Sejak awal kemenangan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979, hubungan pemerintah Iran dan AS selalu diwarnai friksi tajam dan permusuhan. Hal itu terjadi akibat politik imperialisme dan ekspansionisme AS terhadap bangsa Iran. Karena itulah, rakyat Iran selalu mengungkapkan penentangannya terhadap tindakan arogan Washington. Peristiwa 4 November yang dikenal sebagai Hari Nasional Perlawanan terhadap Imperialisme merupakan simbol perlawanan rakyat Iran terhadap kebiadaban dan imperialisme AS.
Penamaan tanggal 4 November sebagai Hari Nasional
Perlawanan terhadap Imperialisme berakar dari peristiwa yang terjadi pada
tanggal yang sama 44 tahun lalu saat Imam Khomeini, pendiri Republik Islam
Iran, diasingkan ke Turki lantaran menentang kebijakan AS dan rezim Syah Iran
di masa itu. 14 tahun kemudian pada tanggal yang sama pula, di tengah kecamuk
Revolusi Islam, para mahasiswa dan pelajar Iran, khususnya di Tehran menggelar
aksi demo menentang pemerintahan despotik Syah Pahlevi dan AS. Namun aksi demo
itu diberangus lewat tindakan represif oleh rezim Syah sehingga banyak di
antara para demonstran yang gugur syahid. Setahun setelah itu, pada tanggal
yang sama sekelompok mahasiswa revolusioner menduduki gedung kedutaan besar AS
di Tehran yang saat itu menjadi sarang mata-mata. Mereka juga menawan sejumlah
diplomat dan intelijen AS.
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran
Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei dalam analisanya mengenai peristiwa 4
November menyebut peristiwa tersebut sebagai hari keteguhan bangsa Iran menentang
konspirasi kekuatan imperialis. Dalam pidatonya di hadapan ribuan pelajar Iran baru-baru ini, Ayatollah Ali Khamenei
menegaskan, "Permasalahan bangsa Iran dengan AS, bukan hanya terkait
dengan persoalan sekarang. Tapi menyangkut tindakan jahat rezim AS terhadap
bangsa Iran
sejak lebih dari 50 tahun lalu".
Dalam
pidatonya itu, Pemimpin Besar Revolusi juga memaparkan beragam konspirasi yang
dilakukan oleh AS baik di masa sebelum maupun sesudah Revolusi Islam terhadap
bangsa Iran.
Dia juga mengingatkan tentang tindakan yang pernah dilakukan oleh AS di masa
rezim Syah dan bagaimana kekuasaan yang dimiliki oleh Washington
dalam mengendalikan seluruh pusat-pusat penting pengambil kebijakan di Iran pada masa itu serta menjarah kekayaan
bangsa Iran.
Namun demikian di mata Pemimpin Besar Revolusi, pengingkaran terhadap identitas
nasional bangsa-bangsa lainnya merupakan langkah penjajahan AS yang paling
merusak. Dia menuturkan, "Ketika penjajah masuk ke suatu negara, apa yang
menjadi target adalah identitas nasional. Dengan kata lain, penjajah merebut
dan menguasai budaya, keyakinan, agama, tekad, kemerdekaan, pemerintahan,
ekonomi dan apapun yang dimiliki oleh negara tersebut. Sebagaimana yang terjadi
di Iran
sebelum revolusi."
Di mata AS,
kejahatan terbesar bangsa Iran adalah menentang kebijakan imperialisme
Washington dan memutus hegemoni AS terhadap Iran. Apalagi di masa itu, Iran
terbilang sebagai pangkalan utama AS di Timur Tengah. Namun kini, Iran justru berubah
menjadi penentang utama AS dan negara yang tangguh dan berpengaruh di kalangan
dunia Islam. Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei menyatakan, "Revolusi
Islam muncul di Iran
yang slogan utamanya adalah menentang kezaliman, imperialisme, membela hak-hak
bangsa lain. Revolusi Islam inilah yang berhasil mengeluarkan titik utama yaitu
Iran
dari cengkeraman kekuasaan AS."
Oleh karena itu, Revolusi Islam tidak hanya
berhasil mengusir AS dari Iran
tapi juga mengajari bangsa-bangsa lainnya untuk menentang penjajahan AS.
Menyangkut hal ini, Ayatollah Ali Khamenei, "Keistimewaan bangsa muslim Iran adalah
semangat dalam menentang kejahatan, samangat kemuliaan dan kebesaran nasionalis
dan semangat untuk melawan kekuatan yang ingin mengingkari keberadaannya. Bangsa
Iran
telah melakukan pekerjaan yang besar dan mati-matian. Karena itulah, kekuatan
adiddaya dunia begitu jahat terhadap bangsa Iran".
Tentu saja, penentangan rakyat Iran terhadap AS berakar dari keyakinan agama
rakyat Iran.
Islam tidak hanya mengecam kezaliman tapi juga mengecam mereka yang menerima
kezaliman pihak lain. Rahbar atau pemimpin besar Revolusi Islam menuturkan,
"Perlawanan bangsa kita menentang penjajahan, juga memiliki akar
keagamaan. Istilah penindas dan pencari kekuasaan dihadapan mereka yang menggap
dirinya lemah dan orang-orang lemah juga terdapat di Iran. Ketika bangsa kita dengan
semangat semacam itu bangkit menentang AS dan pemerintahan korup yang
bergantung pada AS, mereka ditopang oleh landasan besar akidah dan iman
keagamaan. Dan hal itulah yang membuat mereka berhasil dan meraih
kemajuan."
Atas dasar itu, Ayatollah Ali Khamenei menyebut
permusuhan bangsa Iran
dengan AS bukan semata-mata karena alasan politik tapi lebih mendasar lagi. Dia
memaparkan, "Masalah kita dengan AS bukan hanya menyangkut satu-dua
masalah internasional atau regional yang bisa diselesaikan lewat perundingan.
Masalah kita seperti hidup dan mati. Masalahnya adalah ada dan tiada."
Lebih lanjut dia menjelaskan, "AS menginginkan pemerintahan Republik Islam
Iran
mengangkat kedua tangganya sebagai tanda menyerah dan mengakui rasa letihnya,
menyesali apa yang telah dilakukannya serta bergabung dengan kumpulan
antek-antek dan pengikut rezim zalim. Apa yang diinginkan AS dari bangsa Iran adalah
agar mereka menerima ketergantungnnya terhadap AS, melepas kemerdekaanya, dan
kembali menyerah kepada AS".
Meski selama tiga dekade belakangan, Republik Islam
Iran senantiasa menjadi sasaran konspirasi dan tekanan politik dan ekonomi,
bahkan militer, namun rakyat Iran tetap bertekad menentang arogansi AS dan
menjadi contoh perjuangan bangsa-bangsa lainnya. Kini bangsa-bangsa lain dunia
Islam, seperti bangsa Palestina, Lebanon, dan Irak menjadikan bangsa Iran sebagai
teladan perjuangan mereka dalam menentang kezaliman.
Menyinggung mengenai akhir dari prospek hubungan
Iran dan AS, Ayatollah Khamenei menyatakan, "Seluruh perangkat propaganda
Barat, khususnya AS, perangkat seni mereka, perangkat yang kononnya adalah
lembaga riset, politik, dan ilmiah berusaha mengesankan bahwa bangsa Iran akan
menemui jalan buntu di akhir jalannya. Sementara AS akan terus melanjutkan
langkahnya". Namun demikian, pemimpin besar Revolusi menilai hal itu hanya
proganda palsu dan tidak memiliki landasan ilmiah yang kuat. Lebih lanjut dia
menegaskan, "Akhir hubungan Iran dan AS adalah jalan buntu bagi
rezim Zalim dan imperialis AS. Alasan jelasnya adalah, jika memang mereka mampu
menundukkan bangsa Iran maka seharusnya mereka bisa melakukannya di saat bangsa
Iran tidak memiliki kekuatan besar, para generasi muda, dan di saat bangsa Iran
belum meraih kemajuan dan pengalaman, dan tidak mampu memetik kemenangan dalam
perang besar seperti di era "pertahanan suci". Dengan kata lain, Iran saat ini
telah mencapai pada level kekuatan politik dan militer yang sulit untuk
dipatahkan oleh musuh-musuhnya.
Alasan lain kegagalan AS dalam menghadapi bangsa Iran adalah
kian lemahnya kekuatan dan reputasi AS di mata dunia. Rahbar menyatakan, "Kini, AS
sudah tidak punya harga diri lagi. Kini, bukan hanya bangsa-bangsa muslim, tapi
juga ada banyak bangsa-bangsa Barat yang telah berpaling dari AS. Sebagian
besar masyarakat dan para ilmuan di AS sendiri menentang rezim penguasa
negaranya". Lebih jauh dia menambahkan, "Kita bukan bangsa yang suka
berbuat zalim. Tapi kita adalah bangsa yang cinta untuk mempertahankan
identitas, kemerdekaan, dan kemuliaan diri. Siapapun yang ingin menginjak-injak
kehormatan bangsa Iran dan
menghina atau menguasai bangsa ini, maka bangsa Iran dengan rasa nasionalisme dan
imannya akan menumpasnya".
(Indonesian.irib.ir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar