"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Kamis, 23 Mei 2013

Wajah Kita Dalam "Negeri Daging"


Negeri Daging (2002) adalah salah satu (dari delapan) antologi puisi Gus Mus (Ahmad Mustofa Bisri). Dikenal tidak hanya sebagai penyair, Gus Mus dikenal juga sebagai seorang ulama, cendekiawan, dan tokoh yang dihormati tidak hanya bagi umat tertentu.


Teguh mengemban amanah bahwa Islam adalah ‘rahmat bagi sekalian alam’ (rahmatan lil ‘alamin), Gus Mus mengedepankan pendekatan kasih sayang dalam setiap persoalan yang dihadapinya, dan mengkritik keras arogansi umat maupun ulama atas nama agama. 



Indonesia air mata kita 
Bahagia menjadi nestapa 
Indonesia kini tiba-tiba 
Selalu dihina-hina bangsa 
Disana banyak orang lupa 
Dibuai kepentingan dunia 
Tempat bertarung berebut kuasa 
Sampai entah kapan akhirnya. 

(dinyanyikan dengan melodi lagu ‘Indonesia Pusaka’ ciptaan Ismail Marzuki, bait ke-5 ‘Aku Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu’:31). 

Di bawah gegap gempita dan gemerlapnya isu-isu tentang kemajuan teknologi informasi, usia kemerdekaan bangsa dan negara yang terus melaju sering membuat kita merasa makin terpuruk mendapati keadaan kita sebagai bangsa yang agaknya masih ‘terbelakang’ juga, bahkan dalam memaknai informasi tentang ‘kemerdekaan’: 

Bangunlah, ini era reformasi! 

Ohoi, 
Katakanlah reformasi 
Kau ‘kan rasakan nikmatnya kebebasan sejati 
 
Ohoi, 

Mereka yang tak pernah kenal rakyat 
kini boleh mengaku mewakilinya 
Mereka yang tak pernah tahu politik 
kini boleh asyik mempermainkannya 
 
Ohoi, 

Mereka yang dulu tak pernah ngerti kekuasaan 
kini boleh sibuk memperebutkannya 
Mereka yang dulu tak pernah paham demokrasi 
kini boleh giat belajar menekuninya 
 
Ohoi, 

Katakanlah demokrasi 
Kau ‘kan tahu rasanya caci-maki 
Katakanlah reformasi 
Kau ‘kan rasakan nikmatnya anarki 

Ohoi, reformasi 
Ohoi! 

(‘Reformasi (d/h Merdeka) atawa Boleh Apa Saja’:35-36). 

Tanpa pemahaman substansi kemerdekaan, maka akan tidak ada batas antara merdeka dan anarki. Fungsi-fungsi yang ada dalam masyarakat pun rancu dan kacau:
 
Apalagi 
yang bisa kita lakukan 
bila kepentingan lepas dari kendali 
hak lepas dari tanggungjawab 
perilaku lepas dari rasa malu 
pergaulan lepas dari persaudaraan 
akal lepas dari budi 
? 
 
(‘Jadi Apa Lagi’:15). 

Kita pun kini patut bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi? Bagaimana mungkin negara yang demikian kaya, bangsa yang dikenal dengan peri yang demikian luhur mengalami kekacaubalauan sedemikian dahsyat? Bagaimana pertanggung-jawaban kita sebagai khalifah Allah di muka bumi-Nya ini? 


MANUSIA SEBAGAI SUBYEK YANG MENANGGAPI REALITAS 

Manusia bukanlah obyek yang dibentuk secara pasif oleh pengalamannya (seperti teori ‘tabula rasa’ John Locke). Manusia adalah subyek yang senantiasa melakukan dialog dengan ‘realitas’: dunia sekeliling yang menjadi persepsinya. Hanya dengan dialogi itulah terjadi aktualisasi dirinya. Atau dengan kata lain, manusia sebagai pribadi berkembang atas asas ‘respondeo, ergo sum’. 

Dialogi antara manusia dengan dunianya (human responses) tidaklah mekanistik seperti pada binatang (animal responses). Manusia terlibat dengan realitas secara trans-subyektif di mana realitas akan kembali kepada manusia sambil menyempit sebagai kemungkinan. 

Realitas yang semula terbentang ibarat tanpa batas, oleh manusia dalam tanggapannya, dipergaulinya sebagai kemungkinan yang memberi peluang untuk melakukan pilihan demi membatasi respons-respons yang ditampilkannya. 

Jadi menurut rumus ‘respondeo, ergo sum’, manusia adalah penanggungjawab atas setiap ‘jawaban’ yang dipilihnya dalam menanggapi lingkungannya sebagai aktualisasi dirinya sendiri. Pertanyaannya sekarang adalah, seberapa jauh -sebagai warga negara- kita telah memberi andil dalam terjadinya ironi yang banyak terjadi di tanah air kita ini? 


KEGILAAN KEPADA ‘DAGING’ 

Selama ini kita mengaku ber-Tuhan dan merasa sudah ‘membawa Tuhan ke mana-mana’. Kita rajin membangun rumah ibadah, bersedekah, selalu melibatkan para ulama dalam menyelenggarakan urusan sehari-hari --setidaknya dalam upacara-upacara. Kita sendiri sudah sangat akrab dengan berbagai doa sehari-hari (anak-anak TK zaman sekarang pun boleh diperiksa jumlah hafalan doa mereka!). 

Seolah juga tidak ingin sekejap pun lupa kemauan Tuhan, informasi tentang Tuhan dan praktek berketuhanan – dalam berbagai kemasannya – pun demikian mudah kita dapatkan, apakah di radio, televisi, media cetak, ponsel, internet. Mau yang ‘kuno’ seperti buku dan kaset? Atau yang lebih modern seperti CD, VCD, DVD, website? Atau yang praktis seperti paket panduan agama melalui SMS? Semua ada. Tinggal tentukan pilihan sesuai selera. 
Akan tetapi anehnya, ketika informasi tentang spiritualitas begitu marak dan aksesnya demikian mudahnya, mengapa kita justru mengalami kekacaubalauan ini? Mengapa praktek korupsi semakin menggila misalnya-seolah Tuhan pernah tidur atau lupa mengawasi? Juga mengapa hari-hari ini kita semakin terkepung dengan paparan cara-cara kekerasan (yang makin beringas dan tidak masuk akal) dalam menyampaikan pikiran dan dalam berbeda pendapat, seolah lupa bahwa kita adalah mahluk Tuhan dengan seperangkat kemuliaan sebagai manusia? 
Sinyalemen Gus Mus agaknya menjawab ‘keanehan’ keadaan kita. Selama ini kita agaknya hanya sibuk dengan ‘penampilan’ ber-Tuhan tapi terlalu sedikit mempertanyakan bagaimana peribadatan berdaya dalam mencerahkan kehidupan: 
 
Tuhan, lihatlah betapa baik kaum beragama negeri ini 
Mereka terus membuatkanMu rumah-rumah mewah 
di antara gedung-gedung kota 
hingga di tengah-tengah sawah 
dengan kubah-kubah megah 
dan menara-menara menjulang 
untuk meneriakkan namaMu 
menambah segan dan keder hamba-hamba kecilMu 
yang ingin sowan kepadaMu. 
NamaMu mereka nyanyikan dalam acara hiburan 
hingga pesta agung kenegaraan. 

Mereka merasa begitu dekat denganMu 
hingga masing-masing merasa berhak mewakiliMu 
 
Mereka yang Engkau anugerahi kekuatan 
Seringkali bahkan merasa diri Engkau sendiri 
Mereka bukan saja ikut menentukan ibadah 
Tapi juga menetapkan siapa ke sorga siapa ke neraka 
Mereka sakralkan pendapat mereka 
dan mereka akbarkan semua yang mereka lakukan 
hingga takbir dan ikrar mereka yang kosong 
bagai perut bedug. 
 

(‘Kaum Beragama Negeri Ini’:13-14). 


HILANGNYA KEPEKAAN TERHADAP KEBERSAMAAN 

Karena sibuk dengan ‘daging’ spiritualitas, kadang mengerikan menyadari bahwa kita sudah sedemikian jauh kehilangan rasa kebersamaan, ruh spiritualitas: 
 
Apakah kau terlalu bebal atau aku yang terlalu peka? 

Di depan layar datar televisi produk mutakhir 
di ruang keluarga 
yang lapang dan terang benderang 
kau dan keluargamu menyaksikan gelombang gelap melanda 
beberapa kawasan di dunia bahkan di negerimu sendiri 
sambil melahap pizza dan ayam goreng Amerika. 
 
Asap hitam mengepul di Ambon 
Asap hitam mengepul di Aceh 
Asap mengepul di Sampit 
Asap hitam mengepul dimana-mana. Berlapis-lapis 
gelap melanda negerimu sendiri 
memedihkan mata dan hati. 
 
Pemandangan memilukan pun tak mampu 
mengusik seleramu. Apalagi tak lama kemudian 
sinetron yang seronok dengan cepat membawamu 
kembali ke duniamu. 
 
Pemandangan yang mengerikan pun tak mampu 
mengganggu nafsumu. Apalagi segera datang tayangan 
gossip selebriti yang penuh gelak tawa 
mengasyikkan dan menghiburmu. 
 
Bila kau dan kawan-kawanmu sesekali 
membicarakan bencana kemanusiaan ini 
di kafe-kafe sambil mendengarkan para artis bernyanyi 
atau di hotel-hotel berbintang sambil mendengarkan 
para pakar berteori 
kau pun telah merasa ikut berjasa 
dalam upaya mencari solusi. 
 

(‘Apakah kau Terlalu Bebal’:18-21). 


KESALAHKAPRAHAN DALAM MENYIKAPI RIZKI 

Kegilaan kita kepada ‘daging’ berawal dari ketidaktepatan sikap kita terhadap apa yang kita sebut rizki. Rizki adalah nilai yang ditimbulkan oleh hasil kerja. Rizki merupakan sebuah konsep yang mengandung etika kerja. Manusia bekerja dalam perannya sebagai khalifah Allah di bumi, sebagai pengelola sumber daya. Manusia diperintahkan Allah untuk berpikir dan mengusahakan rizki yang halal dan thayyib (baik). Dengan halal dan thayyib secara implisit terkandung konsep pengendalian diri, bahwa keleluasaan manusia sebagai khalifah (penguasa) di bumi dibatasi oleh ketakwaan sebagai ‘abduLlah (hamba Allah). Dalam kerangka inilah kerja disebut sebagai ibadah. 

Karena seseorang tidak bisa mendapatkan penghasilan atau keuntungan tanpa bekerja sama dengan orang lain (al-Zukhruf:32), maka Allah mengatakan bahwa dalam setiap rizki terdapat hak bagi golongan yang miskin dan yang lemah, tertinggal, atau mengalami kesulitan hidup (al-Dzariyat:19). Jadi rizki bersifat sosial baik dalam proses produksi maupun konsumsinya. 
Namun di Negeri Daging: 
 
untuk mendapatkan daging 
orang-orang tidak berjalan 
tapi berlarian 
tidak berdekatan 
tapi berdesakan 
tidak bersaing 
tapi saling menjatuhkan 
 
di negeri daging 
untuk mendapatkan daging 
orang-orang tidak menghimbau 
tapi membentak 
tidak bicara 
tapi berteriak 
tidak saling sentuh 
tapi saling tabrak 
 

(‘Negeri Daging’:37-42). 

Jika kita menderita kegilaan kepada ‘daging’, dapatkah kita membayangkan kita dapat melaksanakan amanah ke-khalifah-an dan menunaikan tanggung jawab sebagai ‘abduLLah? 

Inilah kesaksianku 
Inilah pernyataanku 
Inilah ikrarku: 

Laa ilaaha illa Llah 
Tak ada yang boleh memperhambaku kecuali 
Allah 
Tapi nafsu terus memperhambaku 

Laa ilaaha illa Llah 
Tak ada yang boleh menguasaiku kecuali 
Allah 
Tapi kekuasaaan terus menguasaiku 

Laa ilaaha illa Llah 
Tak ada yang boleh menjajahku kecuali 
Allah 
Tapi materi terus menjajahku 

Laa ilaaha illa Llah 
Tak ada yang boleh mengaturku kecuali 
Allah 
Tapi benda mati terus mengaturku 

Laa ilaaha illa Llah 
Tak ada yang boleh memaksaku kecuali 
Allah 
Tapi syahwat terus memaksaku 

Laa ilaaha illa Llah 
Tak ada yang boleh mengancamku kecuali 
Allah 
Tapi rasa takut terus mengancamku 

Laa ilaaha illa Llah 
Tak ada yang boleh merekayasaku kecuali 
Allah 
Tapi kepentingan terus merekayasaku 

Laa ilaaha illa Llah 
Hanya kepada Allah 
aku mengharap 

Tapi kepada siapa pun 
Masyaa Allah! 
aku mengharap 

Laa ilaaha illa Llah 
Hanya kepada Allah 
aku memohon 

Tapi kepada siapa pun 
Masyaa Allah! 
aku memohon 

Laa ilaaha illa Llah 
Hanya kepada Allah 
aku bersimpuh 

Tapi kepada apa pun 
Masyaa Allah! 
aku bersimpuh 

Laa ilaaha illa Llah 
Hanya kepada Allah 
aku bersujud 

Tapi kepada apa pun 
Masyaa Allah! 
aku bersujud. 

Laa ilaaha illa Llah 
Masyaa Allah! 

(‘Syahadat’:5-7). 


oleh : Ken Sawitri, 
Setitik Air (http://www.gusmus.net/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar