantu Teheran mengontrol gerak liar dolar
yang sempat bertengger di kisaran 37.000 beberapa pekan silam.
Kendati, harus diakui, sanksi Amerika dan Eropa
membawa dampak yang memukul. Pelarangan transaksi bank-bank Iran dengan bank di luar negeri menjadikan orang
Iran
kesulitan mengimpor barang. Seperti bisa ditebak, sanksi ini berujung pada
lonjakan tak terkendali harga barang-barang impor, semisal obat-obatan.
Dilaporkan sejumlah pasien harus meregang nyawa karena minimnya suplai
obat-obatan penyakit khusus seperti penyakit talasemia, hemophilia, dan
hepatitis.
Dalih Palsu
Kalangan pengamat umumnya sependapat gejolak rial
hanyalah bumbu dari upaya Barat menekan Teheran agar menghentikan program
nuklir yang dicurigai mengarah pada tujuan militer.
Di forum-forum internasional, pejabat Iran gencar
membantah semua tuduhan itu. Mereka bilang program nuklir Iran bertujuan
damai, antara lain untuk pembangkit listrik dan radioisotop bagi pengobatan
kanker dan penyakit kronis. Toh, kata mereka, tak pernah ada bukti Iran ingin
memproduksi senjata nuklir. Di luar itu, Iran adalah bagian dari negara
penandatangan traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan anggota Badan Energi
Atom Internasional (IAEA). Dua hal itu menjadikan Iran berhak, sebagaimana ratusan
negara lainnya, menggunakan teknologi nuklir untuk tujuan damai.
Di Iran, gelombang sanksi Barat mengukuhkan
pandangan perlawanan di tengah masyarakat. Toh mereka dengan mudah melihat
standar ganda Barat yang tak pernah sekalipun mengusik Israel yang
punya ratusan hulu ledak nuklir. Tak heran jika banyak yang menduga ini hanya
akal-akalan meredam geliat pembangunan di Iran. "Alasan utama di balik
sanksi anti-Iran bukan masalah nuklir, melainkan perlawanan bangsa Iran terhadap
hegemoni global," kata Pemimpin Revolusi Islam, Ayatullah Sayyid Ali
Khamenei, belum lama ini.
Suka ataupun tidak, sejak Revolusi 1979, Iran perlahan
menjadi negara yang mampu berdiri sejajar dan bahkan mengalahkan banyak negara
lainnya. Dalam soal riset dan teknologi, misalnya, Iran termasuk di antara sedikit
negara yang menguasai soal teknologi nuklir, peluncuran satelit, nanoteknologi,
dan produksi alat canggih sistem persenjataan, dari kapal selam hingga rudak
antarbenua. Dalam soal politik, Iran
kini menjadi kekuatan vital dan penentu di Timur Tengah dengan pengaruh politik
membentang jauh hingga ke negara-negara latin di Amerika Selatan. Di dalam
negeri, mereka juga berhasil memacu pertumbuhan industri di seluruh lini plus
mendorong pemerataan kemakmuran. Yang terakhir tampaknya jawaban atas sistem
kapitalisme yang lebih berpihak pada kalangan berdompet tebal.
Meredam
Tsunami Sanksi
Tapi, bagaimana jurus Iran keluar dari kungkungan sanksi
Barat? Tak ada jawaban cespleng. Tapi jika kerja pemerintah di Teheran dalam
beberapa tahun terakhir jadi rujukan, Iran tampaknya telah memilih
langkah strategis.
Pertama, ada isyarat kuat pemerintah berupaya
mengubah sanksi menjadi peluang untuk berbenah dan mandiri, yakni dengan
meningkatkan produksi nasional sekaligus membebaskan diri dari rantai
ketergantungan pada pendapatan minyak mentah. Data teranyar yang dirilis oleh
kantor bea cukai Iran menunjukkan
total volume perdagangan luar negeri Iran
selama delapan bulan pertama tahun kalender Iran saat ini (mulai 20 Maret 2012)
mencapai US$65.326 miliar.
Kedua, secara sosiologis masyarakat Iran adalah
kaum Bazaari, masyarakat pedagang, yang punya seribu cara untuk menciptakan dan
memanfaatkan peluang, bahkan di pusaran sanksi sekalipun. Ketika sanksi Barat
menutup akses transaksi perbankan Iran dengan masyarakat internasional, Iran
beralih menggunakan emas, mengadopsi sistem barter, dan menggunakan mata uang
lokal sebagai alat transaksi perdagangan antarnegara.
Kantor Berita Reuters, Kamis (29/11), melaporkan Iran
menggunakan emas dalam berbagai transaksi internasional termasuk dengan
tetangganya Turki. Sebelumnya, dengan cara yang bermiripan, Iran sepakat menggunakan mata uang lokal dalam
ekspor-impor minyak dengan India
dan Cina. Dengan cara ini Iran
sekaligus melancarkan perlawanan terhadap dominasi dolar dan euro sebagai mata
uang standar internasional.
Perang tampaknya masih panjang. Di satu sisi, Barat
kukuh dengan tekanan saksi dan aneka ancaman pengucilan. Di sisi lain, Iran berkeras
tak mundur dari apa yang telah menjadi haknya dalam penguasaan teknologi
nuklir. Entah siapa yang bakal takluk. Jalannya peperangan sejauh ini membawa
beragam kisah pada mereka yang ingin memetik pelajaran.
*Purkon Hidayat
Peneliti Institute Khazanah Islam Nusantara (IhsaN)
(sindoweekly-magz.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar