Bongkahan batu alam tergeletak di dalam kardus di ruangan yang tak terlalu luas itu. Serbuk silika berwarna kuning, pasir besi, beberapa alat pemotong besi, dan pemisah magnet tampak berserakan di lantai berlapis kayu. “Beginilah kalau sedang bekerja, berantakan,” ujarDr Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng. Di ruang berukuran 5 x 8 meter itulah peneliti fisika di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puspiptek Serpong, Tangerang, ini melakukan riset teknologi nano.
Ruangan yang terletak di lantai dua Pusat Penelitian Fisika LIPI itu nyaris seperti kapal pecah. Sejumlah diktat dan proposal berserakan di atas meja. Beberapa unit komputer serta alat-alat eksperimen rakitan Nurul dan delapan stafnya juga belum dibereskan.
Malam itu, pria lulusan Kagoshima University, Jepang, ini menunjukkan kehebatan pemisah magnet temuannya. Nurul tak perlu terbang jauh ke luar negeri untuk membeli komponen alat itu karena tersedia di Glodok, Jakarta Barat. Nurul memasukkan sejumput pasir besi ke alat tersebut. Setelah diputar, pasir yang mengandung besi oksida turun dan yang tak mengandung besi oksida menempel pada lempengan karet yang melengkung ke bawah.
Dari serbuk pasir yang telah dinanokan itu bisa dibentuk batangan besi dan tabung besi. Menurut Nurul, pasir besi sangat mudah dicari. “Sekilo paling cuma Rp 250. Kalau sudah dinanokan, bisa mencapai Rp 1 juta. Ini peluang bisnis untuk mengolah kekayaan alam Indonesia,” ujarnya.
Teknologi nano yang sederhana dan pengolahan yang tak rumit membuat pasir besi selanjutnya bisa diolah menjadi tinta printer seharga Rp 250 ribu. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah itulah yang membuat Nurul pulang kampung setelah 15 tahun kuliah dan bekerja di Negeri Sakura. Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 5 Agustus 1970, itu menyelesaikan S1 sampai S3 teknik mesin di Kagoshima University atas biaya Habibie Center.
“Saya gemes banget. Apa yang mungkin orang lain tidak lakukan, saya bisa kerjakan. Makanya saya ingin di bengkel ini mestinya juga lahir Apollo berteknologi nano,” katanya seraya menunjuk sejumlah mesin.
Peraih Ganesha Widya Jasa Adiutama Award dari Institut Teknologi Bandung pada 2009 itu bersemangat menciptakan alat-alat baru berteknologi nano yang belum ada di dunia dari kekayaan alam Indonesia.
“Di tangan saya dan tim, alat semacam ini harganya cuma Rp 5 sampai Rp 20 juta.” ujar Nurul sembari memperlihatkan milling gerak elips 3 dimensi yang difungsikan sebagai penghancur partikel nano. Alat itu telah dipesan sebuah universitas di Malaysia. “Alat ini tidak ada duanya di dunia. Kalau yang sudah ada keluaran luar negeri hanya mengocok, namun kalau bikinan saya nggak hanya mengocok, tapi juga berputar.”
Tak banyak orang awam yang akrab dengan teknologi nano. Nanometer artinya satu per satu miliar meter. Sesuai dengan namanya, teknologi ini berkaitan dengan penciptaan benda-benda kecil, yang mencakup pengembangan teknologi dalam skala nanometer, biasanya 0,1 sampai 100 nanometer. Satu nanometer sama dengan sepersejuta milimeter.
Ayah enam anak ini yakin, dengan teknologi nano, bukan tak mungkin bebatuan alam diubah menjadi intan, berlian, dan logam. Untuk mengolah kekayaan alam menjadi sesuatu yang lebih dahsyat, Nurul yang di Jepang dikenal sebagai doktor bidang rekayasa material itu membentuk komunitas Masyarakat Nano Indonesia dan ia menjadi ketuanya.
Nurul juga dikenal sebagai sebagai penemu teknologi eliminasi kandungan timbel (Pb) pada logam kuningan melalui daur ulang. Teknologi yang dipatenkan di Jepang pada Mei 2003 itu membuat jutaan meter kubik limbah kuningan di Jepang menjadi barang berharga lagi.
Dengan segudang prestasi, ia sebenarnya bisa hidup mapan di Jepang. Namun, setelah menyelesaikan program doktor pada 2000, Nurul yang pernah setahun bekerja di perusahaan pipa, shower, dan aksesori kamar mandi Kyusutabuchi–memilih pulang ke Indonesia. Ia menolak tawaran menjadi pegawai di Jepang dengan gaji besar.
“Dulu, ketika saya masuk LIPI, hanya ada meja dan kursi. Lalu saya membuat alat sendiri. Sekarang ruangan sudah penuh dengan alat, sekitar sembilan sudah saya patenkan atas nama LIPI dan menyusul tiga lainnya nanti.”
Kini peraih predikat doktor cum laude itu masih mengembangkan nanosilika sejak 2004. Nanosilika ini sudah dipatenkan di Indonesia atas namanya pada Juli 2006. “Nanosilika bila dicampur dengan adonan semen dapat memperkuat beton dua kali lipat.”
Ia juga telah mematenkan alat peraga nano-edu pada Juni 2006. Jepang sudah membelinya 300 unit. Selain meneliti, Nurul dan kawan-kawan di komunitas Masyarakat Nano Indonesia membuka Bamboo Futsal, lapangan futsal di Jalan Raya Serpong, tak jauh dari kantornya. Malam itu Nurul dan istrinya mengajak mencicipi bakso di Resto Bamboo.
“Di sini kadang ide mengalir. Kami berdiskusi. Seusai main futsal, lalu makan bersama,” kata Nurul, yang melengkapi lapangan indoor itu dengan kedai makanan, seperti sate dan bakso semut Singosari racikan adiknya dari Malang, serta kedai minuman.
Nurul enggan menyebutkan omzet lapangan futsal itu dan berapa dana yang mengalir untuk bisnis teknologi nano. “Memang ada sebagian dari sini (usaha futsal) untuk pengembangan bisnis inkubasi nano partikel.”
Prestasi Nurul rupanya dilirik oleh Arab Saudi. Melalui surat, Raja Arab Saudi menawarinya bekerja mengembangkan teknologi nano di negeri kaya minyak itu. “Gajinya Rp 45 juta setiap bulan, tapi saya masih cinta Indonesia.”
(http://indonesiaproud.wordpress.com/)
Malam itu, pria lulusan Kagoshima University, Jepang, ini menunjukkan kehebatan pemisah magnet temuannya. Nurul tak perlu terbang jauh ke luar negeri untuk membeli komponen alat itu karena tersedia di Glodok, Jakarta Barat. Nurul memasukkan sejumput pasir besi ke alat tersebut. Setelah diputar, pasir yang mengandung besi oksida turun dan yang tak mengandung besi oksida menempel pada lempengan karet yang melengkung ke bawah.
Dari serbuk pasir yang telah dinanokan itu bisa dibentuk batangan besi dan tabung besi. Menurut Nurul, pasir besi sangat mudah dicari. “Sekilo paling cuma Rp 250. Kalau sudah dinanokan, bisa mencapai Rp 1 juta. Ini peluang bisnis untuk mengolah kekayaan alam Indonesia,” ujarnya.
Teknologi nano yang sederhana dan pengolahan yang tak rumit membuat pasir besi selanjutnya bisa diolah menjadi tinta printer seharga Rp 250 ribu. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah itulah yang membuat Nurul pulang kampung setelah 15 tahun kuliah dan bekerja di Negeri Sakura. Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 5 Agustus 1970, itu menyelesaikan S1 sampai S3 teknik mesin di Kagoshima University atas biaya Habibie Center.
“Saya gemes banget. Apa yang mungkin orang lain tidak lakukan, saya bisa kerjakan. Makanya saya ingin di bengkel ini mestinya juga lahir Apollo berteknologi nano,” katanya seraya menunjuk sejumlah mesin.
Peraih Ganesha Widya Jasa Adiutama Award dari Institut Teknologi Bandung pada 2009 itu bersemangat menciptakan alat-alat baru berteknologi nano yang belum ada di dunia dari kekayaan alam Indonesia.
“Di tangan saya dan tim, alat semacam ini harganya cuma Rp 5 sampai Rp 20 juta.” ujar Nurul sembari memperlihatkan milling gerak elips 3 dimensi yang difungsikan sebagai penghancur partikel nano. Alat itu telah dipesan sebuah universitas di Malaysia. “Alat ini tidak ada duanya di dunia. Kalau yang sudah ada keluaran luar negeri hanya mengocok, namun kalau bikinan saya nggak hanya mengocok, tapi juga berputar.”
Tak banyak orang awam yang akrab dengan teknologi nano. Nanometer artinya satu per satu miliar meter. Sesuai dengan namanya, teknologi ini berkaitan dengan penciptaan benda-benda kecil, yang mencakup pengembangan teknologi dalam skala nanometer, biasanya 0,1 sampai 100 nanometer. Satu nanometer sama dengan sepersejuta milimeter.
Ayah enam anak ini yakin, dengan teknologi nano, bukan tak mungkin bebatuan alam diubah menjadi intan, berlian, dan logam. Untuk mengolah kekayaan alam menjadi sesuatu yang lebih dahsyat, Nurul yang di Jepang dikenal sebagai doktor bidang rekayasa material itu membentuk komunitas Masyarakat Nano Indonesia dan ia menjadi ketuanya.
Nurul juga dikenal sebagai sebagai penemu teknologi eliminasi kandungan timbel (Pb) pada logam kuningan melalui daur ulang. Teknologi yang dipatenkan di Jepang pada Mei 2003 itu membuat jutaan meter kubik limbah kuningan di Jepang menjadi barang berharga lagi.
Dengan segudang prestasi, ia sebenarnya bisa hidup mapan di Jepang. Namun, setelah menyelesaikan program doktor pada 2000, Nurul yang pernah setahun bekerja di perusahaan pipa, shower, dan aksesori kamar mandi Kyusutabuchi–memilih pulang ke Indonesia. Ia menolak tawaran menjadi pegawai di Jepang dengan gaji besar.
“Dulu, ketika saya masuk LIPI, hanya ada meja dan kursi. Lalu saya membuat alat sendiri. Sekarang ruangan sudah penuh dengan alat, sekitar sembilan sudah saya patenkan atas nama LIPI dan menyusul tiga lainnya nanti.”
Kini peraih predikat doktor cum laude itu masih mengembangkan nanosilika sejak 2004. Nanosilika ini sudah dipatenkan di Indonesia atas namanya pada Juli 2006. “Nanosilika bila dicampur dengan adonan semen dapat memperkuat beton dua kali lipat.”
Ia juga telah mematenkan alat peraga nano-edu pada Juni 2006. Jepang sudah membelinya 300 unit. Selain meneliti, Nurul dan kawan-kawan di komunitas Masyarakat Nano Indonesia membuka Bamboo Futsal, lapangan futsal di Jalan Raya Serpong, tak jauh dari kantornya. Malam itu Nurul dan istrinya mengajak mencicipi bakso di Resto Bamboo.
“Di sini kadang ide mengalir. Kami berdiskusi. Seusai main futsal, lalu makan bersama,” kata Nurul, yang melengkapi lapangan indoor itu dengan kedai makanan, seperti sate dan bakso semut Singosari racikan adiknya dari Malang, serta kedai minuman.
Nurul enggan menyebutkan omzet lapangan futsal itu dan berapa dana yang mengalir untuk bisnis teknologi nano. “Memang ada sebagian dari sini (usaha futsal) untuk pengembangan bisnis inkubasi nano partikel.”
Prestasi Nurul rupanya dilirik oleh Arab Saudi. Melalui surat, Raja Arab Saudi menawarinya bekerja mengembangkan teknologi nano di negeri kaya minyak itu. “Gajinya Rp 45 juta setiap bulan, tapi saya masih cinta Indonesia.”
(http://indonesiaproud.wordpress.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar