"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Senin, 28 Januari 2013

Konflik Suriah: Bukan Pertarungan Sunni-Syiah


AGAKNYA kita mesti kritis dan berhati-hati menyikapi konflik Suriah yang telah menjadi sebuah isu global yang panas dalam 17 bulan terakhir. Hendaknya kita jangan sampai turut bermain dalam gendang yang dimainkan oleh musuh-musuh peradaban Islam dan kemanusiaan, yang sejak awal mengarahkannya ke konflik sektarianisme antara Sunni dan Syiah atau bahkan Islam versus Kristen. Inilah yang dikehendaki Zionis dan AS/Barat, yakni mengadu domba umat Islam atau sesama umat beragama.


Apa yang terjadi di Suriah secara genealogis sama sekali tidak ada hubungannya dengan isu Sunni-Syiah. Fakta yang sangat nyata adalah pendukung Assad berasal dari kaum Sunni (komponen terbesar), Alawiyyin, Syiah, Kristen Ortodoks, dan minoritas lainnya.
Sementara penentang Assad awalnya juga beragam meski kemudian ketika mereka bersenjata didominasi oleh jaringan jihadis global kaum Salafi-Wahabi. Setelah 17 bulan berlalu, Barat dan antek-antek regionalnya (Arab Saudi, Qatar, Turki) gigit jari, gemas, dan akhirnya putus asa karena ekspektasi mereka gagal total.

Pertama, mereka berharap terjadi defeksi/pembelotan besar-besaran tentara Suriah yang 80% adalah penganut Sunni. Kedua, mereka meramal, sebagaimana dugaan pemberontak, Aleppo bisa menjadi “Bengazi” nya Suriah, yi, menjadi pusat gerakan pemberontakan mengingat 90% penduduknya adalah Sunni atau kabilah-kabilah Arab yang Sunni. Ternyata, di luar ekspetasi mereka, banyak penduduk Aleppo yang menentang pemberontak, tidak hanya secara politis tapi juga secara militer. Alhasil, kedua ekspektasi ini tak kunjung datang dan sirna. Hal itulah diantaranya yang membuat Presiden Perancis Hollande sampai kehilangan akal sehat dengan mengeluarkan kata-kata kasar yang seakan masih memperlakukan Suriah sebagai koloninya.

Jadi, bukti di lapangan tidak menunjukkan secara substansial adanya peran Sunni-Syiah dalam menggelorakan kerusuhan di Suriah. Saya katakan ‘secara substansial’ karena secara aksidental, kaum pemberontak Salafi dan majikan mereka (Arab Saudi, Qatar, Turki, AS/Inggris/Perancis) yang menggaji dan mempersenjatai mereka) berusaha menggunakan isu Sunni-Syiah untuk memprovokasi kaum Sunni Suriah, dan juga sekaligus digunakan oleh jaringan global Wahabi untuk merusak persaudaraan Islam seperti yang terjadi di tanah air kita (catatan: saya kerap menemukan orang-orang yang memaki Syiah dengan alasan apa yang mereka imajinasikan sebagai ‘pembantaian Sunni oleh Syiah’ di Suriah).

Jadi, provokasi Wahabi ini telah berdampak buruk di negeri kita; sementara rakyat Suriah sendiri, yang mengalami langsung konflik yang terjadi, hampir tak terpengaruh oleh agitasi Wahabi ini. Kita berharap mudah-mudahan rakyat Suriah -apapun mazhab dan agamanya- tetap tak terpengaruh oleh hasutan ini dan berdoa semoga mereka segera keluar dari penderitaan yang berkepanjangan ini.

Lalu, apa yang sesungguhnya terjadi di Suriah? Jenis konflik apa yang berlangsung di negeri klasik, yang merupakan tempat pertemuan sejumlah peradaban dan agama-agama dunia ini?

Memang sulit mengidentifikasi dan membuat kategorisasi mengenai kerusuhan di Suriahi. Ia jelas bukan konflik Sunni-Syiah. Ia juga bukan konflik pro-demokrasi dan pro-kerajaan (seperti di Bahrain) mengingat pendukung pemberontak Suriah adalah justru monarki-monarki absolut, yang sama sekali tidak punya legitimasi untuk berbicara tentang demokrasi. Sejumlah pemimpin Iran membaca kerusuhan Suriah ini sebagai skenario yang diciptakan oleh AS/Barat untuk menyelamatkan eksistensi Zionis Israel yang kini dicekam ketakutan menyusul lahirnya Islamic Awakening (istilah Iran) atau Arab Spring (istilah Barat).

Mungkin kita bisa juga membuat kategorisasi lain; semisal bahwa konflik Suriah adalah pertarungan nasionalisme-sosialisme Arab (Suriah kini menjadi satu-satunya negara Arab yang berdaulat, tidak tunduk kepada Barat) melawan sekutu kapitalisme global. Rusia (pewaris komunisme Uni Soviet) dan China (komunisme-nasionalis) hingga detik ini masih sangat kuat mendukung pemerintah Suriah. Atau dimungkinkan juga untuk mengidentifikasi bahwa konflik Suriah merupakan sebuah titik balik kurva perubahan dari tatanan dunia lama (paradigma mekanistik) ke tatanan dunia baru (paradigma holistik) yang ditandai oleh kesalinghubungan yang organis di antara titik-titik kejadian di planet ini.

Apapun identifikasi dan kategorisasi yang dibuat, yang harus ditegaskan adalah bahwa “konflik di Suriah” (bedakan dengan “konflik Suriah”) tidak terkait dengan pertarungan Sunni-Syiah. Ini yang paling penting kita garisbawahi. “Konflik di Suriah” artinya sebuah peristiwa konflik yang melibatkan kepentingan semua kelompok di dunia dengan menggunakan tanah Suriah.

Tentu saja, istilah Sunni-Syiah yang saya pakai di sini mengacu kepada pengertian sebagai identitas kelompok, sebagai kata benda, sebagaimana umumnya dipahami. Akan berbeda halnya bila istilah Sunni-Syiah dimaknai sebagai kata kerja/sifat. Shah Iran Pahlevi dan para pengikutnya yang kini tinggal di AS tercatat sebagai penganut Syiah dalam pengertian identitas dan kata benda, akan tetapi mereka penentang keras gagasan keadilan dan peradaban Islam. Sebaliknya, tak sedikit kaum Sunni atau bahkan umat beragama lain, yang menyuarakan keadilan dan perlawanan terhadap arogansi dan dominasi kapital.

Nah, sekalipun identitas Bashar Assad tidak diketahui persis apakah Sunni atau Syiah (dan menurut saya, ini tidak relevan), kita bisa membacanya dalam kategorisasi kata kerja melalui pertanyaan berikut: Apa yang telah dia lakukan selama ini dalam perlawanan bersama rakyat Palestina dan Lebanon terhadap kepongahan dan penindasan Zionis/Barat? [Islam Times/on/Beritaprotes]

Husain Heriyanto: Penulis buku “Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam” (Jakarta: Mizan, 2011) dan “Paradigma Holistik” (Jakarta: Teraju, 2003).



Konflik Syiah-Sunni adalah Plot Musuh Islam
Menteri Luar Negeri Iran, Ali Akbar Salehi mengatakan bahwa isu tentang kesenjangan antara Syiah dan Sunni Muslim merupakan plot rancangan musuh-musuh Islam. 

Dalam pertemuan dengan Sheikh Agung Al-Azhar, Ahmed Al-Tayeb di Kairo pada hari Kamis (9/1/13), Salehi juga menyeru umat Islam untuk bersatu dan menghindari konflik. 

"Dalam beberapa tahun terakhir, musuh selalu berupaya menciptakan dan memperparah perpecahan di kalangan umat Islam," tambahnya. 

Dalam kesempatan itu, Salehi juga mengundang Sheikh Al-Azhar mengunjungi Iran untuk mengadakan pembicaraan dengan ulama Iran dan menyaksikan sendiri secara langsung kehidupan damai muslim Syiah dan Sunni di Republik Islam Iran.

Al-Tayeb juga mendesak umat Islam untuk menggalang persatuan. Dia juga mengatakan umat Islam tidak boleh membiarkan musuh mencapai tujuan mereka lewat perpecahan di dunia Muslim. 

Sementara itu, dalam pertemuan dengan Patriarkh Koptik Kristen Mesir Paus Tawadros II, Menlu Iran itu menyatakan pentingnya hidup berdampingan dan damai antara umat Islam dan Kristen. 

Paus Tawadros mengatakan Iran memiliki peradaban sejarah dan penganut agama yang berbeda, termasuk Zoroaster, Yahudi, Kristen dan Muslim. Rakyat Iran memiliki kemampuan untuk hidup bersama secara damai. 

Selama di Kairo, Menteri Iran itu mengadakan pembicaraan dengan para pejabat senior Mesir, termasuk Presiden Mohamed Morsi dan Menlu Mohamed Kamel Amr pada hari Kamis (10/1/13). 

Salehi juga bertukar pandangan dengan utusan khusus PBB- Liga Arab untuk Suriah, Lakhdar Brahimi dan Sekjen Liga Arab Nabil al-Arabi mengenai perkembangan terbaru di kawasan secara umum dan kerusuhan Suriah secara khusus.
(Islam Times)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar