Mengunjungi Iran , tentu bisa belajar lebih jauh tentang kutub lain dari aliran keberagamaan di dunia Muslim, yakni Syiah. Negara dengan identitas yang khas dengan karakter ideologi politik dan agama yang unik.
Berbahagia
rasanya bisa mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Short-Course tentang
Sunni-Syiah di Kota Qom, kota tempat tinggal Pemimpin Spiritual Ayatulllah
Khomaini, kota dengan nuansa keberagamaan yang paling kental di Iran. Kegiatan
ini kerja sama antara Majelis Ulama Indnesia (MUI) dengan Musthafa
International University (MIU).
Bersyukur
bisa mengunjungi langsung negara Iran , negara dengan identitas yang
khas dengan karakter ideologi politik dan agama yang unik. Saya bisa melihat
langsung denyut nadi negara yang dikenal memiliki perlawanan tiada henti
terhadap Amerika dan sekutunya, negara yang mencoba eksis di atas kaki sendiri
yang sudah mengalami tahunan embargo ekonomi.
Saya tentunya bisa belajar
lebih jauh tentang kutub lain dari aliran keberagamaan di dunia Muslim, yakni
Syiah. Saya sebenarnya sudah membaca banyak tentang Syiah meskipun belum
sistematis. Saya sudah juga mendengar banyak hal tentang Syiah dari beberapa
orang. Saya sudah pula bertemu dengan orang-orang Muslim dari kalangan Syiah. Yang
kali ini pertama kali saya lakukan adalah hidup di tengah masyarakat Muslim
Syiah secara langsung dan tentu itu sebuah pengalaman yang paling berharga
untuk belajar dan mengalami sisi keberagamaan mereka secara empiris.
Saat pelepasan dan makan
Malam bersama rombongan di Hotel Bandara Cengkareng, yang terdiri dari beberapa
guru besar dan doktor yang mewakili MUI Sulsel, utusan dari Komisi Fatwa MUI
pusat, Iranian Corner, dan dari UIN Syarif Hidayatullah yang totalnya berjumlah
12 orang untuk mengikuti kegiatan short-course tersebut, Prof.
Umar Syihab yang menjadi inisiator kegiatan akademik di Iran ini memberikan
petuah singkat yang sangat bermakna. Beliau menegaskan bahwa tujuan ke Iran bukan untuk menjadi Syiah, bukan pula untuk
membawa ajaran Sunni ke sana .
Lebih jauh bukan juga untuk mengkampanyekan ajaran Syiah setelah kembali ke Indonesia .
Beliau menyatakan bahwa
kegiatan akademik ini adalah untuk menggugah kesepahaman tentang dua kutub
besar keberagamaan dunia Islam, dan ini adalah realitas yang harus diterima,
bahwa ada yang disebut masyarakat Muslim Syiah dan Sunni. Menurutnya, inti dari
rangkaian kegiatan seperti ini adalah untuk menggugah persatuan umat Islam.
Dasar dari persatuan ini menurut beliau sangat jelas karena pondasi
keberagamaan dua kutub ini sebenarnya sama, meskipun beberapa hal tidak mungkin
dipersatukan. Jadi intinya adalah meningkatkan saling kesepahaman akan
perbedaan dan dari situ muncul saling penghargaan. Karena pondasi persatuan
adalah penghargaan terhadap perbedaan itu.
Nasihat singkat Prof. Umar
Syihab segera setelah berangkat cukup membekas di benak saya. Saat berangkat ke
Iran , kami kebetulan bersama
tiga akademisi dari Universitas Qom yang baru
juga pulang dari Indonesia .
Kami merasakan kebersamaan itu, selama dalam perjalanan bertukar pikiran
tentang banyak hal dari sisi-sisi kehidupan kami sebagai akademisi. Yang paling
terasa adalah saat sampai di Bandara Imam Khomaini, Teheran. Di depan saya
adalah sepasang orang Barat yang mengalami pemeriksaan yang sangat lama, sehingga
saya harus pindah ke bilik pemeriksaan lain, yang begitu cepat dilalui oleh
anggota rombongan dari Indonesia .
Segera setelah melewati imigrasi, kami tiba pada pemeriksaan barang-barang
bawaan tetapi ketiga teman Iran
langsung menjelaskan tentang kami dari Indonesia dan pihak pemeriksa
barang itu langsung membiarkan kami semua lewat.
Kami lalu dijemput oleh
panitia penyelenggara kegiatan dan langsung dibawa ke kota
Qom yang
jaraknya 135 kilometer dari Teheran. Untuk kali pertama, saya mencoba
mengaitkan apa yang saya ingin pelajari secara sosiologis dari masyarakat Iran yang
negaranya hidup melawan embargo ekonomi Barat. Di jalan raya, saya mencermati
jenis mobil yang lewat. Saya menemukan bahwa hampir tidak ada mobil mewah yang
melintas. Mobil mewah yang saya maksudkan adalah mobil yang berharga di atas
Rp300 juta, seperti yang mewabah di jalan raya di kota-kota di Indonesia .
Rata-rata mobil yang saya lihat, adalah jenis sedan dengan kapasitas di bawah
2000 CC. Beberapa kali saya naik taksi, mobilnya juga sering dari mobil
produksi lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
Pertanyaan dibenak saya,
inikah gambaran dari sederhanaan masyarakat Iran yang simetris dari kesederhaan
kepribadian dari pemimpinnya, misalnya dari cerita kesederhanaan Presiden
Ahmadinajet yang sangat mendunia itu? Atau inikah realitas sebuah masyarakat
yang berusaha bertahan dari embargo ekonomi? Karena kebetulan kedatangan kami
bertepatan dengan demonstrasi memperingati jatuhnya syah Iran , lalu apakah demonstrasi besar-besaran di
seluruh kota
wujud dari kebersamaan mereka melawan Amerika dan sekutu yang mengembargo
mereka?
Tentu saya akan mendapatkan
banyak jawaban nantinya setelah beberapa hari mencermati lebih jauh dari
denyut kehidupan masyarakat Iran .
Paling tidak, segera setelah tiba di hotel dan setelah makan, saya mengambil
sajadah untuk salat dari lemari kecil hotel, lalu mata saya tertuju pada kitab
suci Alquran di raknya, saya mengambil dan memeriksa lembar demi lembarnya, dan
betul kata Prof. Umar Syihab, bahwa Alquran kita sama.
Catatan: Hamdan
Juhannis
(fajar.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar