Perang lunak, bukan (ayam) tulang lunak! Perang kok lunak? Bukannya keras, bengis, membunuh atau dibunuh. To kill or to be killed.
Ya, istilah soft
war atau perang lunak itulah salah satu oleh-oleh saya dari kunjungan ke Iran selama lima hari, 15-19 Mei lalu.
“Perang lunak” merupakan istilah yang digunakan para pejabatIran untuk merujuk pada invasi
kultural dan taktik intelijen lunak (soft intelligence), seperti ditulis koran
Iran News, Sabtu, 19 Mei.
“Perang lunak” merupakan istilah yang digunakan para pejabat
Ujung tombak atau garis terdepan
Para pejabat percaya, target musuh-musuh
Saya menganggukkan kepala membaca pernyataan itu, seraya bergumam: “Oh pantas, pemerintah
Langsung saya teringat teman-teman di kantor berita IRNA dan Lembaga Penyiaran Radio dan Televisi Republik Islam Iran (IRIB). Keduanya media
IRNA kantor berita pemerintah, sedangkan IRIB berada langsung di bawah Pemimpin Tertinggi (supreme leader)
Ketiga lembaga tinggi negara lainnya adalah Eksekutif di bawah presiden, legislatif (parlemen) dan yudikatif (Mahkamah Agung).
Struktur seperti itu benar-benar menempatkan pers atau media
Kepala IRIB dipilih oleh dan bertanggungjawab langsung kepada Pemimpin Tertinggi. Kedudukkannya setara dengan Presiden, bukan di bawah Presiden.
Bahkan, bisik-bisik politik mengatakan, pimpinan IRIB sekarang adalah calon presiden terkuat setelah Mahmoud Ahmadinejad.
Oh ya, sebelum lupa kunjungan saya ke Iran kali ini, atas undangan IRIB untuk menghadiri dan sebagai pembicara dalam International Radio Festival ke-12 yang dilangsungkan bersamaan dengan International Radio Forum ke-4, di Zibakenar, daerah tujuan wisata di tepi Laut Kaspia, sekitar delapan jam perjalanan dengan bus, sebelah utara Teheran.
Mulai 1985 sampai 2000, saya berinteraksi cukup aktif dengan IRNA, karena posisi saya sebagai wartawan dan pimpinan LKBN Antara melalui Pool Kantor-Kantor Berita Non Blok (NANAP) dan Organisasi Kantor-Kantor Berita Asia-Pasifik (OANA), di mana saya pernah menjadi Sekjen dari 1988 sampai 1991.
Pada 1991, saya berkunjung ke Tehran, yang pertama kalinya untuk menghadiri pertemuan NANAP, menjelang diselenggarakannya KTT GNB (Gerakan Non Blok) di Jakarta 1992.
Pada 1993 saya kembali berkunjung ke
Setelah lengser dari jabatan Pemimpin Umum (sekarang Dirut) Antara, nasib membawa saya untuk tetap berinteraksi dengan media
Bahkan, sampai sekarang. Jika IRNA aktif dan selalu menduduki jabatan eksekutif di OANA, demikian pula IRIB berperan penting dalam kepemimpinan ABU (Asia-Pacific Broadcasting Union) atau Uni Lembaga Penyiaran Asia Pasifik, yang meliputi radio dan televisi.
Karena sejak awal percaya ampuhnya diplomasi pers (media
Aktif, percaya diri
Dalam berbagai pertemuan kedua organisasi itu di beberapa negara, saya menyaksikan delegasi IRNA dan IRIB selalu aktif mengambil peran. Sekalipun menguasai bahasa Inggris, dalam pidato atau pernyataan resmi mereka selalu menggunakan bahasa nasional
Mereka, baik pria dan wanita, tampil penuh percaya diri dan memulai setiap pidato dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang lengkap dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris.
Yang pria tidak memakai dasi, karena itu dianggap pakaian Barat. Ketika saya tampil di panggung dengan baju koko, teman-teman
Bagaimana dengan yang perempuan? Berjilbab sudah barang tentu, tapi tidak memakai cadar, bahkan banyak yang sengaja menunjukkan jambul rambutnya. Wanita
Bukan hanya karena cantik, berpostur tinggi, berhidung mancung dan berkulit putih agak kuning (harap maklum karena bangsa Arya), mereka juga cerdas, trampil dan cekatan. Jilbab dan baju muslimah tidak mempengaruhi gerak-gerik mereka.
Omong-omong percaya diri itu muncul karena banyak faktor. Di samping karakter, pintar, gagah dan cantik, mereka didukung dengan anggaran yang besar untuk menjadi garda terdepan perang lunak itu.
Sebagai contoh, anggaran untuk IRIB dalam setahun, menurut Wakil Presiden IRIB bidang Radio, Mohammad Hosein Soufi, sekitar 1 milyar dolar AS atau sekitar Rp9 triliun.
Bandingkan dengan anggaran ABC, lembaga penyiaran public Australia, yang juga meliputi radio dan televisi, kata Bang Nuim Khaiyat, penyiar Radio Australia, hanya sekitar 860 juta dolar AS.
Jika anggaran IRIB yang melayani 70 juta penduduk Iran sebesar itu, anggaran RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik yang harus melayani 240 juta penduduk jika digabung hanya sekitar Rp2 triliun saja.
Memang uang bukan segalanya, tapi dengan Rp2 triliun untuk menjadi garda depan
Parni Hadi
(hariansinggalang.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar