"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Senin, 24 Desember 2012

Merayakan Natal tanpa Salju


Perayaan Natal setiap tahun mengunjungi kalender kita, bangsa Indonesia. Setiap orang senang, baik karena ia hari besar bagi orang Kristen maupun hari libur tanggal merah bagi non Kristen. Bisakah semua rakyat Indonesia bergembira karena alasan yang sama, yaitu merayakan kelahiran Yesus? Diperlukan sebuah analisis yang ‘rada’ berani sekaligus argumentatif dan, jangan lupa, tidak memasuki area ‘garis kuning’ SARA.


Muhammad, Yesus dan para nabi telah membawa ajaran cinta, cinta Allah dan cinta tetangga serta bahkan cinta terhadap makhluk-makhluk-Nya yang terkecil sekalipun.
Dalam teks-teks non Kristen, diriwayatkan Yesus memberikan beberapa makanan kepada makhluk-makhluk di laut. Namun cinta ini tidak berbenturan dengan sentimentalisme yang mencegah pelaksanaan hukum ilahi ketika sikap munafik kaum Yahudi. (Cf.Matt. 23:25).

Dalam al-Qur’an, terdapat sebuah ayat yang menggambarkan penghormatan yang begitu tinggi kepada Maryam al-Adzra’ (Perawan Suci Bunda Maria), dan menganugerahi Yesus gelar Kalimat Allah: “Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberikan kepadamu kabar gembira tentang sebuah Kalimat dari-Nya, namanya al-Masih putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan akhirat dan salah seorang yuang didekatkan (kepada Allah).” (3:45).

Tentu saja penafsiran mengenai logos dalam teologi Kristen berbeda dengan penafsiran kalimah oleh ulama Islam. Bagi umat Muslim Kalimah adalah makhluk, bahkan ia merupakan prinsip kreatif, karena ia berada dalam ucapan Allah dari kata “Jadi!” maka jadilah ia. Al-Qur’an menyebut Kristus sebagai Kalimat Allah tidak untuk mendewakannya atau menganggapnya bersifat ketuhanan (divine), tetapi untuk menegaskan statusnya sebagai nabi. Karena kenabiannya, Yesus menjadi ‘firman Tuhan’ karena ruhnya dibersihkan sedemikian rupa sehingga menjadi cermin untuk mengenal Tuhan.



Al-Qur’an juga menyebutnya sebagai ‘Ruh Allah’; “Sesungguhnya Al-Masih Isa putera Maryam itu adalah utusan Allah dan Kalimat-Nya dan Ruh-Nya.” (QS. 4:171). Kata ‘Ruh dari-Nya’ memberikan signifikansi pengertian universal, bahwa poros moral Kristen dan Islam itu sama.
Dalam wilayah teologi ini, umat Kristen telah memperdebatkan pentingnya sejarah Yesus yang bertentangan dengan gambar Yesus yang terdapat dalam tradisi-tradisi Gereja-gereja Kristen dan pandangan Injil mengenai Yesus.

Menurut Legenhousen dalam pengantar The Gospel of Ali, para penulis Kristen cenderung menitikberatkan teologinya pada fungsi Yesus sebagai juru selamat, yang tampaknya tidak memiliki tempat di dalam Islam. Umat Islam menerima Yesus sebagai juru selamat, bukan karena ke-Yesus-an-nya namun karena fungsi kenabian sebagai penyelamat manusia dari malapetaka dosa melalui pewartaan pesan petunjuk Allah, bukan melalui melalui penebusan dan penyaliban.

Di lain pihak, para kristolog muslim cenderung menghasilkan karya-karya polemik mereka sendiri-sendiri dengan menunjukkan berapa banyakkah di dalam Injil yang bersesuaian dengan pandangan Islam mengenai Kristus sebagai seorang nabi ketimbang sebagai seorang pribadi ber-Trinitas, sebagaimana Was Yesus Crucified? karya Ahmed Deedad (1992). Inilah dealock yang dapat memperuncing kecurigaan selama bertahun-tahun.

Karena itulah diperlukan sebuah terobosan baru untuk menghindari kebuntuan ini. Mungkin salah satu cara terbaik umat Kristen untuk dapat berdialog dengan umat Islam adalah ‘mengintip’ teks-teks Islam tentang potret, terutama al-Qur’an dan hadis.

Wawasan yang mendalam lagi mengenai berbagai perbedaan antara Islam dan agama lainnya, termasuk Kristen, dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Frithjof Schuon, Syekh ‘Isa Nur al-Din Ahmad, yang menghadirkan permulaan Kristolgi sejati perspektif Sufi dalam Islam and the Perennial Philosophy (1985). Juga dalam The Muslim Jesus: Sayings and Stories in Islamic Literature, Tarif Khalidi (2003) telah mengumpulkan referensi-referensi Islam tentang Yesus dari abad kedelapan sampai delapan belas, termasuk karya-karya mistik, teks-teks historis tentang para nabi dan orang-orang suci (wali) dan berbagai seleksi dari hadis dan al-Qur’an. Tulisan-tulisan ini membentuk suatu pola besar mengenai teks-teks yang berhubungan dengan Yesus dalam literatur non-Kristen. (Kristologi islamiah). Semoga saja pola baru ini tidak dianggap oleh sebagian ekstrimis sebagai intervensi terhadap teologi Kristen.

Dengan paradigma ini, mungkin perayaan Natal bisa dipandang secara lebih universal, bukan hanya hariraya kelahiran Yesus dari perspektif teologi Kristen dengan ragam mazhabnya yang kadang saling menafikan, namun sebagai hari kelahiran Yesus dalam persepktif teologi Islam. Tentu, ini tidak bisa dianggap sebagai ajakan kepada umat Kristen untuk memperingati kelahiran Muhammad saw. Penghargaan mutual ini, meski bisa memperkuat kerukunan, sulit terwujud.

Memperingati kelahiran Yesus tentu tidak harus meniru gaya orang Eropa dengan suasana musim dingin lengkap dengan cemara yang bertabur salju. Bukankah Yesus lahir di Yerusalem yang secara geografis memang tidak penah kejatuhan salju. Jadi, peringatannya bisa disesuaikan dengan kultur dan karakter keindonesiaan.
(muhsinlabib.com)

************************************************

Yesus dalam Narasi Islam


Oleh: Ismail Amin

Adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, Yesus As adalah tokoh yang kelahiran dan kehidupannya telah menciptakan gelombang gerakan kemanusiaan yang luar biasa. Ia termasuk yang disebut Thomas Carlyle sebagai ‘pencipta’ sejarah. Seorang tokoh teladan kemanusiaan yang sangat penting keberadaannya dalam tradisi Kristiani dan Islam. Geoffrey Parrinder, seorang Kristiani, ahli teologi Islam di Oxford University, Inggris, menulis sebuah buku yang sangat unik dan menarik berjudul Jesus in The Qur’an (Oxford: Oneworld, 1995). Kajian Geoffrey Parrindar dalam bukunya, menunjukkan bahwa Yesus merupakan salah satu dari sekian nabi yang mempunyai kedudukan sangat tinggi dan terhormat dalam Islam. Yesus dalam Al Quran disebut ‘Isa. Nama Yesus berasal dari perkataan bahasa Suriani (Syiria), Yeshu’ , dan dalam bahasa Arab menjadi ‘Isa. Di dalam Al Quran terdapat tiga surat yang berkaitan dengan Isa, yaitu: surat Al Imran, Al Maidah, dan Maryam. Nama Isa disebut sebanyak 35 kali, dan umumnya turun pada surat-surat Madaniyah, sedangkan sebutan tidak langsung namun berkaitan dengan ‘Isa sebanyak 93 kali di dalam 15 surat. Al Quran memberikan sejumlah gelar kehormatan kepada ‘Isa As, setidaknya tiga gelar utama, yaitu: nabi, al-Masih dan Putra Maryam.

Patut disayangkan, meskipun tercatat sebagai nabi, apresiasi ummat Islam terhadap tokoh ini teramat minim, bahkan sebagai sosok yang asing. Yesus seakan-akan hanya ‘milik’ umat Kristiani. Kita sering lupa bahwa semua nabi adalah bersaudara dan mereka membawa misi tauhid. Apalagi di dalam rukun iman umat Islam diwajibkan untuk beriman kepada kitab suci dan nabi-nabi sebelum Islam. Dalam teologi Islam, Yesus memiliki status khusus sebagai salah satu nabi ulu’ al-‘azm, lima nabi utama dengan sejumlah keistimewaan, yang patut dihargai dan dihormati. Al-Qur’an menyediakan informasi yang mendetail tentang tahap-tahap kehidupan Yesus As, dari kelahirannya, perjalanan dakwah tauhidnya, proses pengangkatannya ke haribaan Allah, kemunculannya kembali dan kematiannya. Dalam al-Qur’an, banyak terdapat ayat yang menggambarkan penghormatan yang begitu tinggi terhadap Yesus. Dalam surah Ali-Imran ayat 45, Yesus digambarkan sebagai sebuah Kalimat dari Allah. Tentu saja penafsiran logos dalam teologi Kristen berbeda dengan penafsiran kalimat di kalangan umat Islam. Islam menyebut Yesus sebagai kalimat Allah justru untuk menegaskan statusnya sebagai nabi. Karena statusnya tinggi sebagai nabi, Yesus menjadi manifestasi sempurna dari Allah, orang yang menyampaikan pesan Allah, yang berkata atas nama Allah dan karenanya menjadi Kalimah Allah, bukan Allah itu sendiri yang berinkarnasi. Dalam penafsiran lain, Ia diciptakan langsung dengan kalimat Allah yakni “Kun” maka terciptalah ia, tanpa melalui proses pencampuran sperma dan sel ovum sebagaimana kebanyakan kelahiran manusia pada umumnya.

Selain digelari ‘Kalimat Allah’, Yesus juga disebut sebagai ‘Ruh Allah’. Allah Swt berfirman: “Sungguh, Al-Masih Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan) dengan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya” (Qs. Al-Nisa [4]:171). Ruh adalah simbol paling nyata tentang eksistensi Tuhan. Karena itu, mungkin ini menjadi alasan bagi kalangan Kristen menganggap Yesus memiliki sifat ketuhanan. Sedangkan –mengutip bahasa Muhsin Labib- teologi Islam memahaminya sebagai ruh yang telah dibersihkan sedemikian rupa sehingga menjadi cermin yang dengannya Tuhan dikenal. Ibnu al-‘Arabi, dalam The Bezels of Wisdom (Fushus al-Hikam) mengatakan, “Biara menjadi suci bukan karena kesucian dalam bangunannya, tetapi karena ia merupakan tempat menyembah Tuhan”. Gelar yang lain kepada ‘Isa ialah al-Masih (messias, mashiah, kristus), yang arti harfiah ialah “diurapi”. Sebelum Islam datang kata al-Masih memang sudah dikenal di Semenanjung Arabia bagian selatan. Di dalam Al Quran sebutan al-Masih disebutkan sebanyak 11 kali, semuanya dalam surat Madaniyah. Di dalam bahasa Ibrani kata mashiah digunakan untuk mengacu pada seorang juru selamat yang dinanti-nantikan. Kata itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani menjadi Kristos. Jadi, nama Isa al-Masih adalah identik dengan Yesus Kristus. Bisa juga kata al-masih dikaitkan dengan kata masaha dalam bahasa Arab, artinya membasuh atau menyucikan. Gelar lain yang sering disebut di dalam Al Quran ialah Anak Maryam (’Isa Ibn Maryam). Kisah kelahiran ‘Isa Ibn Maryam dijelaskan dua kali secara rinci dalam Al Quran. Memang para malaikat memberi tahu Maryam akan kedatangan sebuah kalimah (perkataan atau logos) dari Tuhan ‘yang bernama al-Masih” (Q. 3:45). “Anak Maryam dan ibunya” dikatakan telah dipilih sebagai tanda karena ia memberikan keterangan dan bukti-bukti tentang Tuhan (Q. 2: 87, Q. 23:50, Q. 43:63). Seorang pakar tafsir modern, Baidawi, mengatakan bahwa gelar Anak Maryam dipakai untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa ‘Isa dilahirkan dan merupakan anak manusia, bukan anak Tuhan sebagaimana dalam doktrin Kristen. Keistimewaan lainnya, nama Al-Masih Isa putra Maryam adalah pemberian langsung dari Allah SWT, tidak sebagaimana kelahiran anak pada umumnya, anggota keluarganyalah yang memberi nama. Allah berfirman: “(Ingatlah) ketika Malaikat berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) dari-Nya, namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan salah seorang di antara orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).” (Qs. Ali Imran [2]: 45)

Misi Para Nabi

Sebagaimana telah dituliskan, menurut Al-Qur’an, Yesus Kristus hanyalah anak manusia dan posisinya sama dengan nabi lainnya yang di utus oleh Tuhan Semesta Alam untuk menciptakan keadilan di muka bumi. Sebagaimana nabi lainnya, Yesus pun memiliki kuasa (eksousia) sehingga mampu memperlihatkan mukjizat sebagai tanda atas kenabiannya. Mukjizat itu sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Maidah ayat 110 diantaranya, mampu berbicara sejak baru dilahirkan, membentuk burung dari tanah, mampu menyembuhkan orang buta bahkan menghidupkan orang yang telah mati, yang kesemuanya itu terjadi dengan seizin Allah SWT. Namun, yang paling penting dari status kenabian Yesus, bukan pada kemampuannya memperlihatkan mukjizat, tetapi kepeduliannya terhadap orang-orang menderita sakit, miskin, tertindas, dan orang-orang yang sesat jalan hidupnya. Diantara misi perjuangan para nabi dan pelanjutnya yang ditegaskan Al-Qur’an adalah melepaskan dari beban berat dan belenggu-belenggu yang memasung kebebasan ummat manusia (Qs. Al-A’raf : 157). Al-Qur’an menggambarkan ajaran yang dibawa para nabi adalah ajaran yang penuh antusias dan menawarkan mimpi besar tentang kesejahteraan dan keadilan, roh perjuangan mereka adalah memerdekakan manusia dari segala bentuk penindasan dan penyembahan kepada sesama makhluk. Sedangkan para nabi dan rasul adalah revolusioner. Mereka diutus Allah untuk mengubah dunia sesuai dengan kehendak Ilahi. Nabi Ibrahim memproklamasikan revolusi tauhid menentang kemusyrikan dan tirani Namrudz. Nabi Musa membebaskan bangsa Israel dari perbudakan Fir’aun. Nabi Isa as (Yesus Kristus) mendeklarasikan revolusi spritual melawan kekuasaan tirani Imperium romawi. Injil menulis tentang Yesus as “Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka” (Wahyu 21:4).

Menyoal Natal

Dari sini, umat Kristiani kiranya perlu mencatat bahwa umat Islam menerima Yesus sebagai juru selamat, bersama seluruh nabi lainnya. Karena fungsi kenabian adalah menyelamatkan umat manusia dari belenggu-belenggu yang memasung pundak-pundak mereka. Yesus (as) pada masanya sebagaimana Muhammad yang diutus di akhir zaman adalah sebagai rahmat bagi semesta alam. Al Quran menyebutnya sebagai “sebuah tanda bagi alam semesta” (Q. 21:91) dan dia diutus “untuk Kami jadikan tanda bagi manusia” (Q. 19:21). Karenanya, perayaan Natal semestinya tidak dipandang hanya sebagai hari raya kelahiran Yesus sebagai putra Tuhan Bapak sesuai teologi Kristen semata, sehingga tidak terkesan hanya milik umat Kristiani saja. Melainkan juga perlu dipandang dan ditradisikan sebagai hari raya kelahiran Yesus, Nabi Isa As Sang Kalimat dan Ruh Allah, sebagaimana diyakini umat Islam. Dalam teologi Islam, wajib mengimani keseluruhan nabi tanpa memilah-milah. Bagi saya penggalan do’a Yesus, “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan kembali.” (Qs. 19 : 33) menunjukkan hari kelahirannya adalah sesuatu yang patut dihargai. Bahwa kemudian Nabi Isa “dijadikan” Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah suatu hal yang lain lagi, yang tidak mengurangi arti ucapan Yesus itu. Artinya, Natal (hari lahir Yesus) diakui oleh kitab suci al-Qur’an sebagai hari yang mulia, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau harus dihormati oleh umat Islam juga. Kalau Yesus As dan pengikutnya menjadikan hari turunnya hidangan dari langit buat mereka sebagai hari raya (baca Qs. 5 : 114) maka hari dimana nabi dilahirkan yang diutus Tuhan untuk menyajikan hidangan akal dan ruhani yang menyelamatkan manusia maka lebih patut lagi untuk dijadikan hari raya. Maka secara pribadi, tidak ada ganjalan psikologis sedikitpun untuk turut merayakan Natal sebagaimana penulis yakini tentang Yesus sebagai salah satu Nabi Allah, yang tentu saja dalam bentuk dan maksud yang berbeda. Adalah benar bahwa makna perayaan hari besar suatu agama tidak mesti bertempat pada kuatnya akurasi hitungan hari dan tanggal, tapi bagaimana merevitalisasi makna-makna di balik perayaannya. Karenanya, tidak perlu berlarut-larut mempersoalkan 25 Desember yang diyakini kaum Kristiani sebagai hari kelahiran Yesus, kalaupun umat Islam tidak menerimanya, izinkan mereka mengekspresikan keyakinan mereka, bagi mereka amal mereka, bagi kita amal kita. Selamat atas kelahiran Yesus Kristus As.

(http://quran.al-shia.org/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar