Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan berkunjung ke Iran, menghadiri sebuah undangan dari Syekh Jawad Syahrostani, pimpinan Muassah Alul Bait. Kunjungan saya ke Qum, Iran, sesungguhnya diawali oleh kunjungan salah seorang ulama Iran bernama Ayatullah al Hadi ar Rodhi ke UIN Malang.
Ketika Ayatullah Al Hadi Ar Rodhi,
berkunjung ke Indonesia,
mendapat nformasi bahwa di Malang
terdapat lembaga pendidikan tinggi Islam milik pemerintah ---dalam hal ini Departemen
Agama, yang memadukan antara tradisi universitas dengan pesantren. Informasi
itu dirasa menarik olehnya, dan karena itu ia menyempatkan datang melihat dari
dekat.
Pimpinan Islam Iran ini ternyata sangat tertarik
dengan model pendidikan yang
dikembangkan oleh UIN Malang, yang memadukan antara tradisi universitas dan
tradisi Ma’had atau pesantren, dan sekaligus juga memadukan antara ilmu-ilmu
agama dengan ilmu-ilmu umum, Islam dan sains. Mereka kemudian menawari saya
untuk datang ke Qum
Iran,
yang kemudian saya diperkenalkan olehnya dengan berbagai pusat pendidikan dan
ilmu pengetahuan Islam di Iran. Memang menarik sekali tradisi yang dikembangkan
oleh para ulama
Qum dalam pengembangan ilmu.
Orang yang telah diakui sebagai ulama pekerjaan sehari-hari tidak ada lain
kecuali mengembangkan ilmu pengetahuan, melalui riset dan menulis buku. Oleh
karena itu tidak heran jika pada setiap tahunnya berbagai buku baru berhasil
diterbitkan dari
kota Qum
ini. Seorang ulama bisa berkonsentrasi pada pengembangan ilmu oleh karena,
sehari-hari mereka sudah tidak memikirkan lagi persoalan ekonomi. Kebutuhan
ekonomi bagi para ulama sudah dicukupi dari dana khumus, yakni hasil pembayaran
dari seperlima pengahasilan bersih yang dihitung pada setiap akhir tahun.
Para ulama juga tidak terlibat dengan persoalan politik,
apalagi menjadi pendukung salah seorang pemimpin negara. Jika mereka tertarik
pada aktifitas politik, maka indentitas keulamaaannya harus ditinggalkan. Ulama
harus berpihak dan menjadi pengayom seluruh masyarakat.
Dalam kunjungan itu, hal lain yang menarik perhatian saya adalah menyangkut
pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah Ayatullah Khumaini tatkala
memulai pemerintahannya, setelah menjatuhkan penguasa sebelumnya, yang
dipandang sangat korup. Dari hasil perbincangan itu, saya menyimpulkan bahwa
keberhasilan Ayatullah Khumaini dalam memberantas korupsi pada garis besarnya
ditempuh melalui dua pendekatan. Pertama, melalui keteladanan yang sempurna.
Khumaini sebagai seorang pemimpin negara mungkin tepat disebut sebagai seorang
sufi yang behasil mengendalikan diri terhadap nafsu mencintai harta. Saya
benar-benar kaget tatkala diajak mengunjungi rumah pribadi bekas pemimpin
revolusi
Iran
ini. Rumah itu sangat sederhana, yang tepat dikatakan tidak layak dimiliki oleh
seorang pemimpin utama negara. Rumah itupun, menurut informasi bukan
dibangunnya sendiri, melainkan diperoleh dari warisan orang tuanya. Pernah
suatu saat, menurut informasi, Ayatullah kedatangan pengusaha besar, bermaksud
membuatkan istina yang layak ditempati seorang kepala negara. Tawaran itu
ternyata ditolak oleh Khumaini, dan jika pengusaha itu benar-benar berniat
membantu perjuangannya, diperintahkan untuk membangun rumah para penduduk
miskin yang belum memilikinya. Ayatullah Khumaini bertekat tidak mau memiliki
rumah sendiri selama masih warga
Iran yang masih belum punya rumah.
Itulah yang saya sebut sebagai ketauladanan sempurna.
Pendekatan kedua, melalui tindakan tegas. Bahwa di Iran sebagai negara Islam
melaksanakan hukum atas dasar al Qur’an dan hadits. Hukum ditegakkan tanpa
menge nal asal usul pelakunya, artinya diakukan secara adil. Siapa saja yang
benar-benar korup, merugikan negara tidak ada kata ampun, mereka dihukum dengan
hukuman berat. Yang saya tertarik lagi adalah cara mengimplementasikan hukum
Islam itu bagi pelaku tingkat kecil. Sebagai pencuri menurut hukum Islam yang
dipahami selama ini harus dihukum berupa potong tangan. Jenis hukuman ini
terasa sedemikian keras dan mengerikan. Tetapi ternyata dalam pelaksanaannya dilakukan
secara bertahap sehingga terkesan sangat manusiawi. Seseorang yang kedapatan
mencuri, maka untuk pertama kali akan diberi hukuman kurungan dalam waktu
tertentu. Jika hukuman telah dijalani dan ternyata masih melakukan penyimpangan
lagi, maka hukumannya masih berbentuk sama, dikurung kembali akan tetapi
bebannya lebih berat dari hukuman pertama. Selanjutnya, jika selesai menjalani
hukuman masih kedapatan mencuri lagi maka hukumannya lebih berat, yakni
dipotong jari-jarinya. Dan, akhirnya, jika sudah dipotong jari-jarinya masih
kedapatan mencuri lagi maka ia harus dipotong tangannya.
Hukuman yang dilakukan secara bertahap, adil dan tegas itu menjadikan rakyat
Iran merasa
takut melakukan penyimpangan. Apalagi, jika seseorang sudah dikenai hukuman
pada stadium ke dua, yakni kurungan berat, maka kecil sekali mereka berani
melakukan pelanggaran selanjutnya. Mereka akan hitung-hitung akan betapa
peratnya hukuman yang harus dijalani jika dosa berikutnya dilakukan juga.
Pelaksanaan hukum seperti ini, ternyata hampir tidak ada orang yang menjalani
hukum potong tangan dan dampak lainnya penyakit mental berupa mengambil hak
orang lain seperti mencuri, merampok, menjarah, korup dan lain-lain dapat
ditekan menjadi sekecil-kecilnya. Penegakan hukum di
Iran seperti ini menjadikan negara
Islam ini, menurut informasi yang saya peroleh, ternyata tidak punya hutang
luar negeri dan berhasil menjadikan pemerintahan dan masyaakatnya bersih dari
tindak korupsi. Lewat tulisan ini, siapa tahu pengalaman ini dapat dijadikan
inspirasi untuk menyelesaikan persoalan persoalan KKN (Korupsi, Kolosi dan
Nepotsme) yang sudah menggelisahkan sekaligus memalukan bagi seluruh bangsa
ini. Wallohu a’lam.
Prof.DR.H.Imam Suprayogo
(Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang)
http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=400%3A26-08-2008&catid=25%3Aartikel-rektor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar