Pada dasarnya, sejak dahulu rakyat di negeri ini sadar dengan adanya kemajemukan bangsa. Namun kemajemukan itu tidaklah dijadikan dalih untuk saling menyudutkan, justru dijadikan sebagai kekuatan pemersatu menuju terbentuknya republik. Kelompok nasionalis berlatar belakang sekuler, kalangan agamis (Islam), dan kelompok komunis melakukan konsolidasi di bawah payung ideologis bernama keindonesiaan.
Perlulah kiranya selalu kita ingat bersama-sama bahwa Sumpah
Pemuda, yang dilahirkan sebagai hasil Kongres Pemuda II yang diselenggarakan
tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta adalah manifestasi yang gemilang dari
hasrat kuat kalangan muda Indonesia, yang terdiri dari berbagai suku dan agama,
untuk menggalang persatuan bangsa dalam perjuangan melawan kolonialisme
Belanda. Atas prakarsa Perhimpunan Pelajar-pelajar
Indonesia (PPPI) inilah
kongres pemuda itu telah melahirkan Sumpah Pemuda yang berisi: Satu Nusa, Satu
Bangsa, Satu Bahasa yaitu Indonesia.
Republik Indonesia
lahir 17 tahun kemudian, yang dijiwai semangat kebersamaan, persatuan, dan
toleransi yang tinggi terhadap perbedaan. Semua pihak turut ambil andil dalam
lahirnya republik. Meskipun ummat Islam mayoritas namun tak bisa dinafikan bahwa
ada umat Khonghucu (Yap Tjwan Bing) yang menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Perlu
dicatat pula bahwa sewaktu teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dibacakan,
tempatnya di rumah seorang Tionghoa Khonghucu bernama Sie Kong Liong, di Jalan
Kramat Raya 106 Jakarta (yang sekarang dijadikan Museum Sumpah Pemuda). Ataupun
kendaraan Kepresidenan pertama adalah mobil sumbangan seorang Tionghoa sebagai
bentuk kecintaannya kepada republik yang baru terbentuk. Ini perlu dinukilkan
karena masih saja ada anggapan, suku Tionghoa tidak memberi andil apa-apa dalam
terbentuknya Republik Indonesia.
Toleransi kebangsaan lagi-lagi dipertontonkan para founding father negeri ini,
dalam usaha mempertahankan kemerdekaan. 10 November 1945 dalam kalender sejarah
bangsa kita dicatat sebagai hari lahirnya pahlawan-pahlawan bangsa, yang rela
mati demi tegaknya sebuah negeri bernama Indonesia . Tanpa mempersoalkan
suku, agama dan ras rakyat Indonesia
saling membahu dalam menghadapi musuh bersama. Tentara sekutu sesumbar dapat
menguasai Surabaya
dalam 3 hari, namun pertempuran memakan waktu berminggu-minggu, meskipun
tentara sekutu mengerahkan kekuatan penuh, namun tidak mudah menundukkan
semangat rakyat yang merajut kebersamaan dalam berbagai perbedaan. Tentara
sekutu tersentak dan akhirnya paham, Indonesia yang baru berusia 3
bulan, bukan bangsa kecil. Persatuan dan semangat toleran adalah kekuataan yang
maha dahsyat, yang tidak tertundukkan. Karenanya tak bisa dipungkiri, rangkaian
perjalanan sejarah bangsa Indonesia
telah terbukti begitu kokoh dalam pijakan kemajemukan bangsa, mulai dari suku,
agama, ras hingga budaya.
Toleransi Antar Umat Beragama
Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat beragama
di Indonesia
, baik yang Muslim, Kristiani maupun yang lainnya. Apabila satu pemeluk agama
tertentu suatu ketika membangun tempat ibadah, tidak jarang kemudian dibantu
oleh umat agama lain. Demikian halnya dalam pembangunan Mesjid Agung Istiqlal.
Mesjid yang merupakan mesjid terbesar di Asia Tenggara pada masanya, dalam
proses pembangunannya telah menyimpan satu sejarah toleransi beragama yang
sangat tinggi. Disebutkan demikian, karena sang arsitek dari mesjid tersebut
adalah seorang penganut Kristen Protestan yang taat. Friedrich Silaban yang
oleh Bung Karno menjulukinya sebagai “by the grace of God” karena kemenangannya
mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal. Kebesaran jiwa dari umat Islam
sangat jelas terlihat disini. Mereka mau menerima pemikiran atau desain tempat
ibadah mereka dari seorang yang non muslim.
Mesjid yang diniatkan untuk melambangkan kejayaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia .
Mesjid yang merupakan suatu bangunan monumental kebanggaan seluruh umat Islam
di Indonesia, di desain dan wakil kepala proyek pembangunannya dijabat oleh
seorang Kristiani. Dia menciptakan karya besar untuk saudaranya sebangsa yang
beragama Islam, tanpa mengorbankan keyakinannya pada agama yang dianutnya.
Ummat Islampun menunjukkan kebesaran jiwanya dan penghargaan kepada Friedrich
Silaban dengan menyebut kubah Mesjid Istiqlal sebagai “Si1aban Dom”, atau Kubah
Si1aban. Silaban dan kaum beragama di negeri ini mengukir sejarah, suatu
sejarah yang lebih tinggi dari karya sebuah hasil seni atau teknologi. Sejarah
kemanusiaan, kebersamaan, toleransi yang tidak akan terlupakan sampai kapanpun.
Karenanya, keanekaragaman yang selama ini ada menjadi tonggak "bineka
tunggal ika" yang kuat dalam menopang berdirinya bangsa Indonesia ,
mesti tetap dipertahankan. Pluralitas dan multikulturalitas bagi bangsa ini
merupakan suatu keniscayaan; sesuatu yang memang harus ada dan tak
terbantahkan. Pluralitas dan multikulturalitas yang kita miliki ini telah
menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan fisik manusia dan budaya Indonesia di
sepanjang perjalanan sejarahnya. Sungguh memilukan melihat nilai-nilai
pluralitas dan multikulturalitas yang telah tumbuh sejak awal terbentuknya
republik ini, di kekekinian seolah-seolah tidak pernah ada. Sementara di sisi
lain, eksklusivisme kelompok justru terlihat semakin menonjol. Maka
sesungguhnya tak ada satu pun pihak, tak satupun suku, tak satupun agama, yang
bisa mengakui keberadaannya tanpa andil pihak lain. Tak satupun. Tak bisa kita
pungkiri, kita adalah bagian dari orang lain; ada sebagian dari orang lain
dalam diri kita. Mengutip Emha Ainun Nadjib, “Kamu adalah aku yang lain".
Sikap dan penerimaan kultural seperti ini tidak akan memberi izin atau permisi
kepada siapa pun untuk arogan, menganggap dirinya lebih benar, dan merasa
berhak untuk menghakimi pihak lain. Dengan sikap seperti itu, kita pun dapat
terhindar dari pelbagai cedera sosial yang belakangan ini menimpa bangsa kita
melalui konflik-konflik horizontal maupun vertikal, intelektual maupun fisikal.
Persatuan bangsa adalah sebuah keniscayaan. Ini bukan sesuatu yang mustahil,
para pendahulu kita memiliki kisah-kisah romantis dalam merajut kebersamaan di
masa lalu. Perasaan senasib dan sebangsa, badan-badan perjuangan yang berbeda
ideologi membentuk front persatuan untuk menghadapi musuh bersama. Pada sisi
ini, kita, seluruh bangsa Indonesia perlu meneladani pola keberagamaan yang
telah ditunjukkan generasi-generasi awal bangsa ini. Kita dituntut untuk
mengembangkan keagamaan dalam konstruk pemahaman seperti itu sehingga dapat
memberikan tawaran segar dan mencerahkan bagi Indonesia hari ini dan masa
depan. Insya Allah, dengan semangat toleransi kita akan mendapatkan manfaat
yang jauh lebih besar dan agar kemanusiaan kita tidak jatuh tersungkur.
Mengutip Helen Keller, “Toleration is the greatest gift of the mind - Toleransi
adalah anugrah dari pikiran yang paling luar biasa." Mari bekerjasama.
Wallahu 'alam.
(http://abi-azzahra.blogspot.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar