"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Rabu, 05 Juni 2013

Gelar SBY dan Derita Minoritas

Kembali SBY menerima gelar. Tapi, kembali dipertanyakan. Apa soalnya?Rakyat mempertanyakan capaian prestasi yang dilakukannya.Sebagian bahkan menertawakannya. Gelar yang diperoleh tak berkorelasi dengan fakta dan realita lapangan. Saya setuju, SBY serupa dengan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev. Ia pernah menerima hadiah Nobel dan banyak penghargaan lainnya. Begitupun presiden Indonesia ini. Ada 30 penghargaan. Sukses apa dan achievement besar apa hingga layak mendapatkan gelar itu? Sosok Gorbachev dan SBY sama. Keduanya tak berharga dimata rakyatnya.


Presiden SBY menerima penghargaan World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation (ACF), sebuah organisasi yang mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antarkepercayaan. Gelar ini diberikan 30 Mei di New York, Amerika Serikat. SBY dinilai sukses membangun perdamaian, demokrasi dan toleransi. Lha, benarkah realita damai dan toleran terjadi di Indonesia?Jauh api dari panggang.


Agar gelar itu terhormat, layak dan tidak ditertawakan, harus sesuai fakta dan kondisi. Misalnya, karena tidak pernah berdusta dan berkhianat dan amanah, penduduk Makkah menggelari Rasul Muhammad sebagai al-amin, pribadi terpercaya.Tak ada yang protes. Quraish jahiliyah sampai kaum beriman mengamini. Sesuai kualitas dan kepribadian penerima gelar. Nabi juga digelari Abu al-Masakin.Beliau sangat sayang dan membela hak-hak kaum miskin.Sesuai fakta dan realita. Semua mengakui dan tak seorang pun protes dan keberatan. Lha, layakkah SBY?

Merespon pemberian gelar di atas, aliansi aktivis kebebasan beragama dan korban-korban kekerasan ormas keagamaan—Jamaat Ahmadiyah, Syiah dan Gereja GKI Yasmin dan Filadelfia menyampaikan suara hati dan kegeraman emosi mereka di depan kantor Wantimpres. Karena tak tepat sasaran itu pula, Romo Magnis Suseno mengirim surat langsung ke lembaga pemberi gelar. Sebagai guru besar bidang filsafat, dan sangat mengenal logika moral, pantas dan tidak pantas, beliau menandaskan:”saya malu dan anda mempermalukan lembaga anda”. Sebagian isi suratnya berikut: “I am a Catholic Priest and professor of philosophy in Jakarta. In Indonesia we learnt that you are going to bestow this year’s World Stateman Award to our President Susilo Bambang Yudhoyono because of his merits regarding religious tolerance. This is a shame, a shame for you. It discredits any claim you might make as a an institution with moral intentions. How can you take such a decision without asking concerned people in Indonesia? Hopefully you have not made this decision in response to prodding by people of our Government or of the entourage of the President”.

Sansak itu Bernama Minoritas

Sedangkal bacaan saya, saat ekspansi Islam meluas ke Asia, Eropa dan Afrika, kemenangan kekuatan bersenjata dan politik umat Islam klasik, justru memberikan pengayoman dan perlakukan yang adil kepada kaum non-muslim. Minoritas mendapat perlindungan. Belajar dari Rasulullah, Umar bin Khattab begitu respek dan membela hak iman kaum Yahudi dan Nasrani. Begitu pula Raja Abdul Malik bin Marwan dari Dinasti Abbasiyah saat merambah India. Kaum Hindu mendapat perlindungan dan kebebasan beriman dan beribadah. Tidak pernah saya baca aksi kolonial dan aksi anarkis umat Islam terhadap tempat ibadah dan umat non-muslim. Kemenangan senjata dan politik Islam tidak jadi ancaman dan tidak menebar ketakutan. Kehadiran Islam jadi kebaikan, berkah bagi non-muslim dan perkembangan peradaban. Islam benar-benar menebar rahmat dan mengayomi manusia dan kemanusiaan.

Tapi kondisi sebaliknya terjadi saat rezim SBY berkuasa selama 2 priode di negeri ini. Aksi tragis dan mengenaskan semarak dialami oleh minoritas. Jamaat Ahmadiyah sudah jadi langganan kekerasan dan pelumatan aksi. Di NTB, sampai detik ini, mereka terampas hak hidup, hak aman dan hak berimannya. Mayoritas mengisolosi, mengintimidasi dan mengusir dari tanah tumpah darahnya. Tragisnya, aparat hukum dan polisi tidak berdaya. Angka tertinggi kekerasan ormas keagaman terjadi di Jawa Barat. Korban kekerasan dan aksi intoleransi mererentang dari Cirebon, Garut, Bekasi, Sukabumi sampai Bogor.Lebih-lebih sejak Ahmad Heryawan jadi Gubernur. Politisi asal PKS ini bahkan berucap”Ahmadiyah lenyap masalah pun hilang”. Sangat tidak layak keluar dari mulut pemerintah. Saya tidak paham. Apa karena kedangkalan wawasan keislaman, tak paham konsititusi atau insting khewani buas dalam dirinya?

Secara pribadi saya menolak dan tidak akan pernah membela paham adanya Nabi setelah Rasul Muhammad. Saya menolak klaim versi Lahore ataupun Qadiyani. Muhammad adalah Rasul pamungkas. Sekalipun demikian, masjid Ahmadiyah tetaplah baitullah. Bukan masjid dhiror yang layak ditumpas dan dihancurkan. Al-Qur’an yang dibakar persis yang dimiliki oleh mayoritas. Bahasa, jumlah dan susunan surah sama persis.Dimulai dengan al-Fatihah dan diakhiri juz amah. Mengapa tidak teriak telah terjadi penodaan dan penghinaan kepada Islam saat masjid dan al-Qur’an dibakar? Ya, karena sendiri pelakunya. Segerombolan umat dan ormas mengepung dan memblokade kaum Ahmadiyah dengan penuh angkara murka. Mereka dipenjara di dalam masjid. Aparat pemerintah pun turut serta. Mereka tak perduli kondisi korban. Penuh angkara murka dan tak manusiawi. Saya yakin, Rasul Muhammad dari alam ruh pun tak tega dan iba melihat derita jamaah Ahmadiyah. Beliau tak butuh pembelaan dengan cara kriminal dan kejam.

Sansak lain ormas dan gerombolan umat adalah gereja dan kaum Syiah. Di Sampang, kaum Syiah jadi bulan-bulanan mayoritas. Secara sosio-teologis saya mengenal Madura. Konflik ini sarat kepentingan kuasa dan politik kaum ulama semata. Salah dan dosa apa hingga mau direlokalisasi dan diusir dari tanah kelahirannya?Kasus GKI Yasmin sampai kini tidak selesai. Padahal berada di “halaman belakang rumah” SBY. Kini muncul kriminalisasi pendeta Palty di Bekasi. Apakah derita dan angka konflik dan aksi intoleransi tersebut tidak pernah dibaca atau didengar oleh SBY hingga berminat menerima gelar kontraversi itu? SBY tidak cukup hanya empati atas derita dan kekejaman yang menimpa mereka.

Berdasarkan fakta dan data, kekerasan, aksi intoleransi, dan tindakan kriminal sebagaimana dicatat oleh Wahid dan Setara Institute, saya cenderung menilai, sepanjang 2004 sampai 2013 ini, rezim SBY kalah oleh aksi ormas kegamaan. Tak berdaya. Tidak saya lihat upaya serius SBY selain empati dan himbauan semata. Bukankah angka intoleransi dan kekerasan terus meningkat di era kepresidenannya? SBY membiarkan gerombolan kejam itu jadi legitimator keagamaan. Mereka seakan pemegang otoritas aliran, metodologi, dan ideologi keagamaan. Mereka merajalela mengendalikan pentas dan acara yang boleh dan tidak. Kemana aparat hukum yang berada dibawah pemerintah SBY? Jelas gerombolan itu bukan wakil Tuhan di bumi. Negara dipaksa bertekuk lutut dan membiarkan aksi-aksi intoleran dan kriminal mereka. Di tangan SBY ada kalkulator: surplus atau defisit politik?Itulah neracanya. Akhirnya, negara dan aparat hukum pun pasrah. Di balik dinding istana yang tebal SBY diam membisu.

Tak dapat dibantah, di era SBY marak dan masif gerakan ideologi seakan-akan Tuhan ”pecandu perang”, sehingga kekerasan, aksi intoleransi, sinis dan anti perbedaan marak terjadi. Aksi-aksi tidak manusiawi dan bertentangan dengan hukum dimaknai sebagai ibadah. Boleh jadi kekerasan, bahkan perang pun sebagai ”persembahan” kepada Sang Tuhan. Gerombolan berjubah agama merajela.Perbedaan metodologi dan ideologi dianggap melanggar kehendak dan ridla Tuhan. Berbeda sebagai ancaman otentisitas dan eksistensi agama. Label sesat, kafir, menodai dan merusak agama mudah ditempelkan. Dan rezim ini tak bernyali menghadapi ”wakil-wakil” Tuhan itu. Saya sedih, agama tidak lebih sebagai organisasi, institusi, dan identitas semata. Agama bukan inspirasi damai dan harmonis. Agama dipanggil ketika ada kebutuhan seremoni, ritualitas, dan legitimasi, dan dicampakkan dalam tanggung jawab moral. Partai dan politisi kerap menggunakannya. Birokrasi dan aparat negara rajin mencampakkan iman. Iman semarak dalam ungkapan, majelis taklim, dan ibadah hanya di masjid atau di gereja. Senyap di kantor, apalagi saat kepentingan politik mendesak. Tuhan diabaikan dan ditinggalkan.

Tahun 2014 semoga cepat berlalu. Jangan berharap apa-apa lagi kepada SBY. Selama 9 tahun memegang amanah, tak banyak aksi dan upaya menyemai toleransi, relasi sehat lintas iman dan agama, perlindungan nasib dan menegakkan hak-hak konstitusional minoritas. Kalau pun ada hanya berupa statemen, rasa prihatin dan himbauan semata. Konsep kepemimpinannya adalah ucapan dan empati semata. Padahal, konteksnya butuh teguran, sanksi dan aksi nyata. Adalah muspra saat SBY minta MUI menjaga kerukunan umatberagama sementara lembaga ini sendiri mempelopori sikap diskriminatif dan fatwanya jadi landasan teologis kekerasan dan aksi-aksi kriminal kepada minoritas. Begitu pun basa-basi SBY saat perayaan Natal tidak bermakna bila sebagian kaum Kristiani jadi korban aksi kekerasan. Tidak bermakna pula keberadaan SBY bila aksi-aksi kriminal ormas-ormas terus meningkat dan negara terus kalah.Sebagai pribadi yang doyan puja-puji, dan suka pencitraan, SBY tetap datang ke Amerika. Dan, seperti halnya SBY, The World Statesman Award itu sama tak bermaknanya.


* Mohammad Monib 
Direktur Eksekutif Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar