Iran merupakan negara yang cukup dimusuhi oleh
mantan presiden Amerika, George W Bush. Mungkin karena kekuatan militernya dan
kedudukan geopolitiknya. Tulisan saya hanya menyoroti dari aspek perkembangan
sains di Iran, yang juga
saya dengar secara langsung dari mahasiswa PhD saya yang kebetulan juga berasal
dari Iran.
Mungkin kita menganggap Mesir merupakan negara Islam yang
paling maju dalam sains karena sekarang mereka sudah mempunyai 2 orang pemenang
Nobel (sastra dan kimia). Namun saya cukup terkejut membaca artikel yang
ditulis oleh D. A. King yang dipublikasikan di Nature, edisi 15 Juli 2004 yang
berjudul 'The scientific impact of nations' yang analisisnya menyatakan bahwa
Iran merupakan satu-satunya negara Islam yang termasuk dalam 31 besar negara
yang paling maju sains-nya di dunia.
Bagaimana D. A. King sampai pada kesimpulannya
tersebut? Di bawah ini diterangkan metoda penilaiannya. Dua puluh atau tiga
puluh tahun yang lalu, parameter penting untuk menilai “scientific impact”
adalah produktivitas; yaitu hanya dari jumlah artikel yang dipublikasikan di
jurnal, dan sekarang, parameter yang menentukan kualitas dari hasil penelitian
tersebut telah dikuantifikasikan ke dalam parameter yang disebut sebagai
“impact factor”. Perhitungan nilai impact factor tersebut didasarkan kepada
jumlah rujukan (citation) dari artikel yang telah dipublikasikan. Artinya, jika
artikel itu banyak dijadikan referensi di artikel yang lain, maka impact
factor-nya menjadi tinggi. Banyak lembaga-lembaga pemberi dana riset dan
universitas menggunakan impact factor ini dalam menilai pencapaian dosen,
peneliti dan mahasiswa.
Sekarang muncul indikator yang lain yang disebut
sebagai “Scientific Impact of Nation” yang diusulkan oleh D. A. King. King
telah menganalisis jumlah rujukan (citation) dari artikel yang dipulikasikan
dari lebih 8000 jurnal dari 36 bahasa yang diindeks oleh ISI Thomson dari tahun
1993-2001, yang terdiri dari jurnal-jurnal dalam bidang sains dan teknologi.
Hasilnya, 31 negara ditemui sebagai penyumbang terbesar terhadap 1% atau lebih
dari artikel yang paling banyak dirujuk di dunia. Amerika serikat adalah yang
teratas diikuti oleh negara-negara eropa, Jepang,
Taiwan, Singapore dan nomor 30: Iran! Iran merupakan
satu-satunya negara Islam yang masuk dalam penyumbang terbesar dengan 2152
artikel yang banyak dirujuk di jurnal-jurnal yang dikenal oleh ISI. Jika
indikator ini dibandingkan dengan 'wealth intensity' (GNP dibagi dengan jumlah
penduduk), Iran
menjadi nomor 30, dan Amerika serikat tidak lagi menjadi nomor satu. Yang
menjadi nomor satu adalah Swiss, sehingga Swiss dapat dianggap sebagai negara
yang paling efektif dan pintar dalam memanfaatkan dana riset dan menghasilkan
hasil riset yang bermutu tinggi.
Perkembangan sains di Iran dapat dilihat dari perkembangan
publikasi ilmiah yang mereka hasilkan. Sebagai contoh, setelah revolusi Iran
pada tahun 1979, jumlah artikel yang dipublikasikan di jurnal internasional
menurun, yaitu dari 450 artikel pada tahun 1979 menjadi hanya 120 pada tahun
1980.
Tetapi, pada tahun 2002 jumlah itu meningkat 20
kali menjadi 2224 artikel. Iran
nomor 15 di dunia dalam penelitian 'string teory'. Hal ini juga berlaku dalam
bidang kimia dan matematika. Tidak dapat disangkal, dunia barat terkejut dengan
perkembangan sains di Iran
ini.
Fenomena yang perkembangan sains di Iran sangat
menarik untuk dicermati, dan telah dicoba dijelaskan dalam sebuah artikel yang
ditulis oleh Prof. Farhad Khosrokhavar, profesor sosiologi di E'cole des Hauts
E'tudes en Sciences Sociales (EHESS), di Paris yang dimuat dalam Critique:
Critical Middle Eastern Studies, (Summer 2004), 13(2), 209-224.
Banyak saintis Iran
yang berimigrasi ke barat setalah revolusi Iran. Universitas telah ditutup
selama 3 tahun pada masa itu. Perang dengan Irak (1980-1988) juga menambah
larinya saintis-saintis Iran
ke luar negeri. Melihat keadaan tersebut agak mencengangkan melihat Iran dapat
bangkit mengejar ketinggalannya.
Melihat kenyataan bahwa revolusi Iran telah menolak sains sebagai produk dari
barat, dan mempromosikan sains yang berbasiskan Islam, telah menyebabkan reaksi
yang bebeda dari saintis Iran
pada masa itu. Sebahagian berhenti bekerja dalam sains dan menukar profesinya,
dan sebahagian lagi malah menjadi lebih kuat dan bersemangat dalam mengejar
idealisme mereka untuk menjadikan Iran sebagai negara Islam yang maju
dalam sains dan teknologi. Pada masa-masa sulit tersebut, sekumpulan
matematikawan dan fisikawan teoritis berkumpul setiap minggu di University of
Tehran Institute of Physics. Diantara mereka adalah matematikawan Reza
Khosroshahi, Hosein Zia, dan fisikawan Farhad Ardalan, Firooz Partovi, Hesam ed
dine Arfa, and Reza Mansouri dan beberapa professor dari universitas di luar Tehran. Mereka inilah
yang membangkitkan kegiatan saintifik di Iran. Yang menarik adalah, kumpulan
diskusi ini disatukan dengan ide yang tidak ada sangkut pautnya dengan politik,
mereka disatukan dengan ide mengenai keunggulan saintifik! Inilah idealisme
mereka. Mereka memilih untuk tidak masuk dalam perdebatan politik dan hanya
memikirkan dan berusaha bagaimana mencapai keunggulan dalam sains.
Terdapat dua generasi saintis di Iran yang terkait dengan perkembangan sains di Iran. Generasi
pertama dianggap sekuler, dan kebanyakan mereka mendapat pendidikan di barat.
Mereka tidak sensitif terhadap terhadap revolusi yang terjadi di Iran. Generasi
kedua merupakan generasi yang terlibat dalam revolusi yang menentang rezim Shah
Iran.
Generasi kedua inilah yang merupakan generasi penggerak dalam perkembangan ilmu
pengetahuan di Iran.
Atas inisiatif merekalah program doktor (PhD) pertama dibuka di Iran. Dengan
dibukanya program PhD ini, barulah timbul kepercayaan diri, bahwa Iran mampu
menghasilkan hasil-hasil penelitian yang bermutu tinggi. Institualisasi dari
penelitian ilimiah dalam bidang sains juga dimulai dengan program PhD ini.
Dengan banyaknya artikel yang bermutu tinggi yang dipublikasikan, dapat dicatat
bahwa bahwa mereka telah berhasil menanamkan idealisme keunggulan dalam sains
kepada mahasiswa-mahasiswa mereka. Lembaga yang terkenal dalam menghasilkan
sainstis tersebut adalah Zanjan Institute of Advanced Studies in Basic Science
(IASBS) and Institute for Theoretical Physics and Mathematics (IPM) di Tehran,
dan juga di Sharif University of Technology, University of Tehran dan
University of Shiraz.
Jadi idealisme dalam mengejar keunggulan sains
merupakan kunci keberhasilan Iran dalam memajukan sains, sehingga sekarang Iran
termasuk ke dalam negara memiliki 'The scientific impact of nations' tertinggi
di dunia.
Hadi Nur
(http://jumhuri-iran.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar