"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Senin, 08 Oktober 2012

Perang KPK-Polri: Titik Balik Pemberantasan Korupsi


Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilanda suasana mencekam pada Jumat (5/10/2012) malam hingga Sabtu dini hari. Puluhan polisi berpakaian preman terlihat berlalu-lalang di markas pemburu koruptor itu. Dua mobil pun terparkir tepat di gedung KPK. Beberapa pria berpakaian polisi juga berdiri di sudut-sudut sekitar kantor KPK.


Mereka 'menyerbu' KPK setelah Djoko Susilo, seorang Jenderal Polisi mantan pimpinan Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, diperiksa terkait kasus Simulator Surat Izin Mengemudi (SIM). Para anggota Polda Bengkulu itu hendak menjemput paksa penyidik Kepolisian RI yang memilih bertahan di KPK.

Di antara para penyidik itu, ada nama Novel Baswedan yang tengah diincar oleh para perwira Polri.
Mantan Kasatserse di Polda Bengkulu itu dituding punya kesalahan masa lalu, sehingga harus dicokok untuk mempertanggung jawabkan perpuatannya. Ia dituduh melakukan penganiayaan yang menyebabkan kematian warga di Bengkulu.

Anehnya, kejadian tersebut berlangsung pada 2004. "Mereka cari-cari kesalahan masa lalu Kompol Novel, penyidik utama kasus Korlantas. Ini kriminalisasi penyidik KPK," tutur Bambang Wijanarko, wakil ketua KPK dalam jumpa pers di gedung KPK pada Sabtu (6/10/2012).

Novel adalah penyidik utama dan sentral dalam kasus simulator SIM. Ia dianggap sebagai panglimanya para penyidik KPK. Dalam keributan di KPK Jumat malam, Novel menjadi target utama penjemputan paksa oleh petugas polisi.

Jika presiden RI tidak mau turun tangan, maka rakyatlah yang bergerak dalam aksi melawan 'para korupor'. Selamatkan KPK!

Kejanggalan Kasus Kompol Novel

Presiden harus segera turun tangan untuk menyelamatkan institusi Kepolisian dari tindakan pimpinan Polri terkait permasalahannya dengan KPK. Karena polemik Polri dengan KPK akan yang menggerus kepercayaan publik (public trust).

"Presiden wajib bertindak dan tidak menunda-nunda untuk bertindak. Hal ini karena setiap detik gerusan kepercayaan publik terus menurun tanpa dapat dibendung," ujar Guru Besar Fakultas Hukum UI, Prof Hikmahanto Juwana dalam keterangan pers yang diterima detikcom, Ahad (7/10).

Menurutnya, pasca keinginan Polda Bengkulu untuk membawa penyidik KPK Kompol Novel Baswedan, pers sangat aktif mencari informasi terkait sangkaan atas Novel. Pers seolah ingin membuktikan kebenaran informasi yang disampaikan oleh Polda Bengkulu.

Namun hingga kini, lanjut Hikmahanto, Polda Bengkulu belum menyampaikan siapa pelapor Novel yang menjadi alasan untuk mereka bergerak. Di saat bersamaan pers sudah melakukan investigasi lapangan atas keluarga korban di Bengkulu. Sejauh ini belum ada yang mengaku sebagai pelapor.

"Polda Bengkulu telah menyampaikan kepada publik foto di mana peluru yang mengenai korban, namun tidak ada foto yang memperlihatkan Kompol Novel Baswedan melakukan penembakan. Bahkan menghadirkan saksi terkait hal tersebut. Foto atas korban yang terkena peluru yang disampaikan oleh Polda tidak menjawab dan menjadi bukti bahwa Kompol Novel yang melakukan penembakan," katanya.

Menurut Hikmahanto, tindakan sama dilakukan oleh Polri ketika mengargumentasikan Bibit Samad Rianto mantan Komisioner KPK menerima suap dari Ari Muladi. Dengan petunjuk adanya mobil KPK yang terekam dalam CCTV masuk ke Mal Bellagio seolah Bibit berada dalam mobil tersebut dan menerima uang suap.

"Saat ini Polri belum menjawab secara tuntas sejumlah pertanyaan masyarakat. Semisal mengapa waktu proses hukum atas Kompol Novel baru dilakukan sekarang, 8 tahun setelah kejadian, dan bertepatan dengan proses hukum Jenderal DS? Mengapa Polri merekomendasikan Kompol Novel ke KPK bila tahu ia terlibat dalam tindak kriminal? Bahkan mengapa Kompol Novel bisa naik pangkat beberapa kali?" cetusnya.

Semua pertanyaan ini, lanjut dia, belum terjawab dengan baik oleh pihak-pihak yang berwenang di Polri. Bahkan sejumlah jawaban justru menimbulkan pertanyaan baru dengan sejumlah kecurigaan. Sehingga kecurigaan publikpun semakin menggunung. Akibatnya kepercayaan publik terhadap institusi Polri terdampak secara negatif.

Hikmahanto mencontohkan, dalam kasus Cicak Vs Buaya, Presiden akhirnya turun tangan ketika kepercayaan publik terhadap Polri menurun. Presiden membentuk Tim 8 untuk melakukan verifikasi atas berbagai kecurigaan terhadap Polri saat itu.

Campur tangan Presiden saat itu, menurutnya, bukan dalam rangka hendak mengintervensi apa yang sedang terjadi, melainkan upaya untuk menyelamatkan institusi kepolisian dari kebijakan pimpinan Polri yang terus menggerus kepercayaan publik.

"Oleh karenanya saat ini kalaupun ada campur tangan Presiden maka campur tangan tersebut dalam rangka menyelematkan institusi Kepolisian. Jangan sampai Presiden tidak dapat mengendalikan situasi dan harus membentuk tim verifikasi kembali seperti kasus Cicak Buaya. Kearifan Presiden saat ini benar-benar dibutuhkan," tutur Hikmahanto.

CiCaK Tuntut SBY Copot Kapolri

Elemen masyarakat yang menamakan diri Cinta Indonesia Cinta KPK alias CiCaK menagih komitmen Presiden SBY dalam upaya pemberantasan korupsi. Mereka menuntut SBY menunjukkan sikap dan kepemimpinannya dengan memerintahkan Polri untuk tidak melakukan pembangkangan hukum dengan menyerahkan penanganan kasus simulator kepada KPK.

Dalam pernyataan tertulis CiCaK yang dimotori Usman Hamid, CiCaK juga meminta SBY memerintahkan Polri untuk menghentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap penyidik KPK beserta keluarganya. "Ketiga, mencopot Kapolri Timur Pradopo beserta jajarannya karena melakukan pembangkangan hukum dan keempat menindak tegas pelaku kriminalisasi pada penyidik KPK," tulis CiCaK.

CiCaK menulis, pada 2012 ini, kerja KPK melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia menemukan salah satu ujian terberatnya. Sejarah mencatat bahwa serangan balik koruptor ke KPK mulai berlangsung sejak 2009 melalui kriminalisasi pimpinan KPK Bibit S. Rianto dan Chandra M.Hamzah, hingga kemudian revisi UU KPK yang isinya serba menumpulkan wewenang KPK. Namun, kasus simulator Korlantas Polri yang diusut KPK ternyata membuat Polri sebagai sesama aparat penegak hukum melakukan langkah-langkah yang merugikan bagi pemberantasan korupsi sendiri.

"Meski tak pernah diakui oleh Polri, penarikan 20 orang penyidik Polri di KPK menimbulkan pertanyaan; mengapa penarikan tersebut saat KPK sedang mengusut kasus besar di kepolisian? Puncaknya adalah Jumat malam, aparat Polri menyambangi KPK dan bermaksud menahan penyidik KPK Novel Baswedan dengan tujuan kriminalisasi, seolah mengulangi kasus Cicak-Buaya 2009," ungkapnya.

CiCaK berpendapat, namun dari semua hal ini sebetulnya yang menimbulkan kemarahan masyarakat, selain kepongahan Polri bila mencermati pernyataan-pernyataan pejabatnya, adalah keberadaan Presiden SBY selama gonjang-ganjing kasus ini. Masyarakat membutuhkan kepemimpinan dan ketegasan dari Presiden akan dibawa kemana pemberantasan korupsi di Indonesia. "Sikap Presiden SBY dalam kasus simulator yang membatasi kewenangannya sendiri seolah memberi kesan dirinya memberi restu atas pembangkangan hukum yang dilakukan Polri," kritik CiCaK.

"Tuntutan kami adalah kehendak warga biasa yang menuntut komitmen penyelenggaraan negara yang bersih. Indonesia ini negara hukum dan komitmen ini harus dipegang seutuh-utuhnya secara jujur oleh seluruh warganya, terutama oleh aparat penegak hukum," dorong CiCaK.

(IRIB Indonesia/Gatra/Detik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar