Sejak dahulu kala, perang digunakan manusia
sebagai salah satu cara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan dan motif
perang bermacam-macam. Sejarah membuktikan bahwa teknologi amat mempengaruhi
bentuk dan metode dari perang tersebut.
Dahulu perang memestikan para pihak
berhadap-hadapan adu senjata saling membunuh. Perkembangan teknologi
persenjataan memungkinkan perang bisa dilakukan tanpa berhadap-hadapan lagi.
Dampaknya perang dengan model seperti ini menjadi jauh lebih mematikan.
Ancaman yang terdapat pada perang di domain
ini cukup kompleks, banyak bentuknya dan juga tak kalah bahayanya. Seiring
dengan semakin intensifnya penggunaan teknologi informasi pada berbagai sektor
kehidupan masyarakat, maka tingkat kerawanannya pun ikut membumbung tinggi.
Masih ingat Stuxnet? Virus yang dilaporkan
pada 2010 ini dapat mengganggu proses industri dan bahkan menghancurkan
equipment fisik yang digunakan. Bagaimana caranya?
Virus worm itu mengubah informasi kondisi dari
peralatan yang digunakan industri untuk selalu menunjukkan bahwa semuanya
berjalan normal. Sehingga hal ini akan mengelabuhi operator yang memonitor
kondisi semua peralatan sehingga akhirnya peralatan pun bisa jebol.
Virus yang awalnya didesain untuk menyasar
industri energi nuklir Iran
ini sebenarnya dapat menginfeksi pula untuk industri-industri lainnya yang
mempunyai kemiripan, bahkan termasuk industri milik pengirimnya sendiri. Dan
beragam serangan jenis lain yang makin sering kita temui.
Korbannya maupun pelakunya tidak pandang bulu.
Siapapun mungkin menyerang maupun diserang. Bisa oleh amatir, bisa profesional.
Bisa oleh individu, bisa oleh kelompok bahkan negara.
Januari 2012 yang lalu, Mike McConnell, mantan
direktur NSA dibawah presiden George W Bush mengatakan bahwa negaranya telah
melakukan serangan kepada sistem komputer di beberapa negara.
Walau McConnell tidak menyebut negara mana
yang mereka serang, tapi menurut beberapa sumber lain negara yang dimaksud
adalah Iran .
Pada Juni 2012, New York Times melaporkan bahwa Presiden Obama telah
memerintahkan penyerangan cyber pada fasilitas nuklir Iran .
Beberapa negara telah dengan sangat serius
mempersiapkan diri dalam peperangan jenis ini. China , misalnya, telah menargetkan
untuk memenangkan perang informasi di pertengahan abad 21. Tak ketinggalan Rusia , Israel ,
dan Korea Utara juga mempersiapkan diri secara sangat serius untuk perang di
domain kelima ini.
Bahkan menurut The Economist, Iran mengklaim
memiliki pasukan cyber terbesar kedua di dunia. Kemampuan cyber Iran yang patut
diperhitungkan ini diakui juga oleh AS sebagaimana diungkapkan oleh Jendral
Shelton, komandan pasukan cyber AS.
Kemampuan ini sepertinya juga disebabkan
karena Iran
sering menjadi target serangan dari berbagai pihak. Sementara itu, pasukan
cyber AS sendiri saat ini menurut Shelton berkekuatan sekitar 6.000 orang dan
akan bertambah sekitar 1.000 orang dalam 12 bulan mendatang.
Padahal pada 2010, diungkapkan bahwa AS
memiliki defisit yang sangat besar terkait kebutuhan ahli sekuriti untuk
pasukan cyber mereka.
Waktu itu James Gosler, seorang spesialis
senior cybersecurity yang pernah bekerja di CIA, NSA maupun departemen Energi
AS, mengestimasikan bahwa saat itu di seluruh antero AS hanya ada sekitar 1000
orang yang kompeten di bidang cyber-security ini.
Laporan dari CSIS juga menunjukkan
permasalahan krisis kebutuhan SDM di bidang cyber security di AS ini. Gosler
lebih lanjut mengatakan bahwa untuk mengamankan sistem pemerintah dan
perusahaan-perusahaan besar AS, dibutuhkan setidaknya 20.000 sampai 30.000
spesialis yang berkompeten di berbagai bidang sekuriti.
Artinya jika estimasi Gosler ini mendekati
akurat, maka kekuatan pasukan cyber AS saat ini masih memiliki defisit yang
cukup besar.
Instruksi
Presiden Obama
Menyadari akan kapasitas dan ancaman serangan
cyber terhadap infrastruktur kritikal negaranya, maka 12 Februari 2013 yang
lalu Obama mengeluarkan instruksi Instruksi tersebut dilatar-belakangi dengan
terus berulangnya serangan cyber terhadap infrastruktur kritikal sehingga
menuntut peningkatan keamanan cyber.
Bahkan dalam instruksi tersebut Obama
menyatakan bahwa ancaman cyber ini merupakan salah satu tantangan yang paling
serius terhadap keamanan nasional AS yang harus dilawan.
Bahwa komunikasi di antara para pihak tersebut
terkait informasi keamanan cyber mesti ditingkatkan, serta bersama-sama
berkolaborasi untuk mengembangkan dan menerapkan berbagai standar dengan
berbasis pada risiko.
Pada instruksi tersebut Obama juga menetapkan
pihak-pihak yang akuntabel, yang bertanggung jawab, yang perlu dijadikan nara sumber, serta yang
perlu diinformasikan terkait program-program peningkatan keamanan cyber di AS,
utamanya yang terkait dengan infrastruktur kritikal.
Antara lain Presiden Obama memerintahkan
kepada menteri keamanan dalam negeri untuk mengarahkan direktur NIST (lembaga
standard dan teknologi AS) untuk memimpin pengembangan framework yang ditujukan
untuk menekan risiko-risiko cyber terhadap infrastruktur kritikal.
Framework tersebut mesti mengandung
standard-standard, metodologi, dan proses-proses yang menyelaraskan
pendekatan-pendekatan kebijakan, bisnis dan teknologi untuk mengatasi
risiko-risiko cyber.
Untuk penyusunan framework tersebut,
setidaknya dalam 240 hari direktur NIST harus sudah mempublikasi versi
draft-nya. Kemudian dalam 1 tahun sejak instruksi tersebut ditandatangani harus
sudah mempublikasikan framework finalnya.
Namun demikian asesmen terhadap risiko pada
infrastruktur-infrastruktur kritikal diperintahkan untuk dilakukan tanpa perlu
menunggu framework tersebut selesai, sehingga dapat diketahui profil risiko
dari setiap infrastruktur kritikal berikut dampaknya pada keselamatan dan
kesehatan publik, keamanan ekonomi, ataupun keamanan nasional yang lebih luas.
Tapi betapapun jalan masih cukup panjang sebelum instruksi ini bisa berjalan
secara efektif.
AS memang sangat wajar untuk mengkhawatirkan
ancaman cyber ini. Barangkali tidak ada negara di dunia ini yang lebih rentan
serangan cyber dibanding negeri Paman Sam ini.
Hal ini -- selain pengaruh sepak terjang
politik luar negeri mereka -- karena ketergantungan terhadap IT di negara yang
kini dipimpin oleh Obama itu begitu tingginya dan meliputi hampir semua sektor.
Sehingga dampak yang ditimbulkan akibat serangan cyber pada infrastruktur
kritikal dapat benar-benar menjadi bencana yang mengerikan.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Ponemon
Institute, misalnya, menyatakan bahwa AS adalah negara yang memiliki rata-rata
kerugian finansial terbesar jika terjadi serangan cyber (diikuti oleh Jerman,
Inggris, dan Prancis).
Alhasil, sikap penting yang harus diambil
adalah menyadari bahwa ancaman cyber itu memang sebuah realitas yang harus
diperhatikan dengan sangat serius, baik pada tingkatan organisasi maupun
negara.
Ruang cyber sering disebut juga sebagai domain
perang kelima, selain darat, laut, udara, dan ruang angkasa. Walaupun karena
motif-motif tertentu (misalnya oleh vendor piranti security) terkadang memang
suka dilebih-lebihkan, bukan berarti risiko ini menjadi berkurang prioritasnya.
Pendekatan yang rasional dan komprehensif akan
membuat keamanan dari organisasi maupun negara menjadi semakin mantab. Lalu,
bagaimana dengan Indonesia ?
Tentu tidak perlu menunggu kondisinya menjadi segawat di AS dulu, bukan?
*Umar Alhabsyi
(detik.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar