Pernyataan pengamat militer Connie Rahakundini menarik ditelaah bersama. Setelah Libya , target Amerika Serikat (AS) berikutnya adalah Papua (27 Maret 2011). Statement Connie bukannya tanpa dasar (TV One, 26/3/2011). Adanya informasi Papua menjadi target AS selanjutnya sudah beredar di kalangan intelijen, bahkan sumber-sumber kami yang cukup terpercaya mengungkap terdapat usaha intensif beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat AS kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan secara bertahap.
Ia memberi analogi kasus
Perkembangan ini tentu saja cukup memprihatinkan. Sejak 1967, saat Suharto mengambil-alih pemerintahan, Freeport yang semasa era Bung Karno sepenuhnya dalam pengawasan skema nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, ternyata kembali dikuasai oleh para pengendali korporasi-korporasi tambang Amerika yang bertumpu pada Dinasti Rockefeller. Dengan dikuasainya kepemilikan saham
Ketika penjajahan di ranah ekonomi dan salah satu sektor strategis bangsa, tentunya masuk akal jika penguasaan teritorial menjadi sasaran strategis berikutnya untuk dikuasai oleh para perancang kebijakan strategis keamanan nasional di Washington.
Karena itu pernyataan para narasumber tersebut di atas, bisa dibaca sebagai mewakili sekaligus memberi gambaran bahwa terdapat anasir internal yang didukung asing berupaya “melepaskan diri” dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini bukan sekedar rumor. Tanda-tandanya jelas. Pola yang diterapkan identik dengan beberapa peristiwa sebelumnya di berbagai belahan dunia. Selalu isu HAM dihembuskan, freedom, demokratisasi, kemiskinan dan lainnya, berujung pada pemisahan wilayah via referendum. Paket awal lazimnya via isu-isu aktual yang diangkat segelintir individu (komprador) lokal yang telah tergadai jiwa nasionalismenya, atau melalui organisasi massa (ormas) setempat dan terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang nge-link ke LSM asing dengan promosi media massa secara gencar.
No free lunch. Tak ada makan siang gratis di Barat. Niscaya ada agenda tersembunyi hendak dicapai. Tengok saja. Tatkala ada gelontoran dana asing baik kepada person, ormas maupun LSM lokal, apalagi jika gelontoran itu tak terbatas --- maka sudah boleh dipastikan operasi intelijen asing tengah bermain di republik tercinta ini (baca: Indonesia Diserbu! www.theglobal-review.com). Pertanyaanya ialah, adakah hal ini disadari oleh para individu, ormas dan LSM setempat bahwa sesungguhnya mereka telah menjadi (kaum komprador) bagian dari skenario penghancuran negeri dan bangsanya sendiri, dari sisi internal?
Dari kajian eksternal, kegagalan invasi militer AS dan sekutu pada tiga wilayah terakhir seperti
Akhirnya berbagai deception atau pengalihan perhatian dijalankan sebagai alasan untuk meninggalkan perang di
Sudah barang tentu, rencana serangan ke Iran sesuai statement Jenderal Wesley Clark, (mantan) Komandan NATO dulu perihal peta (roadmap) penaklukan dunia oleh Pentagon yang telah direncanakan lima tahun lalu dimulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Iran, Somalia dan Sudan ---kemungkinan TERTUNDA--- bila tak boleh menyebut gagal.
Oleh sebab
Ya. Gagal menekan
Maka jika diibaratkan penjarah, sesungguhnya misi AS dan sekutu di Libya cuma sebatas “merobek-robek” kantong namun belum sempat mengambil isi rumah, keburu diteriaki rampok oleh pemilik dan sekelilingnya. Termasuk rencana menyerang
Apapun istilah, gerakan politik AS dan sekutu di Jalur Sutra, entah ia smart power, entah itu revolusi warna, atau provincial reconstruction team, bahwa geliat operasi silumannya out of control dari rencana semula. Upaya ganti rezim yang diawali destabilisasi politik ternyata berputar 180 derajat, berubah menjadi ganti sistem. Warna yang muncul lagi populer di Timur Tengah dan sekitarnya adalah KEBANGKITAN ISLAM. Termasuk tertangkapnya pesawat mata-mata RQ 170 milik AS oleh militer
Sepertinya seri baru perang kolonial sebagaimana isyarat Chaves, kini hendak digelar di Asia Pasifik, akibat ketidaksuksesan (atau gagal) di Jalur Sutra. Diawali operasi politik memperlemah ASEAN melalui terbentuknya East Asia Bloc atau Asia Pacific Union. Sasaran strategis AS ialah mengamankan skema kebijakan neo-liberalisme di kawasan Pasifik dan Asia Tenggara pada khususnya (Hendrajit dan Ferdiansyah Ali, 15/11/2011 ).
Sekurang-kurangnya, ada dua peristiwa bersejarah yang dapat digunakan rujukan sementara untuk mengurai kiprah AS dan sekutunya, antara lain adalah (1) Kuliah Bung Karno (BK) kepada Che Guevara tahun 1959-an, ketika Che diperintah Fidel Castro berguru kepada BK tentang Sosialisme. Inilah sebagian materi kuliah yang diterima Che perihal Kedaulatan Modal dan Imperialisme Modern:
“ .. watak imperialisme kuno yang menghasilkan kapitalisme kuno itu beda dengan watak imperialisme modern. Imperialisme kuno bersandar pada kekuatan militer, imperialis-kapitalis modern didasari kekuatan finanz-kapital. Kelak konflik internasional bergeser pada modal, bukan lagi pada perang koloni atau wilayah. Inilah kenapa aku ingin negeriku menjadi raksasa terhadap modal itu sendiri, berkedaulatan politik, daulat atas ekonomi dan berkebudayaan otentik ..",
Sedang peristiwa ke (2) Adalah great depression yang pernah menerpa Paman Sam dekade 1930-an doeloe. Diawali kejatuhan Wall Street, akan tetapi 10 tahun kemudian ia mampu bangkit kembali akibat meletus Perang Dunia (PD) II. Ya, persoalan apakah PD II itu diciptakan atau terjadi secara alamiah, tidak akan dibahas dalam tulisan ini (baca: Teror dan Catatan Kecil Perang Dunia, di www.theglobal-review.com). Artinya roda perekonomian AS kala itu bisa bergerak lagi setelah perusahaan-perusahaan AS menerima banyak pesanan berbagai senjata dan pesawat terbang dari negara-negara yang terlibat Perang Dunia.
Benang merah hal di atas, sepertinya mampu menjawab kontradiksi selama ini, kenapa pemerintah Obama dan sekutu berjuang memperbaiki krisis ekonomi negara, sedang militernya justru menghambur-hamburkan uang untuk perang. Agaknya terdapat korelasi kuat antara perang dan modal. Dengan kata lain, perang memang harus bermodal namun peperangan justru dapat menghancurkan modal itu sendiri. Modal adalah alat utama memulihkan perekonomian, dan perang merupakan salah satu sarana terbaik mengembalikan dan mencari modal. Agaknya kepulihan great depression di AS tempo dulu boleh dijadikan contoh riil atas asumsi ini.
Kembali ke Asia Pasifik, bahwa skenario Obama atas pangkalan AS di Darwin ialah dalam rangka membantu
Isu yang ditabuh oleh beberapa elemen bangsa guna memisah Papua dari NKRI ialah HAM, kemiskinan dan lainnya. Ketidakmampuan Pusat mengentaskan kemiskinan dianggap sebagai penyebab utama separatis tumbuh subur, sedang kemiskinan disana hakikinya akibat sistem kapitalisme yang diterapkan. Baik KORUPSI yang sengaja “diciptakan” oleh sistem, juga pola pembagian royalti yang “njomplang” dan lainnya. Bagaimana dikatakan adil dan beradab, jika tukang cangkulnya mendapat 99 %, sedang pemilik tanah memperoleh 1 % saja? Gunung emas yang seharusnya memakmurkan rakyat Papua justru dirampok oleh asing.
Kembali soal Darwin, konon sekitar 2500 marinir AS akan ditempatkan. Secara hitam putih terlihat sedikit, namun bila kapal induk merapat disana niscaya membawa 10.000-an serdadu lengkap dengan peralatan perang dan pesawat-pesawat tempur siap laga, belum termasuk instrumen pengiring baik kapal perang kecil maupun kapal-kapal selam. Itu sudah prosedur tetap pergerakan kapal induk dimanapun.
Pertanyaan kenapa demikian, bahwa kesulitan AS dan sekutu menguasai (mengembalikan modal) di Jalur Sutra sebagai alasan pokok, bukankah lebih baik langsung masuk ke sasaran lain yakni: Indonesia Raya, negeri “miskin” di Asia Tenggara namun kaya akan sumberdaya alam.
Banyak sumberdaya yang ada di Jalur Sutra dipastikan melimpah-ruah di Indonesia cuma belum tergali; sementara berbagai sumberdaya dimiliki Indonesia banyak yang tidak ditemui di Jalur Sutra. Konon Charlie Illingworth, Bos-nya John Perkins sewaktu berada di Bandung pernah bilang, bahwa Presiden AS Richard Nixon ingin Indonesia diperas sampai kering seperti kain pel habis dipakai melantai. Negeri ini ibarat real estate terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina. Berbicara tentang minyak bumi, kita tahu bagaimana negara kita tergantung darinya. Indonesia bisa menjadi sekutu kuat kita dalam soal itu (John Perkins, 2004).
Agaknya, apa yang dikerjakan AS kini ibarat memakan bubur panas, artinya memulai dari pinggiran-pinggirannya. Misalnya (rencana) pangkalan militer di Singapura, pangkalan di Subic, meskipun data terakhir AS telah meninggalkan Philipina dekade 1992-an, dan paling terakhir adalah Darwin, Australia.
Dalam perspektif hegemoni AS, menerkam Indonesia sebenarnya tinggal menunggu saat serta momentum saja, sebab “pembusukan dari dalam” telah berjalan mulus dan lancar sejak Orde Baru lengser dulu. Seperti perubahan total UUD dan intervensi puluhan UU lainnya (baca: Perlu Diselidiki Kebenarannya : Bantuan Asing Untuk Amandemen UUD 1945 dan beberapa Paket Undang-Undang, 8/12/2011 diwww.theglobal-review.com), “korupsi yang diciptakan”, atau “Perang Candu” dengan berbagai kemasan, pola adu domba berbungkus ego sektoral dan lainnya.
Entah momentum nanti menumpang pada hiruk-pikuk politik internal negeri, atau bakal diletuskan ketika pemilu presiden (2014) nanti dan sebagainya. Wait and see. Sekali lagi, inilah mengecoh langit menyeberangi lautan. Lalu, masihkah anak bangsa ini asyik dengan “mainan ciptaan asing”, sedang itu bagian dari trap modus potong babi?
*M Arief Pranoto
(theglobal-review.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar