peristiswa kekerasan yang berbalut agama. Peristiswa berdarah yang
terjadi di Puger ini sungguh sangat mengejutkan, memprihatinkan
sekaligus mengkhawatirkan banyak pihak.
Belum lama dari meletusnya peristiwa puger ini, masih segar dalam
ingatan publik akan kasus konflik dan isu serupa yang terjadi di desa
Karanggayam dan desa Bluuran kabupaten Sampang.
Konflik yang berujung pada aksi kekerasan massa ini telah menyebabkan
diungsikannya ratusan warga yang diduga pengikut aliran syiah ke
Sidoarjo dengan alasan untuk menjaga stabilitas dan kondusifitas
masyarakat.
Keterkejutan dan kekhwatiran publik ini sangatlah beralasan, peristiwa
Puger ini meledak di saat proses rekonsiliasi konflik Sampang masih
dalam tahap pematangan. Walaupun sebenarnya penyelesaian konflik di
Puger sudah dilakukan di awal tahun 2012 dengan ditandatanganinya
perundingan damai antar kedua belah pihak.
Namun nyatanya diluar dugaan semua pihak, eskalasi konflik yang
melibatkan kelomok sunni dan kelompok syiah ini meninggi dan
terjadilah peristiwa karnaval berdarah.
Di Jawa Timur, peristiwa konflik bertema sunni-syiah baik yang terjadi
di Jember maupun Sampang ini sepertinya sebuah kelanjutan mata rantai
dari peristiwa serupa yang terjadi di berbagai daerah di tahun-tahun
sebelumnya. Sebut saja, mulai dari penyerangan sekelompok massa
terhadap para pengikut IJABI yang terjadi di Desa Jambesari Kecamatan
Jambesari Darussolah Kabupaten Bondowoso, pada tanggal 23
Desember2006, insiden penyerangan pesantren YAPI yang berpaham syiah
oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan laskar Aswaja ada tahun
2010-211 di Bangil Pasuruan dan ketegangan-ketengan berskala kecil
yang terjadi Malang.
Fenomena ini sungguh sangat menarik, dalam artian meskipun ajaran
Syiah ini banyak tersebar di Indonesia dan juga pernah mengalam
resistensi di daerah lain seperti di Pandeglang Provinsi Jawa Barat
(6/2/2011) dan Temanggung Provinsi Jawa Tengah (8/2/2011) namun tidak
separah dan sebesar di Jawa Timur. Di Provinsi ini, eskalasi konflik
dengan isu Sunni-Syiah semakin tahun mengalami peningkatan dan
resistensi tehadap ajaran syiah semakin menguat dan meluas di tengah
masyarakat.
Dengan demikian, maka sangatlah wajar bila kemudian muncul
asumsi-asumsi konspiratif yang mengitari rentetan letusan konflik
bertema Sunni-Syiah di Jawa Timur.
Bahwa ada unsur kesengejaan untuk menciptakan dan memelihara konflik
Sunni-Syiah yang melibatkan kekuatan transnasional. Pertanyaannya
kemudian " Benarkah ada keterlibatan kekuatan transnasional di balik
konflik bertema Sunni-Syiah ini serta Mengapa percepatan dan penguatan
konflik berada di Jawa Timur?"
Adalah Dr. Michael Brant, salah seorang mantan tangan kanan direktur
CIA, Bob Woodwards yang mengawali adanya kepentingan Transnasional
dalam menciptakan konflik Sunni-Syiah. Dalam sebuah buku berjudul "A
Plan to Devide and Destroy the Theology", Michael mengungkapkan bahwa
CIA telah mengalokasikan dana sebesar 900 juta USD untuk melancarkan
berbagai aktivitas anti-Syiah. Hal ini kemudian diperkuat oleh
publikasi laporan RAND Corporation di tahun 2004, dengan judul "US
Strategy in The Muslim World After 9/11". Laporan ini dengan jelas dan
eksplisit menganjurkan untuk terus mengekploitasi perbedaan antara
Ahlu Sunnah dan Syiah demi kepentingan AS di Timur Tengah.
Kemenangan Revolusi Iran tahun 1979 telah menggagalkan politik-politik
Barat yang sebelumnya menguasai kawasan negara Islam. Iran yang
sebelumnya tunduk dan patuh terhadap AS, pasca revolusi, justru lebih
banyak menampilkan sikap yang berseberangan dengan negeri "Paman Sam"
itu.
Karenanya, AS merasa berkepentingan untuk menjaga agar konflik
Sunni-Syiah itu tetap ada di wilayah Timteng demi melanjutkan
hegemoninya di kawasan tersebut.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa apa yang dinyatakan oleh Michael
Brant bukanlah sebagai sebuah halusinasi. Jauh sebelum revolusi Iran
tahun 1979, sangat jarang ditemukan konflik terbuka antara Syiah dan
Ahlus Sunnah, kecuali konflik yang bersifat sporadis di antara
kelompok-kelompok kecil dari kedua kalangan di Irak, Libanon dan
Suriah.
Sementara itu, khusus di Indonesia, keberadaan kaum Syiah bukan barang
baru. Syiah telah ada sejak dahulu kala. Namun, seperti layaknya
secara umum, di Indonesia hampir tak pernah ditemui konflik sektarian
yang melibatkan antara Sunni-Syiah.
Karenanya bagi sebagian pengamat, sangatlah mengherankan jika
tiba-tiba Sunni-Syiah turut mewarnai konflik bernuansa SARA di
Indonesia. Bila kita tarik apa yang dinyatakan oleh Michael Brant
tersebut ke ranah domestik, maka jelas ada kepentingan di luar SARA
yang turut berperan -bahkan mengambil porsi lebih besar- dalam konflik
Sunni-Syiah di Indonesia.
Selanjutnya, di Indonesia kepentingan tranasional Barat ini
bersimbiosis dengan kekuatan kelompok Islam transnasional yang
kemudian banyak diidentikan dengan gerakan Wahabisasi Global. Tujuan
utama kelompok ini adalah dengan membuat dan medukung
kelompok-kelompok lokal untuk membuat wajah Islam lebih keras dan
radikal serta berusaha memusnahkan pengamalan-pengamalan Islam yang
lebih toleran yang lebih lama ada dan dominan di Indonesia.
Kelompok ini berusaha keras untuk menginfiltrasi berbagai sendi
kehidupan umat Islam Indonesia dalam beragam cara baik secara halus
mapun kasar.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid dalam
pengantar buku Ilusi Negara Islam bahwa Gerakan asing Wahabi/Ikhwanul
Muslimin dan kaki tangannya di Indonesia menggunakan petrodollar dalam
jumlah yang fantastis untuk melakukan Wahabisasi, merusak Islam
Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia
sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah
pun tidak ada. Mereka akan mudah menuduh kelompok Islam lain yang
tidak sepaham dengan ajaran wahabi sebagai kafir, sesat dan murtad.
Analisis ini juga dikuatkan oleh sebuah realitas pergerakan politik di
Timur Tengah, dikonflik Internasional kita lihat perang Saudara di
Irak, Suriah, Pakistan dan Afgahnaistan semuanya ditarik pada perang
antara Sunni dan Syiah, belum lagi ancaman serangan ke Iran yg
notebene adalah pusat Syiah. Arab Saudi sebagai Poros Wahabi dunia ini
sangat ingin punya pengaruh d Timur Tengah, namun kalah pamor dengan
Iran yang lebih mempunyai Sumber Daya Alam maupun sumber daya manusia
yang pintar-pintar, sejak jaman persia dahulu kala. Sedangkan di
Indonesia sendiri, konflik Sunni-Syiah tidak mempunyai akar sejarah
politik.
Rupanya kelompok Wahabisasi global ini pun memahami bahwa NU merupakan
penghalang utama pencapaian target idiologis dan politik mereka.
Sebagai organisasi Sunni terbesar di Indonesia selama ini NU begitu
gencar dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam yang moderat, humanis
dan toleran. Bahkan dalam pergaulan internasional di bidang keagamaan
pemikiran-pemikiran NU berikut tokoh-tokohnya menjadi refrensi umat
Islam dunia. Citra sebagai gerakan Islam moderat, diakui atau tidak,
adalah milik NU.
Praksis, upaya-upaya untuk mendiskreditkan, merusak citra NU sebagai
organisasi kaum sunni dengan ajaran Islam yang lembut dan toleran
kerap dilakukan salah satunya dengan membenturkan kaum Nahdliyin
dengan kaum syii di Indonesia.
Untuk melakukannya lalu dipilihlah Jawa Timur sebagai lokasi pabrik
yang memproduksi konflik-konflik bertema Sunni-Syiah. Pilihan ini
sangatlah strategis, publik tahu bahwa Jawa Timur merupakan basis
utama para penganut paham ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah . Di
Jawa Timur lah, NU sebagai organisasi masyarakat terbesar di Indonesia
yang berpahamkan Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah dideklarasikan dan
didirikan yang kemudian berkembang pesat dan cepat ke seluruh penjuru
nusantara. Di Jawa Timur pulalah, dinamika pergerakan NU menjadi
barometer politik nasional.
Di samping itu, pilihan lokasi konflik seperti Jember, Pasuruan,
Malang dan Sampang juga bukan tanpa kalkulasi yang strategis.
Publik pun tahu, bahwa di daerah-daerah tersebut karakter
masyarakatnya sangat lekat dengan kultur Madura. Selain dikenal
sebagai pengikut NU yang fanatik, masyarakat dengan kultur madura ini
telah menjadikan Islam sebagai salah satu unsur penanda identitas
etnik Madura. Sebagai unsur identitas etnik, agama merupakan bagian
integral dari harga diri orang Madura.
Oleh karena itu, pelecehan terhadap ajaran agama atau perilaku yang
tidak sesuai dengan agama, mengkritik kiai serta mengkritik perilaku
keagamaan orang Madura, merupakan pelecehan terhadap harga diri orang
Madura. Maka janganlah heran jika, warga Nahdliyin Madura dimanfaatkan
dan mudah disulut sebagai pengobar api kerusuhan dengan isu sentimen
beda aliran agama. Walhasil, eskalasi percepatan isu dan penguatan
konflik terbesar berada di wilayah Madura dan Tapal Kuda dan jarang
sekali berada di zona lainnya seperti pantura maupun zona matraman.
Wallahu alam bis showab
FAISOL RAMDHONI
* Penulis adalah Ketua Lakpesdam NU Sampang
(www.nu.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar