memiliki pengaruh besar dan mengubah jalannya sebuah transformasi
secara mendaras.
Peristiwa 11 September 2001 terjadi di dua kota, New York dan
Washington serta tercatat sebagai peristiwa besar dan menentukan dalam
sejarah modern. Meski bukan pertama kalinya peristiwa teror terjadi di
Amerika, namun transformasi pasca 11 September menunjukkan bahwa
kejadian ini bukan peristiwa biasa, namun sebuah transformasi yang
sangat menentukan.
Namun faktor apa sebenarnya yang membuat insiden tabrakan tiga pesawat
komerisal ke gedung WTC di New York dan Pentagon di Washington begitu
menentukan? Beberapa tahun sebelumnya, dalam sebuah serangan teror di
kota Oklahama, 180 orang tewas, namun peristiwa ini tidak mengubah
sikap pemerintah Amerika. Wajah Amerika yang ditampilkan kepada dunia
pasca peristiwa 11 September dengan AS sebelum insiden ini berbeda
jauh. Amerika di dekade sebelumnya berulang kali mendapat serangan
teror di berbagai dunia, namun reaksi pemerintah Amerika pasca
peristiwa 11 September menunjukkan sikap mereka sangat berbeda dengan
reaksi yang ditunjukkan sebelumnya di peristiwa seperti pemboman club
malam Amerika di Beirut.
Dapak pertama dari runtuhnya menara kembar WTC adalah ketakutan.
Dengan kata lain, untuk pertama kalinya rakyat Amerika merasa takut
terhadap teroris dan dampak dari aksinya. Kematian mendadak 3000 orang
yang sempat membuat lumpuh kehidupan di kota terbesar AS, menjadi
pukulan telak kepercayaan warga kepada pemerintah terkait sistem
keamanan nasional.
Sebelum peristiwa 11 September, perang dan pembantaian massal hanya
muncul di televisi dan hanya sedikit yang memberitakan kejadian
seperti ini. Namun pasca 11 September, ketakutan akan masa depan dan
lumpuhnya negara mulai muncul di hati jutaan warga AS. Selanjutnya
pertanyaan jika peristiwa serupa 11 September kembali terjadi, apa
yang akan menimpa mereka?
Ketakutan akibat instabilitas keamanan dan pasca 11 September membuat
Amerika cenderung ke arah konservatif.
George W. Bush, presiden AS saat itu yang kemenangannya di pilpres
menimbulkan kontradiksi dalam semalam berubah menjadi pahlawan, bahkan
rivalnya di pilpres pun mendukung penuh kebijakan ofensif Bush untuk
menghukum pelaku peristiwa 11 September. Bush sendiri menyebut
peristiwa ini sebagai perang Salib baru dan setiap indikasi serta
simbol Islam atau gerakan Islam sebagai gerakan yang mengancam
keamanan nasional AS. Oleh karena itu, negara yang selama 200 tahun
menjadi tujuan akhir para imigran berubah menjadi negara anti asing
serta kehidupan ratusan ribu imigran muslim serta keturunan Arab
semakin sulit. Proses ini sampai pada tahap di mana seorang warga Sikh
Amerika dibunuh karena ikat kepalanya mirip dengan pakaian Arab.
Rasa takut, konservatif dan nasionalisme ekstrim membuat Amerika
menjadi negara yang semakin berbahaya. Jika sebelum peristiwa 11
September, pemerintah AS dengan dalih perang melawan terorisme,
pemimpin dunia bebas, memperluas investasi dan membela hak asasi
manusia kerap menggelar perang, pasca peristiwa 11 September, balas
dendam pribadi dan menghadapi ancaman serangan ke wilayah Amerika
menjadi alasan tersendiri bagi negara adidaya ini untuk memaksakan
perang ke Afghanistan.
Selang 10 tahun kemudian, ratusan ribu orang di Afghanistan dan
disusul di Irak tewas untuk membalas kematian 3000 orang yang tewas
dalam peristiwa 11 September. Selama itu, pula lebih dari satu trilyun
dolar secara langsung dan tiga trilyun dana tak langsung dikeluarkan
untuk membiayai perang. Krisis ekonomi terbaru di Amerika juga imbas
dari dana besar-besaran yang harus ditanggung negara ini dalam dua
perang di Afghanistan dan Irak.
Kini setelah 12 tahun dari peristiwa 11 September, Amerika menjadi
semakin penakut, lebih konservatif dan nasionalismenya pun semakin
tebal serta semakin haus perang dari sebelumnya. Reaksi AS dari
peristiwa 11 September semakin kuat. Sentimen ini membuat pemerintah
Amerika secara transparan mengaku sebagai polisi dunia. AS pun semakin
memperluas jaringan spionasenya dan dengan seenaknya melanggar
kebebasan individu serta sosial.
Berbagai peristiwa di dunia yang saat ini tengah terjadi akibat ulah
Amerika, padahal insiden 11 September yang telah berlalu lebih dari
satu dekade sampai saat ini masih belum jelas pelaku dan motifnya.
Artinya, meski adanya dokumen resmi dari pemerintah AS atas kejadian
ini, sampai kini masih tersisa banyak pertanyaan di antaranya Apakah
al-Qaeda tanpa bantuan anasir dalam negeri AS mampu menghancurkan
menara kembar WTC di New York?
Hal ini pantas dipertanyakan mengingat di reruntuhan gedung Pentagon
tidak ditemukan bakas-bekas pesawat komersial. Apakah Bush dan
penasehatnya tidak mengetahui ancaman serangan ke AS dalam waktu
dekat? Mengapa Amerika yang memiliki peralatan canggih spionase dan
sistem keamanan yang kuat tidak mampu mencegah terjadinya peristiwa
tersebut? Mengapa 30 lembar laporan tim penyidik Kongres dinyatakan
terlarang oleh pemerintah Amerika? Akhirnya apa peran yang dimainkan
pemerintah AS dalam menciptakan milisi radikal al-Qaeda dan tokoh
seperti Osama bin Laden?
Bagaimana pun juga terlepas dari realita sebenarnya dari 11 September
dan rahasia apa yang disembunyikan oleh bangsa AS, sebuah realita yang
tak dapat dipungkiri adalah para elit politik Washington pemenang
utama karena di era tanpa musuh pasca runtuhnya blok Timur dan
ambruknya Komunis, tiba-tiba muncul musuh menakutkan dan haus darah di
mana kebebasan sosial terancam dan anggaran militer besar-besaran
serta pengiriman pasukan bagi AS menjadi hal yang sangat urgen.
Kondisi ini pun mampu menutupi berbagai kendala politik, ekonomi,
sosial dan budaya Amerika. Oleh karena itu dalam pandangan elit
politik Amerika "Mampuslah pelaku peristiwa 11 September dan
berjayalah dampak dari tragedi ini".
Para pengamat menilai kejadian pasca serangan 11 September lebih
penting dari peristiwa 12 tahun itu. Tidak diragukan lagi, AS berupaya
memanfaatkan peristiwa 11 September demi kepentingan mewujudkan
ambisinya.
Washington berupaya menguasai dunia dari sisi politik, militer dan
ekonomi. Peristiwa satu dekade lalu itu dijadikan alasan untuk
menjustifikasi penjarahan emas hitam yang dilakukan AS di
negara-negara kawasan Timur Tengah.
Kini, pemerintah AS alih-alih berhasil meraih tujuannya di kawasan,
Negeri Paman Sam itu justru mengalami kondisi yang lebih buruk dari 12
tahun lalu dari sisi politik, militer dan ekonomi.
Krisis ekonomi yang menimpa AS menyebabkan masalah besar di dalam
negeri. Tidak hanya itu, seiring melemahnya sistem perekonomian AS,
sistem Neoliberalisme yang diusung AS dan negara-negara Barat sebagai
model ekonomi global yang maju mengalami kegagalan.
AS sebagai negara tujuan investasi yang paling aman di dunia mulai
dipertanyakan dan kredibilitas finansial AS mulai goyah. Para investor
asing pun mulai berpikir untuk menarik modalnya dari Negeri Paman Sam
itu. Tentu saja, masalah ini menjadi pukulan telak bagi ekonomi AS
yang selama ini dibesar-besarkan sebagai deretan negara paling mapan
di dunia.
Dari sisi militer, AS gagal menjadikan Afghanistan dan Irak sebagai
pangkalan militer negaranya. Mereka juga gagal menghancurkan Taliban
dan kini menggulirkan perundingan dengan milisi teroris itu. Dari sisi
politik, AS bukan hanya tidak mampu meningkatkan pengaruhnya di dunia
pasca serangan 11 September. Namun sebaliknya pengaruhnya semakin
terbatas dan rezim rezim boneka AS di kawasan Timur Tengah satu
persatu mulai tumbang.
(IRIB Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar