Oleh Anies Baswedan
Makin hari kegalauan itu tumbuh makin
pesat. Tapi berhentilah mengatakan bangsa ini bobrok. Hentikan tudingan bahwa
bangsa ini tenggelam. Tidak, bangsa ini sedang bangkit dan akan makin tinggi
berdirinya.
Lihatlah rakyat di sana-sini, bangun
sebelum pagi, penuhi pasar rakyat, padati jalan dan kelas menyongsong
kehidupan. Dengan sinar lampu apa adanya, mereka coba sinari masa depan
sebisanya.
Petani, guru, nelayan, pedagang, atau tentara di tepian republik
jalani hidup berat penuh tanggung-jawab. Di tengah kepulan polusi pekat, rakyat
Kegalauan republik ini bukan bersumber
pada rakyat tapi pada pengurus negara yang seakan berjalan tanpa target.
Deretan agenda penting dan urgen jadi wacana tapi tidak kunjung jadi
realita.
Pengurus republik sukses membangun
kekesalan kolektif, tanam bibit pesimisme. Pimpinan kini menuai kekecewaan.
Harapan, kepercayaan, pengertian, toleransi, kesabaran dan permakluman rakyat
pada pemimpin dikuras terus. Apakah dikira stok permakluman itu tanpa
batas?
Dengan hormat saya sampaikan: stok itu
ada batasnya dan sudah menipis. Semua ingin lihat hasil. Tak mau lagi dengar
keluh kesah, tak hendak dengar kata prihatin keluar dari pemimpin. Republik ini
perlu pemimpin yang hadir untuk menggelorakan percaya-diri, bukan menularkan
keprihatinan. Pemimpin tak boleh kirim ratapan, pemimpin harus kirim
harapan.
*****
Hari ini Indonesia memasuki era demokrasi
etape ketiga. Kepresidenan periode kedua. Tidak pernah ada dalam sejarah
republik ini, seorang anak bangsa dipilih jadi pemimpin dng suara sebanyak saat
Presiden Yudhoyono di tahun 2009. Semua persyaratan utk melakukan dan
menuntaskan langkah-langkah besar ada disana. Tapi mana langkah besar itu:
infrastruktur ekonomi? Kepastian hukum? Integritas di sekolah? Tegas pada
pengemplang pajak? Pemangkasan benalu APBN? Konsistensi kebijakan? Reformasi
birokrasi? Jaminan kebhinekaan bangsa? Perlindungan warga bangsa?
Harapan yang tinggi untuk membereskan
agenda penting baru sebatas pidato dan wacana. Republik perlu realita.
Pemerintah memang punya capaian tapi jika ada keberanian untuk gelontorkan
terobosan-terobosan besar di sektor penting maka capaian itu akan melonjak.
Kekecewaan tumbuh bukan semata karena pemerintah tak membawa hasil tapi karena
terlalu banyak peluang terobosan dan perubahan yang disia-siakan. Sebutlah soal
energi atau infrastruktur sistem logistik (jalan, pelabuhan, bandara dll),
terobosan disini bisa membuat ekonomi melejit. Atau terobosan besar dalam
penegakan hukum. Perusak kebhinekaan didiamkan, pengemplang pajak tak dijerat.
Hukum tegak kokoh tanpa kompromi bagi rakyat kecil, tapi hukum loyo-lunglai di
depan rakyat besar. Ini semua dampak absennya keberanian menerobos. Semua serba
ala kadarnya. Amunisi politik yang dahsyat itu tak digunakan. Republik ini
butuh pemimpin yang mau turun ke lapangan, pemimpin kerja bukan pemimpin
upacara. Rakyat tidak perlu pengumuman hasil rapat, tapi ingin lihat implementasinya.
Lihat sejarah kita, gamblang sekali.
Republik ini didirikan oleh orang-orang yang berintegritas. Integritas itu
membuat mereka jadi pemberani dan tak gentar hadapi apapun. Bukan pencitraan
tapi integritas dan keseharian yang apa adanya membuat mereka mempesona. Mereka
jadi cerita teladan di seantero negeri. Kini republik membutuhkan pemimpin yang
berani tegakkan integritas, berani perangi “jual-beli” kebijakan dan jabatan.
Pemimpin yang mau bertindak tegas melihat APBN untuk rakyat “dijarah” oleh
mereka yang punya akses. Pemimpin yang bernyali menebas penyeleweng tanpa
pandang posisi atau partai, dan bukan pemimpin yang serba mendiamkan seakan
tidak pernah terjadi apa-apa.
Republik ini perlu pemimpin yang
mendorong yang macet. Membongkar yang buntu. Memangkas yang berbenalu. Pemimpin
yang tanggap memutuskan, cepat bertindak dan tidak toleran pada keterlambatan.
Pemimpin yang siap utk “lecet-lecet”, melawan status-quo yang merugikan rakyat,
berani bertarung untuk melunasi tiap janjinya. Pemimpin yang mempesona bukan
saja saat dilihat dari jauh. Tapi pemimpin yang justru lebih mempesona dari
dekat dan saat kerja bersama.
Bukan pemimpin yang selalu enggan
memutuskan dan suka limpahkan kesalahan. Bukan pemimpin yang diam saat rakyat
didera, lembek saat republik dihardik negara tetangga, tapi lantang dan keras
justru saat diri pribadinya atau keluarganya tersentuh. Pemimpin yang tak
gentar dikatakan mengintervensi, karena mengintervensi adalah bagian dari tugas
pemimpin dan pembiaran tidak boleh masuk dalam daftar tugas seorang
pemimpin.
Bila Presiden Yudhoyono tidak segera
merubah cara menjalankan pemerintahan maka saya harus mengingatkan bahwa bangsa
Indonesia
bisa memasuki persimpangan jalan yang berbahaya.
Jalan pertama adalah
meneruskan kepemimpinan sampai di 2014 agar proses demokrasi berjalan normal
tapi rakyat mencicipi hasil yang ala kadarnya, deretan peluang kemajuan hilang
tanpa bekas. Keterlambatan dan pembiaran jadi ciri beberapa tahun ke depan.
Bahkan lunglainya penegakan hukum adalah resep mujarab menuju negara
kacau.
Jalan kedua yang mulai menyeruak.
Jalan berbahaya tapi suara ini mulai berkembang sebagai respon atas kelambatan
dan pembiaran sistemik ini: berhenti di tengah jalan dan berikan pada orang
lain untuk memimpin. Suara macam ini bisa merusak pranata siklus demokrasi yang
dibangun dengan sangat susah payah. Suara ini tumbuh karena keyakinan bahwa
lewat jalan terjal ini bisa terjadi pembongkaran atas pembiaran dan kelambanan;
agar rakyat tak dirugikan terus menerus.
*****
Semua tahu, sistem Presidensial
menjamin presiden bisa bekerja sebagai eksekutor pemerintahan dan
melindungi-nya agar tidak dapat diberhentikan oleh alasan politis. Hari ini
yang dihadapi Indonesia
situasi yang sebaliknya. Periode dijamin aman oleh konstitusi tetapi presiden
tak optimal jalankan otoritasnya. Keterlambatan berjejer dan pembiaran
berderet. Periode fixed 5 tahun itu bukan mengamankan agar kerja cepat, kini
malah jadi penyandera bangsa dari gerak kemajuan cepat.
Memang presiden bukan dewa atau superman.
Tidak pantas seluruh masalah ditumpahkan ke pundak pemimpin. Tetapi, presiden
bisa menentukan suasana republik. Pemimpin adalah dirigen yang menghadirkan
energi, nuansa, dan aurora di republik ini. Pemimpin bisa fokus menguraikan
masalah strategis dan urgen bagi percepatan pelunasan janji-janjinya.
Presiden Yudhoyono harus sadar bahwa
caranya menjalankan pemerintahan itu memiliki efek tular. Kelugasan, ketegasan,
keberanian, kecepatan, keterbukaan, kewajaran, kemauan buat terobosan, dan
perlindungan pada anak buah bahkan kesederhanaan protokoler itu semua menular.
Tapi kebimbangan, kehati-hatian berlebih, kelambatan, ketertutupan, formalitas
kaku, pembiaran masalah, orientasi pada citra dan ketaatan buta pada prosedur
itu juga menular. Menular jauh lebih cepat dan sangat sistemik.
Rakyat republik ini sudah kerja keras.
Lihat di segala penjuru Indonesia .
Mulai dari kampung kumuh-sumuk tak jauh dari istana, di puncak-puncak
pegunungan dingin, di tepian pantai sebentangan khatulistiwa: rakyat republik
ini serba kerja keras. Mereka mau maju, mereka mau hadirkan kehidupan yang
lebih baik bagi anak-cucunya. Dan yang pasti mereka tidak biasa tanya siapa
yang jadi pemimpin. Buat rakyat banyak tak terlalu penting siapa-nya, yang
penting itu lunasi semua janji-nya.
Ini adalah sebuah peringatan apa
adanya, semata-mata agar Indonesia
tidak menemui persimpangan jalan itu. Ingat, rakyat negeri ini sudah kerja
keras dan “berlari” cepat. Pengurus negara harus memilih mengimbangi kecepatan
rakyat atau ditinggalkan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar