"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Jumat, 07 September 2012

Iran: Bernafas dalam Sanksi dan Embargo

Ekonomi Iran kini masuk peringkat ke18 dunia dilihat dari sisi paritas daya beli (PPP). Para pejabat Iran mengklaim bahwa Iran akan berada pada peringkat ke-12 di 2015, dilihat dari sisi kekuatan sumber daya alam dan infrastrukturnya. Sistem ekonomi Iran disebut sebagai ekonomi perpaduan dan transisi dengan sektor publik yang besar dan sekitar 50% direncanakan secara terpusat. Ada 40 industri yang sudah aktif di Tehran Stock Exchange, sebagian besarnya bergerak di bidang migas yang menjadi penghasilan utama negara.


Menurut Globalsecurity, salah satu keunikan ekonomi Iran ialah kehadiran yayasan-yayasan sosial keagamaan yang menyedot total anggaran pemerintah pusat mencapai 30% atau lebih. Misalnya Bonyad-e Mostaz’afan va Janbazan (Yayasan Kaum Papa dan Veteran), Bonyad-e Syuhada (Yayasan Putra-putri Syuhada), dan sebagainya yang menjalankan banyak mega proyek dalam negeri.
Setelah krisis finansial global pada tahun 2008, Iran termasuk satu dari sedikit negara yang tetap mengalami pertumbuhan ekonomi.
Kombinasi pengendalian harga dan subsidi, terutama dalam sektor makanan dan energi, menyebabkan distorsi dan membebani ekonomi negara. Namun, pada akhir tahun 2009, pemerintahan Presiden Ahmadinejad berhasil meloloskan UU untuk mengurangi subsidi. Paket pengurangan reformasi ini merupakan yang paling ekstensif sejak pembatasan penggunaan minyak pada 2007 silam.
Harga minyak yang melambung dalam beberapa tahun terakhir membuat Iran berhasil mendulang lebih dari $100 milyar dalam cadangan devisanya. Cadangan devisa sebesar ini kemudian berhasil membawa Iran semakin mandiri, swasembada dan meningkatkan investasi domestik. Namun demikian, tingkat pengangguran dan inflasi di negeri mullah ini masih di atas dua digit. Tingkat pendidikan warga negara Iran yang tinggi menyebabkan banyaknya pakar dalam negeri yang mencari pekerjaan ke luar negeri sehingga berdampak pada gelombang eksodus kelas terdidik dan mengancam terjadinya brain-drain.
Tinju Sanksi
Pihak Barat tampaknya bertekad untuk meningkatkan tekanan terhadap Iran dengan mengancam sanksi terhadap komoditas minyak Iran setelah menjatuhkan sanksi terhadap sistem perbankannya. Apapun alasan di balik rangkaian sanksi tersebut, pertanyaan yang penting adalah: apakah tujuan-tujuannya? Tingkat kesuksesannya? Dan kemungkinan terjadinya pukulan balik? Dan apa untung-rugi sanksi ini bagi kedua belah pihak?
Pada kenyataannya, tujuan utama dari sanksi terhadap sektor migas suatu negara ialah untuk membatasi pendapatan negara tersebut dan, mungkin pada tahap-tahap selanjutnya, melumpuhkannya sama sekali. Sanksi terhadap pendapatan migas Iran yang memiliki persentase terbesar dari keseluruhan penghasilan negara dianggap oleh Barat mampu menghentikan atau memperlamban program nuklir Iran.
Namun, tujuan ini, menurut Arash Zahedi, pengamat dan kontributor untuk PressTV, tak akan mampu mencapai tujuan penghentian program nuklir Iran. Alasannya sederhana, program ini sudah menjadi kebanggaan nasional, yang bila dihentikan akan berdampak buruk bagi politik dalam negeri dan kredibilitas pemerintah di mata rakyat. Apalagi biaya proyek nuklir Iran hanya bagian kecil dari keseluruan anggaran negara.
Sementara itu, efek langsung dari sanksi ini ialah gagalnya upaya AS untuk menurunkan harga minyak dunia dalam beberapa bulan terakhir. Sanksi terhadap import migas Iran hanya akan memperuncing kondisi pasar minyak dunia. Larangan import komoditas migas Iran justru meningkatkan kekhawatiran melonjaknya harga eceran minyak sehingga semakin menekan kondisi ekonomi Eropa yang sedang tidak sehat saat ini. Badan Energi Dunia (IEA) menyatakan bahwa Iran memproduksi 3.5 juta barel per hari dari total produksi OPEC sebesar 30 juta barel perhari di bulan Oktober.
Menariknya, rival-rival Iran dalam produksi minyak ternyata juga tidak mendukung sanksi terhadap import minyak Iran. Sebagai contoh, Rusia, yang juga merupakan eksportir besar minyak ke Eropa, menolak ide sanksi untuk sektor vital bagi perekonomian dunia ini. Terlebih, menurut Rusia, bila sanksi itu didasari oleh motif politik. CEO perusahan minyak raksasa Prancis, Total, Christophe de Margerie meragukan efektivitas sanksi minyak terhadap Iran, karena dia yakin bahwa Iran akan dengan mudah mencari pasar alternatifnya di Asia yang terus tumbuh bila “ekspornya tak bisa mencapai Eropa.”
Arash Zahedi menunjukkan bahwa rezim sanksi ekonomi terhadap Iran telah berlangsung selama 30 tahun, sehingga pemerintah Iran juga telah memiliki tips-and-tricks untuk menghindari efek-efek negatifnya. Menurutnya, rangkaian sanksi ini paling banter hanya dapat menahan laju peningkatan produksi minyak Iran, yang pada gilirannya dapat dikompensasikan dengan naiknya harga minyak di pasaran dunia. Pertanyaannya, apakah para pemberi sanksi dapat memastikan bahwa sanksi ini tak serta merta meningkatkan harga minyak dunia? Pertanyaan ini belum menemukan jawaban yang pasti. Yang pasti, pembicaraan soal sanksi terhadap minyak Iran saja sudah membuat harga minyak tidak stabil di berbagai ibukota negara Eropa.
Kesimpulan dan Saran
1.     Sanksi sebenarnya adalah tekanan politik yang semestinya tidak lagi diterapkan, karena sejauh ini rezim sanksi lebih merugikan masyarakat ketimbang pemerintah.
2.     Sanksi terhadap produk vital dan strategis seperti minyak hanya akan memperlambat dan membebani laju ekonomi dunia yang sedang tersendat, bahkan menunjukkan tanda-tanda resesi.
3.     Iran dan Barat harus mampu menyelesaikan konflik mereka melalui jalur negosiasi dan diplomasi, dengan tetap menjaga hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak.
4.     Rezim sanksi yang selama ini diterapkan oleh AS dan Barat lebih banyak merugikan rakyat ketimbang pemerintah yang dituju. Buktinya, negara seperti Korea Utara dan Zimbabwe yang relatif lebih miskin ketimbang Iran saja berhasil mempertahankan rezimnya dalam menghadapi segala sanksi. Korban utama dari serangkaian sanksi tersebut adalah rakyat di masing-masing negara yang terkena sanksi.
5.     Sanksi terhadap program nuklir yang belum benar-benar terbukti menyimpang dari tujuan-tujuan damai dan sipilnya hanya akan mengaburkan hak tiap bangsa untuk memanfaatkan teknologi nuklir damai seperti semboyan International Atomic Energi Agency: Nuclear for Peace.
6.     Semua pihak harus sepakat bahwa isu-isu global tidak lagi dapat dikelola secara unilateral, melainkan harus dikelola dengan adil secara multilateral, mengingat dunia saat ini tidak lagi unipolar atau bipolar, melainkan sudah memasuki tahap multipolar.

(Islam Times/on/beritaprotes)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar