"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Kamis, 23 Mei 2013

Agama-Agama dan Politik Pasca-Orde Baru: Refleksi 15 Tahun Reformasi


Gerakan reformasi yang semula ingin mengembalikan nilai-nilai luhur Pancasila menjadi arus utama ternyata hanya tinggal harapan. Sudah 15 tahun berlalu nilai-nilai itu justru semakin tersingkir dari pola pembangunan. 


Paling tidak Indonesia sangat bergembira karena secara formal dianggap sebagai negara demokrasi ke-3 terbesar di dunia. Namun, berbagai persoalan yang terjadi akhir-akhir ini seakan menunjukkan Indonesia tidak sedang menuju demokrasi substansial, melainkan hanya prosedural saja. 


Lima belas tahun berlalu, ternyata terlalu banyak sisi lemah reformasi yang terpampang di depan mata. Kelemahan ini jika tidak cepat diatasi, masa depan Indonesia berada dalam taruhan. 

Demikian rangkuman pendapat dari Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Andreas Yewangoe dan tokoh dan cendekiawan Muslim sekaligus pendiri Maarif Institute Ahmad Safii Maarif dalam seminar dan loka karya agama-agama (SAA) ke-29 dengan tema “Agama-Agama dan Politik Pasca-Orde Baru: Refleksi 15 Tahun Reformasi”, di Jakarta, Senin (14/1). 

Ahmad Safii Maarif mengatakan, tokoh-tokoh agama berulang kali menyuarakan berbagai penyimpangan reformasi itu, namun kultur politik neo liberalisme yang lagi menjadi acuan menutup mata dan telinga para pemegang demokrasi. Seperti cita-cita proklamasi 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menghalau kemiskinan tetapi ternyata berujung dengan setengah gagal, begitu pula gerakan reformasi setelah 15 tahun berjalan. 

Menurutnya, hal ini terjadi karena elit politik awal reformasi pada umumnya adalah kaum politisi dadakan. Mereka adalah instant politicians yang kosong pemahamannya soal cita-cita awal bangsa ini. 

“Mereka tidak punya cetak biru tentang bagaimana semestinya bangsa ini diurus dalam mengisi kemerdekaan,” ujar mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah ini. 

Dalam aspek keagamaan, Indonesia memang dikenal dengan bangsa yang beragama, tetapi prinsip keadilan dan lapang dada menerima perbedaan belum juga tegak. Semakin banyak kelompok yang ingin membunuh perbedaan itu dengan dalih agama, yang sebetulnya karena kurang paham dan egois. 

Padahal, sudah jelas konstitusi sangat kuat melindungi setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankannya dengan rasa aman, damai dan bebas. Tetapi, negara tidak selalu hadir di saat genting. 

“Jika negara yang memiliki hak memaksa agar setiap orang tunduk pada konstitusi dan peraturan lainnya menjadi lemah dan kehilangan wibawa, maka anarkisme akan sulit diatasi. Selama 15 tahun terakhir, energi bangsa sangat terkuras oleh rentetan konflik yang tak habis-habisnya,” kata Safii. 

Dia menyarankan solusi agar dalam tempo yang tidak lama kelemahan ini bisa diatasi, Indonesia harus dipimpin oleh pribadi yang visioner, punya nyali, kuat, jujur negarawan, dan integritas. Pemimpin seperti inilah yang menurut dia, harus terpilih dalam Pilpres 2014 nanti. 

Apapun asal partai politiknya, asalkan pemimpin tersebut bisa melakukan gerakan perubahan untuk masyarakat. Tanpa transformasi dalam diri pemimpin, situasi yang sama akan terus berulang tanpa ujung. Andreas Yewangoe juga menyoroti dari bidang penegakan hukum dan keadilan, masih jauh panggang dari api. Para koruptor yang seharusnya membayar setiap penyelewengannya, justru dihukum sangat ringan, dan sebagian yang sudah menjalani hukuman sedang menikmati hasil korupsinya. Penegakan hukum terhadap para koruptor hanya berkutat pada rumusan normatif Undang-Undang, tetapi hasil akhirnya tidak membuat jera. 

Persoalan kekerasan atas nama agama, juga menurut Andreas masih menjadi masalah pelik di era reformasi ini. Makin bertumbuhnya radikalisme di kalangan masyarakat sangat mengkhawatirkan. Negara harus menemukan akar radikalisme tersebut dan menyelesaikannya, dan menemukan akar kerukunan otentik yang sudah tertanam mendalam di dalam kebudayaan. 
“Saya masih percaya adanya kerukunan otentik di Indonesia, yaitu jenis kerukunan yang sudah ada dari dulu dalam masyarakat kita yang tidak dikomando, tidak diatur-atur,” katanya.

(suarapembaruan.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar