Perang dan agresi memiliki umur sepanjang sejarah manusia. Dengan beragam cara, manusia senantiasa berupaya meraih kemenangan atas lawan-lawannya di medan tempur. Mereka senantiasa berusaha menciptkan perangkat dan metode baru untuk menggapainya. Salah satu persoalan yang selalu menjadi perhatian para panglima perang adalah upaya menemukan cara untuk melemahkan semangat tentara musuh lewat perang urat saraf.
Lantaran mereka tahu betul, serdadu yang tak memiliki motif untuk berperang, dan didera ketakutan dan tercekam, tidak akan bisa berperang secara baik. Karena itulah, sebelum dan ketika perang, mereka menyerbarkan pelbagai tipu daya dan jebakan untuk membangkitkan ketakutan dan kegelisahan pada pasukan musuh. Tentu saja, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kian hari metode ‘perang lunak' (soft war) semacam itu pun semakin maju.
Dengan diciptakannya media masa dan semakin mengglobalnya penggunaan media informasi, perang lunak atau yang dikenal juga sebagai perang saraf semakin berkembang pesat. Masing-masing blok yang saling bermusuhan dalam Perang Dunia II, khususnya pasukan Jerman, begitu gencar menggunakan media televisi dan radio sebagai peranti untuk meraih ambisi militernya. Pasca Perang Dunia II dan dimulainya perang dingin antara AS dengan Uni Soviet, peran media masa berada pada front terdepan dalam peperangan saraf kala itu. Segala upaya untuk menjatuhkan mental pasukan musuh diterapkan, sehingga ketakutan dan kekalutan pun menjerat serdadu-serdadu lawan. Tentu saja, negara-negara Barat di bawah pimipinan AS, jauh lebih unggul dalam perang media tersebut. Pasalnya, mereka memiliki kekuatan media yang lebih maju dan beragam. Bahkan menurut sejumlah pakar politik, salah satu faktor penyebab utama runtuhnya Uni Soviet, dikarenakan adanya gerak propaganda media masa Barat yang sistematis melawan kepentingan Blok Timur. Dengan demikian, konsepsi baru perang mental akhirnya memasuki ranah gramatika politik dan militer dunia modern yang jauh berbeda dengan tafsiran sebelumnya.
Di masa lalu, propaganda media dan perang saraf, hanya digelar untuk kepentingan operasi militer. Perang saraf ini, telah dimulai sebelum gendrang perang ditabuh dan akhirnya berakhir dengan kekalahan musuh dan munculnya stabilitas baru. Namun dalam metode baru perang saraf atau perang lunak modern, propaganda dan operasi mental pun bisa menggantikan andil perang militer konvensional untuk mengalahkan lawan. Karenanya, secara umum kita bisa definisikan perang lunak sebagai segala bentuk aksi psikologis dan propaganda media yang ditujukan kepada kelompok atau masyarakat tertentu dengan tujuan untuk menundukkan mereka tanpa melalui perang militer dan persenjataan konvensional. Ini berarti, perang lunak jauh lebih murah ketimbang ‘perang keras' (hard war) atau perang konvensional yang banyak memakan korban. Meskipun perang lunak semacam ini menuai hasil yang lebih lambat, namun memiliki efek yang jauh lebih lama bertahan.
AS, sebagai kekuatan militer terbesar di dunia. Dibandingkan dengan negara-negara lainnya, AS lebih sering menggunakan perang lunak untuk melawan negara-negara independen. Dengan menggelar operasi urat saraf,
Media-media tersebut, kendati mengaku bersikap netral, namun sejatinya mereka turut berperan besar dalam menyukseskan politik perang lunak AS terhadap negara-negara lainnya.
Perang lunak yang dilancarkan AS kepada lawan-lawannya, ditujukan kepada tiga ragam publik. Kelompok publik yang pertama, adalah kekuatan oposisi sebuah negara, yang merupakan sasaran pertama dalam peperangan ini, dan sebagai kelompok yang begitu sensitif dan cepat termakan oleh propaganda perang saraf media Amerika. Kelompok publik lainnya adalah kelompok yang acuh dengan kondisi negerinya. Kelompok semacam ini biasanya tak begitu peduli dengan masalah politik, namun bukan berarti menjadi penentang pemerintahan. Propaganda AS terhadap ragam publik seperti ini, diupayakan sedemikian rupa sehingga perlahan-lahan mereka pun akan bergabung dengan front oposisi. Namun terhadap kelompok pendukung pemerintah, tentu saja pekerjaan media masa AS jauh lebih berat. Pasalnya, kelompok pendukung semacam itu tentu tidak rela dengan intervensi AS, dan menentang kebijakan negeri Paman Sam tersebut.
Dalam peperangan lunak, pelbagai macam perangkat dan alat digunakan. Sehingga, peran media masa pun sangat strategis dalam bentuk perang semacam itu. Pikiran dan mental manusia merupakan sasaran utama perang ini. dan bukan jasad mereka. Karena itu, andil peranti media masa, semacam media cetak, radio, televisi, internet, dan media lainnya, memiliki peran yang amat siginifikan dalam keberhasilan suatu perang lunak.
AS menggunakan beragam cara dalam peperangan sarafnya melawan bangsa-bangsa independen. Salah satu cara paling penting adalah dengan merekayasa orientasi setiap berita dan informasi. Dalam metode seperti itu, media masa seakan-akan menyajikan semua informasi yang dimilikinya kepada publik. Namun dibalik itu, dengan sedemikian rupanya mereka berupaya memilih salah satu informasi yang sesuai dengan misinya, sehingga fokus perhatian publik tak lagi menyebar ke berita-berita lainnya, dan hanya diarahkan pada satu titik.
Menyebar isu adalah salah satu cara lain perang lunak untuk memantik kebingungan publik pada suatu persoalan, sehingga tak lagi bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak. Media-media masa AS selalu berupaya membesar-besarkan aib negeri orang, dan mengabaikan kemajuan yang dicapai negeri lawannya itu. Mereka pun gencar menampakkan dan mempromosikan kelompok-kelompok dan gerakan oposan anti-pemerintah, sekalipun kelompok tersebut tak memiliki banyak pendukung.
Selain sejumlah metode di atas, cara lain perang saraf adalah berupaya sebegitu rupa menciptakan stigma negatif dan krisis kepercayaan di tengah masyarakat terhadap pemerintahan negerinya sehingga otoritas dan legalitas pemerintahan tersebut bisa dipertanyakan ulang. Dalam situasi semacam itu, media masa Amerika lewat pelbagai cara berusaha keras memunculkan krisis di negara-negara yang tidak sehaluan dengan politik Gedung Putih, ataupun sekedar meyakinkan bahwa telah terjadi krisis.
Tujuan utama AS melancarkan perang lunak adalah untuk memperluas hegemoninya di pelbagai belahan dunia. Implikasi dari perang semacam ini, adalah pengubahan cara berpikir masyarakat negera-negara tersebut. Dengan kata lain, media masa Amerika lewat penyebaran film, berita, laporan pers, dan permainan komputer berupaya menurunkan sensitifitas bangsa-bangsa lain terhadap politik agresif AS, sembari menanamkan nilai-nilai keamerikaan. Propaganda dan perangkat komunikasi masa Amerika, biasanya berdiri pada upaya pemisahan sebuah masyarakat dari latar belakang budayanya, dan menjadikan pondasi pemikiran mereka sebagai sasaran utama perang lunak.
Sasaran lain media masa tersebut adalah, memaksa publik untuk bertindak melawan pemerintahannya. Pada tingkat ini, Washington melalui bantuan kekuatan internal para kroninya, berupaya mengontrol gerak penantangan rakyat terhadap pemerintahannya.
Salah satu contoh paling tampak dari perang lunak AS, adalah perang saraf AS melawan Republik Islam Iran. Perang propaganda itu telah dimulai semenjak kemenangan revolusi Islam Iran pada tahun 1979 dan pada beberapa tahun belakangan ini, intensitas gejolak perang saraf itu pun kian memanas. Sekarang ini, berbeda dengan pendapat kalangan konservatif radikal, banyak para pejabat dan pakar media masa AS meyakini bahwa serangan militer terhadap Iran adalah langkah keliru dan membahayakan. Menurut mereka, dengan dilanjutkannya perang lunak, akan jauh lebih efektif dan murah. Mark Palmer, ahli strategi terkenal Amerika yang juga anggota komisi ‘Bahaya Aktual' dalam laporannnya bertajuk Iran-Amerika, Metode Baru memaparkan: "Iran dari segi luas, penduduk, kualitas SDM, fasilitas militer, kekayaan SDA, dan posisi geopolitik yang strategis di kawasan Timur Tengah, telah berubah menjadi kekuatan tiada tara yang tak dapat lagi dikalahkan dengan kekuatan militer". Palmer menegaskan, Rezim Islam Iran hanya bisa ditundukkan lewat perang lunak dan pemberian dukungan terhadap kekuatan sipil oposan.
Meskipun AS memiliki daya unggul dalam perang lunak melawan negara lain, namun di sisi lain, level kesadaran bangsa-bangsa lain dunia pun semakin meningkat. Karenanya, Washington pada akhirnya kian hari menjadi semakin terkucilkan di antara negara-negara independen. Sementara itu, kegagalan proses panjang perang saraf Amerika melawan Iran, merupakan petanda bahwa sebuah pemerintahan yang berakar pada rakyat, tidak akan mudah ditundukkan ataupun ditumbangkan hanya dengan propaganda dan penipuan masal. Sebagaimana yang banyak diakui oleh para politikus Barat termasuk AS sendiri, bahwa ketangguhan Republik Islam Iran yang didukung oleh kekuatan rakyat merupakan sebuah realitas yang tak dapat dipungkiri.
(IRIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar