Gerakan reformasi yang semula ingin mengembalikan nilai-nilai luhur Pancasila menjadi arus utama ternyata hanya tinggal harapan. Sudah 15 tahun berlalu nilai-nilai itu justru semakin tersingkir dari pola pembangunan.
Paling tidak
Demikian rangkuman pendapat dari Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Andreas Yewangoe dan tokoh dan cendekiawan Muslim sekaligus pendiri Maarif Institute Ahmad Safii Maarif dalam seminar dan loka karya agama-agama (SAA) ke-29 dengan tema “Agama-Agama dan Politik Pasca-Orde Baru: Refleksi 15 Tahun Reformasi”, di Jakarta, Senin (14/1).
Ahmad Safii Maarif mengatakan, tokoh-tokoh agama berulang kali menyuarakan berbagai penyimpangan reformasi itu, namun kultur politik neo liberalisme yang lagi menjadi acuan menutup mata dan telinga para pemegang demokrasi. Seperti cita-cita proklamasi 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menghalau kemiskinan tetapi ternyata berujung dengan setengah gagal, begitu pula gerakan reformasi setelah 15 tahun berjalan.
Menurutnya, hal ini terjadi karena elit politik awal reformasi pada umumnya adalah kaum politisi dadakan. Mereka adalah instant politicians yang kosong pemahamannya soal cita-cita awal bangsa ini.
“Mereka tidak punya cetak biru tentang bagaimana semestinya bangsa ini diurus dalam mengisi kemerdekaan,” ujar mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah ini.
Dalam aspek keagamaan,
Padahal, sudah jelas konstitusi sangat kuat melindungi setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankannya dengan rasa aman, damai dan bebas. Tetapi, negara tidak selalu hadir di saat genting.
“Jika negara yang memiliki hak memaksa agar setiap orang tunduk pada konstitusi dan peraturan lainnya menjadi lemah dan kehilangan wibawa, maka anarkisme akan sulit diatasi. Selama 15 tahun terakhir, energi bangsa sangat terkuras oleh rentetan konflik yang tak habis-habisnya,” kata Safii.
Dia menyarankan solusi agar dalam tempo yang tidak lama kelemahan ini bisa diatasi,
Apapun asal partai politiknya, asalkan pemimpin tersebut bisa melakukan gerakan perubahan untuk masyarakat. Tanpa transformasi dalam diri pemimpin, situasi yang sama akan terus berulang tanpa ujung. Andreas Yewangoe juga menyoroti dari bidang penegakan hukum dan keadilan, masih jauh panggang dari api.
Persoalan kekerasan atas nama agama, juga menurut Andreas masih menjadi masalah pelik di era reformasi ini. Makin bertumbuhnya radikalisme di kalangan masyarakat sangat mengkhawatirkan. Negara harus menemukan akar radikalisme tersebut dan menyelesaikannya, dan menemukan akar kerukunan otentik yang sudah tertanam mendalam di dalam kebudayaan.
“Saya masih percaya adanya kerukunan otentik di
(suarapembaruan.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar