Kebudayaan Iran dan Indonesia memiliki jalinan sejarah. Salah satu bukti yang mendukung hubungan sejarah itu adalah adanya persamaan sastra dan bahasa yang saling memengaruhinya. Keberadaan lebih dari 400 kata dari bahasa Persia pada bahasa Melayu yang masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari membuktikan eratnya hubungan ini.
Almarhum Zafar Iqbal, mantan dosen Uviversitas Indonesia dan Universitas Syarif
Hidayatullah, Jakarta, pernah mengaji pengaruh sastra dan puisi Persia terhadap
sastra dan puisi Indonesia serta dunia Melayu dalam disertasinya. Berangkat
dari itu, penulis mencoba mengaji hubungan kebudayaan Iran dan Indonesia dari sisi sastra dan
syair.
Perkenalan orang
Iran
dengan orang Melayu memiliki sejarah panjang. Hal ini dapat dikenali
berdasarkan dokumen historis, mitos, dan tulisan di batu nisan. Orang Iran,
sebelum menerima Islam, karena perdagangan yang luas dengan China dan sebagai
jembatan penghubung antara Barat (Kaisar Romawi) dan Timur (China) dalam dua
jalan, yaitu rute darat “Jalan Sutera” dan rute laut “Jalan Rempah-rempah”,
memunyai hubungan dagang dan budaya dalam perjalanan mereka dengan Nusantara,
sungguhpun mereka aktif mendakwakan kepercayaan Zoroaster di kawasan ini.
Sejarah hubungan semacam ini dimulai sejak Dinasti Ashkhaniyah, khususnya
Dinasti Sasaniyah melalui rute rempah-rempah 200 tahun Sebelum Masehi.
Tapi setelah orang Iran menerima Islam dan migrasi kelompok-kelompok Iran dari
China Selatan karena penderitaan yang ditimpakan Pemerintah China, para
pedagang dan mubalig Iran dalam rangka berdagang dan mendakwahkan Islam di
kawasan ini.
Sejarah Barat, yang mendasarkan pada catatan Marcopolo, percaya bahwa Islam
masuk ke Nusantara di abad ke-13, tapi sejarah Timur yang mendasarkan pada
referensi orang China, Arab, dan Melayu menekankan pada tahun pertama hijriyah
atau paling tidak tahun ketiga hijriyah (abad ke-9 Masehi). Dalam hal ini,
latar belakang kehadiran orang Iran yang aktif dan terus-menerus di kawasan
nusantara – terkait masalah ekonomi, budaya, dan politik – jelas sekali
menunjukkan peran kaum ini mendakwahkan Islam dan hidup damai dengan orang
Melayu.
Untuk mengetahui kehadiran orang
Iran
dalam sejarah Nusantara dapat dilihat dari pengaruh bahasa dan literatur
Persia dalam
literatur Melayu. Secara keseluruhan, pengaruh sastra Persia terhadap sastra
Indonesia dapat digolongkan dalam tujuh kategori, yaitu pengaruh sastra Persia
terhadap buku-buku bersejarah, buku-buku undang-undang Malaka, agama, kerajaan
Indonesia, cerita para nabi dan ahlulbait, sastra keseharian Indonesia, dan
alhasil pengaruh sastra Persia terhadap puisi-puisi Indonesia. Seperti
ditemukan pada buku Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Malaka, dan Hikayat Aceh.
Dalam buku tersebut ditemukan 130 kosa kata bahasa
Persia.
Seperti diketahui, pada zaman dahulu, para raja Pasai menugaskan para ahli
sejarah untuk menulis hal-hal yang terjadi terkait kerajaan mereka. Raja-raja
Pasai mengumpulkan para penyair dan pemikir besar serta mendatangkan pemikir
besar mancanegara seperti Sayed Amir Sharif Shirazi dan Tajuddin Esfahani
sebagai penasihat kerajaan. Pendalaman terhadap naskah-naskah kerajaan
menunjukkan pengaruh signifikan sastra
Persia terhadap buku pada masanya.
Seperti buku Serat Tajusalatin yang ditulis pada kerajaan Islami Aceh (1603 M)
dan buku Bustanul Arefin. Pada buku tersebut, terdapat lebih 36 kosakata dan
pepatah bahasa
Persia.
Penggunaan nama-nama para raja
Iran,
peribahasa, dan kata-kata
Persia
menunjukkan pengaruh sastra
Persia
terhadap buku yang beredar di Kerajaan Pasai. Sebagian besar buku itu bersumber
pada buku karya pemkir
Iran
seperti Attar dan Vaez Kashani dan terinpirasi dari karya Khosro va Shirin,
Yusef va Zoleykha, dan sebagainya.
Buku-buku agama pula tidak luput dari pengaruh aroma
Persia. Katakanlah buku Sheikh
Nuruddin Arraniri dan Abdul Rauf Al-Senkili yang ditulis pada abad 17 M dan 50
judul lainnya memiliki interaksi dengan buku Sa’di, Abu Hamed Mohammad Gazali,
Suhravardi, Khoja Abdullah Ansari, yang menjadi sufi-sufi besar di Iran.
Karya sastra Nusantara lain adalah cerita para nabi dan ahlulbait. Sejarah
menunjukkan bahwa penulisan cerita para nabi dan ahlulbait dimulai dari Yaman
dan Iran,
lalu meluas ke negara lainnya dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, antara
lain Turki dan Melayu. Penulis menyebutkan cerita Nabi Yusuf, Hikayat Nabi
Miraj, Hikayat Nabi Lahir, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Raja Khandagh, dan
banyak cerita lainnya sebagai cerita para nabi dan ahlulbait yang terlihat
dengan jelas pengaruh bahasa dan sastra Persia di dalamnya.
Selain 400 kata dari bahasa Persia pada bahasa Melayu seperti bandar, nakhoda,
istana, masih banyak kata lainnya yang menjadi bagian dari bahasa keseharian
masyarakat Indonesia yang berasal dari bahasa Persia. Lebih sembilan buah hikayat
seperti hikayat Amir Hamzah, Muhammad Hanafiyah dan Bendara Hitam dari Churasan
terdapat pengaruh menonjol bahasa Persia dalam hikayat-hikayat ini.
Hikayat Bendara Hitam dari Churasan merupakan cerita seorang pahlawan dari Kota
Khorasan – salah satu provinsi terbesar di Iran – yang diterjemahkan dari
bahasa Arab ke bahasa Indonesia pada 1953.
Bukti lain, yang membuktikan interaksi historis sastra Persia dan Nusantara adalah syair-syair yang
dikenal masyarakat Indonesia.
Yakni Bustan dan Musyawarah Burung yang berinteraksi mendapatkan pengaruh dari
karya-karya penyair ternama di Iran,
seperti Attar, Molawi (Rumi). Pengaruh signifikan penyair-penyair dan sufi
masyhur Iran
seperti Ghazali, Saadi, Attar terhadap buku-buku Hamzah Fansuri terlihat dari
banyaknya kosa kata yang digunakan dalam naskah tersebut.
Alhasil, persamaan antara kedua bangsa Iran
dan Indonesia
begitu banyak yang pada kesempatan ini hanya dibahas dari sisi persamaan
sastra. Tentu saja persamaan-persamaan ini dapat menunjukkan hubungan baik yang
sedang terjalin antara kedua negara di berbagai bidang pada saat ini bukan
merupakan fenomena baru, melainkan sebagai kelanjutan dari suatu hubungan yang
umurnya berabad-abad.
http://sastra-indonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar