"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Jumat, 07 September 2012

Belajar dari Kemandirian Masyarakat Iran

Bukan Jadi Syiah, Bukan Pula Bawa Ajaran Sunni 

Mengunjungi Iran, tentu bisa belajar lebih jauh tentang kutub lain dari aliran keberagamaan di dunia Muslim, yakni Syiah. Negara dengan identitas yang khas dengan karakter ideologi politik dan agama yang unik.


Berbahagia rasanya bisa mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Short-Course tentang Sunni-Syiah di Kota Qom, kota tempat tinggal Pemimpin Spiritual Ayatulllah Khomaini, kota dengan nuansa keberagamaan yang paling kental di Iran. Kegiatan ini kerja sama antara Majelis Ulama Indnesia (MUI) dengan Musthafa International University (MIU).

Bersyukur bisa mengunjungi langsung negara Iran, negara dengan identitas yang khas dengan karakter ideologi politik dan agama yang unik. Saya bisa melihat langsung denyut nadi negara yang dikenal memiliki perlawanan tiada henti terhadap Amerika dan sekutunya, negara yang mencoba eksis di atas kaki sendiri yang sudah mengalami tahunan embargo ekonomi.

Saya tentunya bisa belajar lebih jauh tentang kutub lain dari aliran keberagamaan di dunia Muslim, yakni Syiah. Saya sebenarnya sudah membaca banyak tentang Syiah meskipun belum sistematis. Saya sudah juga mendengar banyak hal tentang Syiah dari beberapa orang. Saya sudah pula bertemu dengan orang-orang Muslim dari kalangan Syiah. Yang kali ini pertama kali saya lakukan adalah hidup di tengah masyarakat Muslim Syiah secara langsung dan tentu itu sebuah pengalaman yang paling berharga untuk belajar dan mengalami sisi keberagamaan mereka secara empiris.

Saat pelepasan dan makan Malam bersama rombongan di Hotel Bandara Cengkareng, yang terdiri dari beberapa guru besar dan doktor yang mewakili MUI Sulsel, utusan dari Komisi Fatwa MUI pusat, Iranian Corner, dan dari UIN Syarif Hidayatullah yang totalnya berjumlah 12 orang untuk mengikuti kegiatan short-course tersebut, Prof. Umar Syihab yang menjadi inisiator kegiatan akademik di Iran ini memberikan petuah singkat yang sangat bermakna. Beliau menegaskan bahwa tujuan ke Iran bukan untuk menjadi Syiah, bukan pula untuk membawa ajaran Sunni ke sana. Lebih jauh bukan juga untuk mengkampanyekan ajaran Syiah setelah kembali ke Indonesia.

Beliau menyatakan bahwa kegiatan akademik ini adalah untuk menggugah kesepahaman tentang dua kutub besar keberagamaan dunia Islam, dan ini adalah realitas yang harus diterima, bahwa ada yang disebut masyarakat Muslim Syiah dan Sunni. Menurutnya, inti dari rangkaian kegiatan seperti ini adalah untuk menggugah persatuan umat Islam. Dasar dari persatuan ini menurut beliau sangat jelas karena pondasi keberagamaan dua kutub ini sebenarnya sama, meskipun beberapa hal tidak mungkin dipersatukan. Jadi intinya adalah meningkatkan saling kesepahaman akan perbedaan dan dari situ muncul saling penghargaan. Karena pondasi persatuan adalah penghargaan terhadap perbedaan itu.

Nasihat singkat Prof. Umar Syihab segera setelah berangkat cukup membekas di benak saya. Saat berangkat ke Iran, kami kebetulan bersama tiga akademisi dari Universitas Qom yang baru juga pulang dari Indonesia. Kami merasakan kebersamaan itu, selama dalam perjalanan bertukar pikiran tentang banyak hal dari sisi-sisi kehidupan kami sebagai akademisi. Yang paling terasa adalah saat sampai di Bandara Imam Khomaini, Teheran. Di depan saya adalah sepasang orang Barat yang mengalami pemeriksaan yang sangat lama, sehingga saya harus pindah ke bilik pemeriksaan lain, yang begitu cepat dilalui oleh anggota rombongan dari Indonesia. Segera setelah melewati imigrasi, kami tiba pada pemeriksaan barang-barang bawaan tetapi ketiga teman Iran langsung menjelaskan tentang kami dari Indonesia dan pihak pemeriksa barang itu langsung membiarkan kami semua lewat.

Kami lalu dijemput oleh panitia penyelenggara kegiatan dan langsung dibawa ke kota Qom yang jaraknya 135 kilometer dari Teheran. Untuk kali pertama, saya mencoba mengaitkan apa yang saya ingin pelajari secara sosiologis dari masyarakat Iran yang negaranya hidup melawan embargo ekonomi Barat. Di jalan raya, saya mencermati jenis mobil yang lewat. Saya menemukan bahwa hampir tidak ada mobil mewah yang melintas. Mobil mewah yang saya maksudkan adalah mobil yang berharga di atas Rp300 juta, seperti yang mewabah di jalan raya di kota-kota di Indonesia. Rata-rata mobil yang saya lihat, adalah jenis sedan dengan kapasitas di bawah 2000 CC. Beberapa kali saya naik taksi, mobilnya juga sering dari mobil produksi lebih dari sepuluh tahun yang lalu.

Pertanyaan dibenak saya, inikah gambaran dari sederhanaan masyarakat Iran yang simetris dari kesederhaan kepribadian dari pemimpinnya, misalnya dari cerita kesederhanaan Presiden Ahmadinajet yang sangat mendunia itu? Atau inikah realitas sebuah masyarakat yang berusaha bertahan dari embargo ekonomi? Karena kebetulan kedatangan kami bertepatan dengan demonstrasi memperingati jatuhnya syah Iran, lalu apakah demonstrasi besar-besaran di seluruh kota wujud dari kebersamaan mereka melawan Amerika dan sekutu yang mengembargo mereka?

Tentu saya akan mendapatkan banyak jawaban nantinya setelah beberapa hari mencermati lebih jauh dari denyut kehidupan masyarakat Iran. Paling tidak, segera setelah tiba di hotel dan setelah makan, saya mengambil sajadah untuk salat dari lemari kecil hotel, lalu mata saya tertuju pada kitab suci Alquran di raknya, saya mengambil dan memeriksa lembar demi lembarnya, dan betul kata Prof. Umar Syihab, bahwa Alquran kita sama. 


Catatan: Hamdan Juhannis
(fajar.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar