"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Sabtu, 01 Juni 2013

Kebudayaan dan Peradaban Islam; Penerjemahan Karya Ilmuwan Persia

Umat di masa periode awal Islam menaruh perhatian luar biasa dalam menjaga pemerintah Islam dan membelanya dari tekanan musuh. Saat itu, umat Islam juga menaruh perhatian pada ajaran-ajaran al-Quran. Ilmu-ilmu seperti sejarah kemenangan dan ilmu-ilmu agama seperti fikih dan lain sebagainya juga mendapat perhatian luar biasa oleh umat Islam. Berbagai kemenangan terjadi di awal periode Islam yang tentunya memperkokoh pemerintahan Islam.


Umat Islam pada saat itu relatif kurang menaruh perhatian pada ilmu-ilmu. Akan tetapi setelah adanya kebijakan pemerintah Abbasi yang didukung dengan dana luar biasa, perhatian umat Islam mulai tertuju pada berbagai ilmu dan industri yang saat itu banyak dikuasai oleh non muslim. Kondisi ini membuat kehidupan umat Islam membaik.


Ajaran Islam dan al-Quran secara pemikiran sangat sempurna. Meski demikian, umat Islam saat itu tetap terdorong mempelajari informasi, pemikiran dan peradaban di negara lain. Sejarawan muslim, Ibnu Khaldun mengakui bahwa rasa ingin tahu umat Islam itu bersumber pada ayat-ayat al-Quran dan hadis yang secara tegas mendorong umat Islam supaya menguasai berbagai ilmu. Langkah pertama yang dilakukan umat Islam adalah menerjemahkan karya-karya peradaban yang di masa itu mengalami perkembangan luar biasa dari sisi pemikiran. Kecenderungan menerjemahkan berbagai peradaban maju sangat tinggi sekali, bahkan saat itu terkenal dengan era gerakan terjemah.

Salah satu karya penting di era gerakan terjemah adalah karya Ibnu Nadim, al-Fehrest. Buku itu mengungkap ilmu-ilmu masa lalu dan gerakan ilmiah di era Islam hingga abad keempat hijriah. Dari masa itu hingga kini jarang ditulis buku sejarah tradisi bangsa dan agama. Tabaqaatul Athibba' dan Akhbarul Ulama karya Ibnu Qifthi adalah di antara sumber penting sejarah peradaban Islam. Karya–karya tadi banyak dibahas kalangan peneliti sejarah.

Di masa Bani Umayah, berbagai karya ilmu Yunani diterjemahkan bahasa Suryani dan Arab. Salah satu karya yang diterjemahkan adalah Konnash, buku yang membahas ilmu kedokteran. Buku itu diterjemahkan di masa Marwan, penguasa awal Bani Umayah. Banyak karya yang diterjemahkan di masa Bani Umayah. Akan tetapi literatur yang lebih banyak diterjemahkan di masa Bani Umayah, bersangkutan dengan birokrasi, politik dan perdagangan, yang semua itu berfungsi untuk mengokohkan hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang tidak berbahasa Arab.

Setelah itu, literatur sejarah, sosial dan budaya banyak diterjemahkan di masa khalifah-khalifah Bani Abbasiah. Gerakan ilmiah ini berlangsung hingga dua abad. Di antara raja-raja Dinasti Abbasiah, Manshur disebut sebagai khalifah yang banyak berbuat di bidang terjemah. Bahkan para sejarawan menyebut khalifah Manshur sebagai pendiri gerakan terjemah.

Pemerintahan saat itu berpusat di Baghdad. Di masa itu, Manshur mengundang para pakar perbintangan yang kemudian diikuti para penguasa lainnya. Bahkan dalam mengambil keputusan, khalifah saat itu selalu bermusyawarah dengan para pakar perbintangan.

Di masa itu, Iran dikenal sebagai pusat ilmu perbintangan. Banyak pakar perbintangan yang berasal dari Iran. Untuk itu, Manshur mengundang para pakar perbintangan dari Iran. Pada dasarnya, kecenderungan kuat umat Islam pada ilmu perbintangan disebabkan ayat-ayat al-Quran yang banyak menyinggung fenomena alam semesta. Al-Quran dalam berbagai ayatnya seringkali menyebut langit, bumi, matahari, bulan dan bintang sebagai landasan manusia untuk berpikir. Tak dapat dipungkiri juga, sejumlah kewajiban dalam Islam sangat bergantung pada ilmu perbintangan. Sebagai contoh, shalat, puasa, haji, arah kiblat dan pengharaman perang di bulan-bulan yang diharamkan berperang, semuanya itu menuntut umat Islam supaya mempelajari ilmu perbintangan.

Pakar perbintangan muslim yang sangat terkenal adalah keluarga Noubakht. Keluarga Noubakht juga dikenal sebagai pengikut Ahlul Bait as. Keluarga ini relatif lama bersama dengan penguasa Bani Abbasiah. Di antara keluarga itu ada yang menjadi pejabat, pakar teologi, terjemah dan perbintangan. Berdasarkan permintaan Dinasti Abbasiah saat itu, keluarga ini yang terdiri dari Noubakht dan putranya, Abu Suhail diminta untuk menerjemahkan buku-buku yang berkaitan dengan perbintangan. Setelah menerjemahkan, Noubakht dan Abu Suhail juga menuangkan pendapatnya.

Di antara pakar perbintangan yang juga terkenal di masa itu adalah Muhammad bin Ibrahim Fazari. Ia juga dikenal sebagai pengikut Ahlul Bait as. Ayahnya bernama Ibrahim yang dikenal sebagai muslim pertama yang membuat Astrolabe.

Astrolabe adalah instrumen astronomi zaman dahulu yang digunakan oleh astronom, navigator, dan astrolog pada era klasik. Astrolabe banyak digunakan untuk menentukan lokasi dan memprediksi posisi matahari, bulan, planet, dan bintang, menentukan waktu lokal dengan diketahui letak bujur dan letak lintang, survei, serta triangulasi. Pada era Islam abad pertengahan, astrolab terutama digunakan untuk mempelajari astronomi, navigasi, survei, penentu waktu, shalat, serta menentukan arah kiblat. Semenntara astrolog dari Eropa menggunakan astrolabe untuk horoskop.

Buku Sanad Hend Kabir disebut-sebut sebagai referensi perbintangan yang paling terkenal dan diakui hingga masa pemerintahan Khalifah Makmun. Buku ini sangat penting dari sisi ilmu hitung. Sebab, umat Islam saat itu sangat akrab dengan ilmu hitung India.

Di masa Manshur banyak buku kedokteran yang diterjemahkan. Di akhir umurnya, khalifah Manshur terkena penyakit lambung. Para dokter kerajaan di masa itu tidak mampu menyembuhkan penyakit Manshur. Kemudian, Manshur memanggil seorang dokter yang beragama Kristen Nasturi. Dokter itu bernama Jarjees yang juga pimpinan Rumah Sakit Jondi-Shapour. Jondi-Shapour saat itu juga dikenal sebagai akademi kedokteran terbesar.

Karena dipanggil khalifah Manshur, Jarjees bertolak ke Baghdad memenuhi panggilan khalifah, sedangkan rumah sakitnya diserahkan ke putranya yang bernama Bakhtishu. Jarjees mempunyai banyak karya di bidang kedokteran. Kemahiran Jarjees membuat Manshur terkesima. Manshur akhirnya memberikan tempat di istana khususnya. Setelah itu, Jarjees memutuskan untuk tidak kembali ke Jondi-Shapour. Di istana Manshur, Jarjees yang juga menguasai berbagai bahasa seperti Suryani, Arab, Pahlavi dan Yunani, menyempatkan untuk menerjemahkan sejumlah buku berbahasa Yunani dan Suryani.

Buku-buku sastra juga diterjemahkan ke bahasa Arab. Itu termasuk aktivitas gerakan terjemah di masa khalifah Manshur. Salah satu buku yang diterjemahkan adalah buku sastra Kalilawa Dimna karya Ibnu al-Muqaffa asal Iran. Abdullah bin Muqaffa dikenal sebagai ilmuwan Iran di pertengahan pertama abad kedua hijriah. Ia lahir di tengah keluarga Iran di kawasan Fars yang kemudian dikenal dengan kawasan Fairouz Abad.

Ibnu Qifti terkait Ibnu Muqaffa mengatakan, "Dia adalah termasuk orang yang bersemangat menerjemahkan buku logika atau mantiq." Ibnu Muqaffa termasuk orang yang berpendapat bahwa kepunahan sebuah masyarakat bukan hanya dikalahkan karena politik dan militer, tapi juga musnah karena kepunahan sastra, sejarah, etika, tradisi dan kenangan-kenangan masa lalu sebuah bangsa. Al-Muqaffa dalam menerjemahkan karya-karya Pahlavi ke bahasa Arab, dari satu sisi, ingin menyelamatkan kepunahan karya-karya sebuah bangsa, tapi dari sisi lain, ia juga ingin mengenalkan budaya Iran.

Di masa Dinasti Abbasiyah juga banyak buku teologi yang diterjemahkan. Buku Tobique Aristoteles diterjemahkan ke bahasa Arab di masa khalifah Mahdi. Putra dan pengganti khalifah Manshur. Buku itu diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Suryani, Yunani dan Arab. Bahkan buku itu diterjemahkan berulang kali.

Buku Tobique Aristoteles membahas metode debat dan dialog dengan berbagai pandangan. Perdebatan antaragama sudah dimulai sejak masa khalifah Manshur dan kian marak di masa khalifah Mahdi. Kalangan Kristen dan Yahudi mempunyai pengalaman banyak dalam pembahasan antaragama. Selain itu, banyak kelompok yang bemunculan di masa khalifah Mahdi. Di antara kelompok baru yang muncul adalah kelompok Manuvie. Untuk itu, pengokohan pembahasan teologi dituntut lebih besar di masa Dinasti Abbasiah.

(irib.ir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar