"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Jumat, 21 Desember 2012

Iran Siap "Perang Lunak" Lawan Barat


Perang lunak, bukan (ayam) tulang lunak! Perang kok lunak? Bukannya keras, bengis, membunuh atau dibunuh. To kill or to be killed.

Ya, istilah soft war atau perang lunak itulah salah satu oleh-oleh saya dari kunjungan ke Iran selama lima hari, 15-19 Mei lalu.
“Perang lunak” merupakan istilah yang digunakan para pejabat Iran untuk merujuk pada invasi kultural dan taktik intelijen lunak (soft intelligence), seperti ditulis koran Iran News, Sabtu, 19 Mei.


Ujung tombak atau garis terdepan Iran menghadapi musuh adalah media massa. “Dalam era perang lunak dan perang pemikiran, media massa mempunyai peran penting dalam konfrontasi Iran melawan Barat,” kata Menteri Kebudayaan dan Bimbingan Islam, Syed Mohammad Hosseini, dalam suatu upacara yang dihadiri para tokoh media massa Iran, Rabu, 16 Mei.

Para pejabat percaya, target musuh-musuh Iran mengubah nilai-nilai dan keyakinan akan kebenaran revolusi Islam. Mengubah kepercayaan akan mengubah perilaku dan sistem politik sebuah negara, dapat dilakukan dengan menggeser perilaku dan kepercayaan bangsa Iran kepada Tuhan, demikian tulis koran itu.
Saya menganggukkan kepala membaca pernyataan itu, seraya bergumam: “Oh pantas, pemerintah Iran memberi dukungan politik dan dana yang besar untuk media massa negeri ini.”
Langsung saya teringat teman-teman di kantor berita IRNA dan Lembaga Penyiaran Radio dan Televisi Republik Islam Iran (IRIB). Keduanya media massa resmi Iran.

IRNA kantor berita pemerintah, sedangkan IRIB berada langsung di bawah Pemimpin Tertinggi (supreme leader) Iran. Karena posisinya dinilai sangat strategis, IRIB adalah satu dari empat lembaga tinggi negara yang tercantum dalam konstitusi Iran hasil revolusi 1979 di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini.
Ketiga lembaga tinggi negara lainnya adalah Eksekutif di bawah presiden, legislatif (parlemen) dan yudikatif (Mahkamah Agung).
Struktur seperti itu benar-benar menempatkan pers atau media massa sebagai cabang kekuasaan pemerintahan keempat (the fourth estate).

Kepala IRIB dipilih oleh dan bertanggungjawab langsung kepada Pemimpin Tertinggi. Kedudukkannya setara dengan Presiden, bukan di bawah Presiden.

Bahkan, bisik-bisik politik mengatakan, pimpinan IRIB sekarang adalah calon presiden terkuat setelah Mahmoud Ahmadinejad.
Oh ya, sebelum lupa kunjungan saya ke Iran kali ini, atas undangan IRIB untuk menghadiri dan sebagai pembicara dalam International Radio Festival ke-12 yang dilangsungkan bersamaan dengan International Radio Forum ke-4, di Zibakenar, daerah tujuan wisata di tepi Laut Kaspia, sekitar delapan jam perjalanan dengan bus, sebelah utara Teheran.

Mulai 1985 sampai 2000, saya berinteraksi cukup aktif dengan IRNA, karena posisi saya sebagai wartawan dan pimpinan LKBN Antara melalui Pool Kantor-Kantor Berita Non Blok (NANAP) dan Organisasi Kantor-Kantor Berita Asia-Pasifik (OANA), di mana saya pernah menjadi Sekjen dari 1988 sampai 1991.

Pada 1991, saya berkunjung ke Tehran, yang pertama kalinya untuk menghadiri pertemuan NANAP, menjelang diselenggarakannya KTT GNB (Gerakan Non Blok) di Jakarta 1992.
Pada 1993 saya kembali berkunjung ke Iran sebagai Pemred Republika, mengikuti muhibah kenegaraan Presiden Soeharto sebagai Ketua GNB.

Setelah lengser dari jabatan Pemimpin Umum (sekarang Dirut) Antara, nasib membawa saya untuk tetap berinteraksi dengan media massa Iran dalam posisi saya sebagai Dirut RRI, 2005-2010.
Bahkan, sampai sekarang. Jika IRNA aktif dan selalu menduduki jabatan eksekutif di OANA, demikian pula IRIB berperan penting dalam kepemimpinan ABU (Asia-Pacific Broadcasting Union) atau Uni Lembaga Penyiaran Asia Pasifik, yang meliputi radio dan televisi.

Karena sejak awal percaya ampuhnya diplomasi pers (media massa), saya membawa RRI aktif dalam ABU. Banyak manfaatnya aktif terlibat di organisasi ini, terutama untuk menjalin jaringan internasional, bertukar pengalaman, belajar dan mengadu kepiawian dalam membuat dan melaksanakan program siaran untuk mendapatkan ABU Awards, penghargaan yang bergengsi dan diakui oleh lembaga penyiaran kaliber dunia.

Aktif, percaya diri
Dalam berbagai pertemuan kedua organisasi itu di beberapa negara, saya menyaksikan delegasi IRNA dan IRIB selalu aktif mengambil peran. Sekalipun menguasai bahasa Inggris, dalam pidato atau pernyataan resmi mereka selalu menggunakan bahasa nasional Persia (Farsi).

Mereka, baik pria dan wanita, tampil penuh percaya diri dan memulai setiap pidato dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang lengkap dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris.

Yang pria tidak memakai dasi, karena itu dianggap pakaian Barat. Ketika saya tampil di panggung dengan baju koko, teman-teman Iran saya berbisik, “Itu lebih baik.” Biasanya saya berdas dan berdasi jika menghadiri pertemuan internasional.

Bagaimana dengan yang perempuan? Berjilbab sudah barang tentu, tapi tidak memakai cadar, bahkan banyak yang sengaja menunjukkan jambul rambutnya. Wanita Iran yang menjadi wartawati dan memimpin media massa tampil sangat mengesankan di forum-forum internasional.

Bukan hanya karena cantik, berpostur tinggi, berhidung mancung dan berkulit putih agak kuning (harap maklum karena bangsa Arya), mereka juga cerdas, trampil dan cekatan. Jilbab dan baju muslimah tidak mempengaruhi gerak-gerik mereka.
Omong-omong percaya diri itu muncul karena banyak faktor. Di samping karakter, pintar, gagah dan cantik, mereka didukung dengan anggaran yang besar untuk menjadi garda terdepan perang lunak itu.

Sebagai contoh, anggaran untuk IRIB dalam setahun, menurut Wakil Presiden IRIB bidang Radio, Mohammad Hosein Soufi, sekitar 1 milyar dolar AS atau sekitar Rp9 triliun.

Bandingkan dengan anggaran ABC, lembaga penyiaran public Australia, yang juga meliputi radio dan televisi, kata Bang Nuim Khaiyat, penyiar Radio Australia, hanya sekitar 860 juta dolar AS.
Jika anggaran IRIB yang melayani 70 juta penduduk Iran sebesar itu, anggaran RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik yang harus melayani 240 juta penduduk jika digabung hanya sekitar Rp2 triliun saja.

Memang uang bukan segalanya, tapi dengan Rp2 triliun untuk menjadi garda depan Indonesia dalam perang lunak demi menjaga jati diri dan martabat bangsa, ya agak susah untuk bisa berdiri sama tegak saja dengan lembaga penyiaran negara maju. Tapi, saya yakin banyak angkasawan RRI dan TVRI yang bersemangat baja alias tidak lembek, gampang menyerah atau bertulang lunak. 

Parni Hadi
(hariansinggalang.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar