Menurut Globalsecurity, salah satu
keunikan ekonomi Iran
ialah kehadiran yayasan-yayasan sosial keagamaan yang menyedot total anggaran
pemerintah pusat mencapai 30% atau lebih. Misalnya Bonyad-e Mostaz’afan va
Janbazan (Yayasan Kaum Papa dan Veteran), Bonyad-e Syuhada (Yayasan Putra-putri
Syuhada), dan sebagainya yang menjalankan banyak mega proyek dalam negeri.
Setelah
krisis finansial global pada tahun 2008, Iran termasuk satu dari sedikit
negara yang tetap mengalami pertumbuhan ekonomi.
Kombinasi
pengendalian harga dan subsidi, terutama dalam sektor makanan dan energi,
menyebabkan distorsi dan membebani ekonomi negara. Namun, pada akhir tahun
2009, pemerintahan Presiden Ahmadinejad berhasil meloloskan UU untuk mengurangi
subsidi. Paket pengurangan reformasi ini merupakan yang paling ekstensif sejak
pembatasan penggunaan minyak pada 2007 silam.
Harga minyak yang melambung dalam beberapa tahun terakhir
membuat Iran
berhasil mendulang lebih dari $100 milyar
dalam cadangan devisanya. Cadangan devisa sebesar ini kemudian berhasil membawa
Iran
semakin mandiri, swasembada dan meningkatkan investasi domestik. Namun
demikian, tingkat pengangguran dan inflasi di negeri mullah ini masih di atas
dua digit. Tingkat pendidikan warga negara Iran yang tinggi menyebabkan
banyaknya pakar dalam negeri yang mencari pekerjaan ke luar negeri sehingga
berdampak pada gelombang eksodus kelas terdidik dan mengancam terjadinya brain-drain.
Tinju
Sanksi
Pihak Barat tampaknya
bertekad untuk meningkatkan tekanan terhadap Iran
dengan mengancam sanksi terhadap komoditas minyak Iran setelah menjatuhkan sanksi
terhadap sistem perbankannya. Apapun alasan di balik rangkaian sanksi tersebut,
pertanyaan yang penting adalah: apakah tujuan-tujuannya? Tingkat kesuksesannya?
Dan kemungkinan terjadinya pukulan balik? Dan apa untung-rugi sanksi ini bagi
kedua belah pihak?
Pada
kenyataannya, tujuan utama dari sanksi terhadap sektor migas suatu negara ialah
untuk membatasi pendapatan negara tersebut dan, mungkin pada tahap-tahap
selanjutnya, melumpuhkannya sama sekali. Sanksi terhadap pendapatan migas Iran yang memiliki persentase terbesar dari
keseluruhan penghasilan negara dianggap oleh Barat mampu menghentikan atau
memperlamban program nuklir Iran .
Namun, tujuan
ini, menurut Arash Zahedi, pengamat dan kontributor untuk PressTV, tak akan
mampu mencapai tujuan penghentian program nuklir Iran . Alasannya sederhana, program
ini sudah menjadi kebanggaan nasional, yang bila dihentikan akan berdampak
buruk bagi politik dalam negeri dan kredibilitas pemerintah di mata rakyat.
Apalagi biaya proyek nuklir Iran
hanya bagian kecil dari keseluruan anggaran negara.
Sementara itu,
efek langsung dari sanksi ini ialah gagalnya upaya AS untuk menurunkan harga
minyak dunia dalam beberapa bulan terakhir. Sanksi terhadap import migas Iran hanya akan
memperuncing kondisi pasar minyak dunia. Larangan import komoditas migas Iran justru
meningkatkan kekhawatiran melonjaknya harga eceran minyak sehingga semakin menekan
kondisi ekonomi Eropa yang sedang tidak sehat saat ini. Badan Energi Dunia
(IEA) menyatakan bahwa Iran memproduksi 3.5 juta barel per hari dari total
produksi OPEC sebesar 30 juta barel perhari di bulan Oktober.
Menariknya,
rival-rival Iran dalam produksi
minyak ternyata juga tidak mendukung sanksi terhadap import minyak Iran . Sebagai
contoh, Rusia, yang juga merupakan eksportir besar minyak ke Eropa, menolak ide
sanksi untuk sektor vital bagi perekonomian dunia ini. Terlebih, menurut
Rusia, bila sanksi itu didasari oleh motif politik. CEO perusahan minyak
raksasa Prancis, Total, Christophe de Margerie meragukan efektivitas sanksi
minyak terhadap Iran, karena dia yakin bahwa Iran akan dengan mudah mencari
pasar alternatifnya di Asia yang terus tumbuh bila “ekspornya tak bisa mencapai
Eropa.”
Arash Zahedi
menunjukkan bahwa rezim sanksi ekonomi terhadap Iran
telah berlangsung selama 30 tahun, sehingga pemerintah Iran juga telah
memiliki tips-and-tricks untuk menghindari efek-efek negatifnya. Menurutnya, rangkaian
sanksi ini paling banter hanya dapat menahan laju peningkatan produksi minyak Iran , yang pada
gilirannya dapat dikompensasikan dengan naiknya harga minyak di pasaran dunia.
Pertanyaannya, apakah para pemberi sanksi dapat memastikan bahwa sanksi ini tak
serta merta meningkatkan harga minyak dunia? Pertanyaan ini belum menemukan
jawaban yang pasti. Yang pasti, pembicaraan soal sanksi terhadap minyak Iran saja sudah
membuat harga minyak tidak stabil di berbagai ibukota negara Eropa.
Kesimpulan
dan Saran
1. Sanksi sebenarnya adalah tekanan
politik yang semestinya tidak lagi diterapkan, karena sejauh ini rezim sanksi
lebih merugikan masyarakat ketimbang pemerintah.
2. Sanksi terhadap produk vital dan
strategis seperti minyak hanya akan memperlambat dan membebani laju ekonomi
dunia yang sedang tersendat, bahkan menunjukkan tanda-tanda resesi.
3. Iran dan Barat harus mampu menyelesaikan
konflik mereka melalui jalur negosiasi dan diplomasi, dengan tetap menjaga
hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak.
4. Rezim sanksi yang selama ini
diterapkan oleh AS dan Barat lebih banyak merugikan rakyat ketimbang pemerintah
yang dituju. Buktinya, negara seperti Korea Utara dan Zimbabwe yang relatif lebih miskin ketimbang Iran saja
berhasil mempertahankan rezimnya dalam menghadapi segala sanksi. Korban utama
dari serangkaian sanksi tersebut adalah rakyat di masing-masing negara yang
terkena sanksi.
5. Sanksi terhadap program nuklir yang
belum benar-benar terbukti menyimpang dari tujuan-tujuan damai dan sipilnya
hanya akan mengaburkan hak tiap bangsa untuk memanfaatkan teknologi nuklir
damai seperti semboyan International Atomic Energi Agency: Nuclear for Peace.
6. Semua pihak harus sepakat bahwa
isu-isu global tidak lagi dapat dikelola secara unilateral, melainkan harus
dikelola dengan adil secara multilateral, mengingat dunia saat ini tidak lagi
unipolar atau bipolar, melainkan sudah memasuki tahap multipolar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar