"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Sabtu, 10 November 2012

Refleksi Hari Pahlawan: Sadar dan Berjuanglah!


Hari Pahlawan 10 November, sebenarnya untuk apa kita peringati? Pertanyaan ini penting sekali untuk saat sekarang. Akan tetapi sebelum menjawab pertanyaan kesatu, persoalan berikutnya adalah masihkah Hari Pahlawan kita peringati sebagai bentuk refleksi atas perjuangan rakyat Indonesia dari cengkeraman penjajahan?


Yang terakhir ini erat sekali hubungannya dengan pertanyaan pertama. Kalender pemerintah selalu mewarnai angka 10 di bulan sebelas dengan warna merah, simbol "libur" memperingati Hari Pahlawan. Bagaimana bentuk peringatannya, paling banter dilakukan upacara penaikan bendera di beberapa instansi. Selebihnya? Holiday, meskipun bukan generalisasi. Inikah yang dibutuhkan warga negara kita yang larut dan dilarutkan dalam dunia kemelaratan di tengah mekarnya sumber kekayaan alam?


Cinta Sejarah 


Satu hal pasti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita dalam tiga dekade terakhir adalah ketidakcintaan pada sejarah. Sejak 1965, identitas bangsa Indonesia berubah total (John Roosa). Bangsa ini dibungkus akan pentingnya sejarah sebagaimana dipropagandakan sang proklamator Soekarno supaya jangan sekali-kali melupakan sejarah atau yang kita kenal jasmerah. Dari situ dengan gamblang dapat kita ketahui bahwa alam sadar bangsa ini dipaksa selama 32 tahun lebih untuk tidak menyukai sejarah. Karena sejarah diibaratkan dengan cermin, maka tampak apa adanya tanpa pengurangan dan penambahan. Dengan demikian, penguasa Orde Baru tak kuasa menahan malu dan tamparan seandainya sejarah tak retak atau bahkan dimanipulasi.

Bayangkanlah pelajaran sejarah sejak SD hingga Perguruan Tinggi dimodifikasi seteratur mungkin sehingga bersifat subjektif dan bertujuan agar cinta belajar sejarah dapat diredam. Kuasa pesan Soekarno dalam jasmerah sebenarnya adalah inti pemahaman pada pahlawan bagi generasi penerus bangsa. Pesan yang sangat mulia sebenarnya sehingga diharapkan dari situ negara ini berdiri gagah lebih dari yang sudah dirintisnya. Semakin cinta sejarah, bara api dalam pikiran untuk belajar akan semakin dinyalakan karena pengetahuan bagi generasi berikutnya tak lain adalah mempertaruhkan martabat bangsa. Kelanjutan kebangsaan dengan catatan tetap berada di bawah kuasa rakyat adalah impian pendiri bangsa yang sayang sampai hari ini berhasil digagalkan oleh penguasa nirdidikan sejarah.

Jadi arti penting akan cinta sejarah bagi warga bangsa sampai detik ini tidak urgen. Sejarah dianggap bukanlah bidang ilmu yang mampu membangkitkan selera ekonomi. Alasan materi seperti inilah yang malah terbangun dalam benak warga bangsa. Terbangun sejak 1965 tentu bukan hanya ingat, namun juga terpaku dalam pada alam bawah sadar. Hal ini membawa kita pada ajal sejarah dan terbukti negara ini belum pernah lagi memiliki pemimpin yang menderita karena mempertahankan sejarah perjuangan. Indonesia saat ini tengah dilalap ‘api’ kekuasaan semata yang di dalamnya penuh penghisapan dan atau ‘ruh’ kematian yang dihembuskan bagi rakyat penunggu ‘hujan turun dari langit di musim kemarau’.

Itu sebabnya hari bersejarah seperti Hari Pahlawan tak ada bedanya dengan hari libur biasa umpamanya Ahad atau Minggu. Sebaliknya seolah diuntungkan dengan hari merah agar libur banyak. Bangsa ini sekarang sangat mencintai kemalasan, misalnya banyak libur tak bekerja, bisa jalan-jalan, shoping, tamasya dan selanjutnya. Prinsip berpikir seperti inilah yang banyak menjiwai matinya kreatifitas generasi penerus sehingga sulit membayangkan masa depan negara ini berada dalam jajaran negara maju. Bagaimana tidak, disiplin yang berkurang, namun di saat bersamaan semakin pekat niat korupsi seolah juga menjadi tren baru.

Hidup berbangsa dan bernegara dianggap sebagai angin lalu, santai, tak perlu berpikir banyak, capek, dan sebagainya. Karakter demikian tentulah yang menghiasi pola pikir kita sehingga kedewasaan berbangsa tadi tak pernah terbangun lagi.

Peninaboboan
 

Amnesia sejarah sangat merugikan bagi sebuah bangsa yang dipenuhi dengan catatan perjalanan yang tak sembarangan. Artinya, Republik Indonesia ada bukan tercipta dengan sendirinya dengan cara goyang lutut. Para pahlawan telah mengorbankan dirinya bagi kita sehingga sampai dengan negara yang berdiri sendiri tercipta. Bukan pula dengan cerita pendek dan tak masuk akal seperti di sinetron-sinetron, bangsa ini beroleh kemerdekaan. Sungguh derita tak tertanggungkan telah dipikul. Mulai dari monopoli dagang VOC abad 17 sampai abad 18; Cultuur Stelsel telah dirasakan pada 1830 yang semuanya membawa kesejahteraan bagi kolonial Belanda, perampasan kekuasaan, perampasan tanah, perbudakan, pergundikan hingga Tanam Paksa yang dilakukan penjajah Jepang turut menambah daftar panjangnya perjuangan anak bangsa untuk menegakkan kepala dan mengusir siapa saja yang merampas hak hidup di atas tanahnya sendiri. Dan akhirnya di depan pintu gerbang kemerdekaan, agresi militer Belanda masih mencoba menaklukkan ‘mangsanya’ sebelum akhirnya kelelahan dan menyerah.

Semua perjuangan itu adalah bukti bahwa Indonesia dibangun dari pedihnya kesakitan yang ditimpakan. Pemiskinan dijadikan faktor penentu takluknya anak bangsa. Dengan keadaan miskin dianggap tak berdaya melawan, dan memang terbukti selama satu abad lebih. Kini kita juga dapat mempelajari sejarah dari perjuangan memperebutkan bendera merah putih. Hanya selang dua dekade yang penuh gejolak membangun fondasi kebangsaan, ancaman rongrongan datang bagai badai topan menerpa. Dialah roda yang menggelindingkan Orde Baru ditampuk kekuasaannya selama 32 tahun. Rongrongan dari dalam negeri sendiri, sebuah ajal sementara bagi sejarah Indonesia untuk diabsteinkan berbicara soal masa depan bangsanya yang direnggut lewat perjuangan tanpa henti. Kita pun dibuat tak berdaya. Lumpuh selumpuh-lumpuhnya.

Karena itu di peringatan Hari Pahlawan kali ini, mari sadarkan diri dengan belajar sejarah untuk membangun bangsa. Polemik sana-sini tercipta bahkan menjadi karut-marut tak lepas dari penyakit yang kita idap: amnesia sejarah. Sesungguhnya para pahlawan terdahulu telah menunggu kabar terbaru di Indonesia kapan akan menjadi bangsa yang benar-benar merdeka. Jika kita perhatikan secara saksama, Indonesia dengan beragam budaya sebenarnya punya satu ciri khas, yaitu solidaritas. Sayang teramat sayang, ciri khas tersebut hilang entah di mana. Kekuatan kita yang bersumber dari budaya solidaritas tak tampak lagi. Sialnya pelajaran dari para pahlawan saja tidak mau kita tarik sebagai bahan refleksi dalam mempertimbangkan Indonesia mampu melakukan perubahan untuk rakyatnya yang melarat.

Oleh sebab itu, Hari Pahlawan kita jadikan sebagai awal penggerak kreatifitas perjuangan dalam membawa republik ini pada kemakmuran bersama. Pertama kita harus berjuang seperti para pahlawan terdahulu untuk mengusir para penguasa yang tidak berpihak pada rakyat. Nasib bangsa ini harus dipertaruhkan kembali seperti waktu mengusir kolonial. Gerakan yang dibangun patutnya bersumber dari pengalaman agar tidak mengulanginya lagi sebab Indonesia bukanlah milik golongan atau kelompok sebagaimana sekarang ini sebanyak 1 persen penduduk menguasai kekayaan alam sebanyak 41 persen. Bukankah sama halnya dengan kolonial zaman penjajahan? Pada dasarnya sama saja, yaitu eksploitasi dan penguasaan secara sepihak.

Sekaranglah waktunya melakukan perubahan. Para penguasa sudah saatnya diakhiri kekuasaannya yang tidak mempedulikan nasib orang miskin. Negara ini ada bukan untuk dirampok dan dijadikan ‘bola mainan’ di atas penanggungan rakyat terhadap beban bangsa. Lihat misalnya utang luar negeri kita mencapai 2000 trilyun rupiah. Nah, jika dikalkulasikan adanya angka utang tersebut sungguh tak masuk akal. Kita justru berutang ribuan trilyun, padahal kekayaan alam mahaluas. Bukankah para pahlawan terdahulu melakukan perjuangan agar bangsa ini bebas menikmati hasil kekayaan alamnya?

Untuk itulah, sekaligus memperingati Hari Pahlawan mari kita siapkan alam sadar berisi kesadaran sejarah yang memaklumatkan masa depan cemerlang. Melatih mental dan akal bahwa kita siap melanjutkan perjuangan para pahlawan hingga titik darah penghabisan karena ia adalah sebuah keharusan bagi kedaulatan bangsa sendiri. Jadi, hari bersejarah sejatinya memampukan kita berpikir lebih logis bahwa negara dan kita sebagai warganya siap memotori perubahan agar RI nyata telah merdeka.Tanpa itu, sia-sia sajalah Hari Pahlawan diperingati.


*Jakob Siringoringo
(analisadaily)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar