"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Sabtu, 18 Mei 2013

Isu Mazhab di Syria: Bonus Buat Israel


Oleh : Dina Y Sulaeman

Menganalisis Syria, buat sebagian orang, termasuk saya, terasa agak sensitif. Aroma mazhab menguar dengan kental, sehingga seolah-olah publik dipecah dua. Pendukung Syria diidentikkan dengan orang-orang Syiah, seolah-olah Bashar Assad adalah penganut Syiah yang taat dan harus dibela habis-habisan. Padahal, faktanya Assad adalah pemimpin yang sekuler. Dia penganut Syiah Alawi, mazhab yang berbeda jauh dengan Syiah ala Iran yang sangat patuh pada garis komando ulama. Jadi, Assad bukanlah pendukung Wilayatul Faqih (pemerintahan ulama di Iran). Fakta bahwa Syria berhubungan baik dengan Iran lebih ke faktor geopolitik, bukan mazhab. Sebaliknya, orang-orang Sunni lebih cenderung percaya pada pemberitaan betapa kejamnya Bashar Assad yang tega membunuhi rakyat sendiri, terutama membunuhi para aktivis Islam non-Syiah. Bahkan ada yang menilai Assad itu lebih kejam dari Israel.


Pertanyaan saya, mengapa kaum muslimin tidak keluar dari pengotak-kotakan seperti ini? Konflik di Syria sangat jelas, bukan konflik antarmazhab. Lalu mengapa publik harus berpihak pada salah satu pihak dengan landasan mazhab? Situasi perpecahan seperti inilah yang justru menjadi bonus buat Barat. Mereka ingin menggulingkan Assad demi kepentingan mereka. Namun, kekuatan propaganda mereka telah memberi keuntungan lain: semakin terpecahnya umat Islam. Alih-alih berdiri di barisan yang sama untuk menentang satu musuh bersama: aliansi AS-Israel-NATO, umat Islam malah saling tuduh.


Saya ingin mengutip satu dari sekian banyak analisis yang ditulis pengamat Barat anti-perang. Mereka ini dengan jernih berusaha mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di Syria, lepas dari urusan agama. Prof. Michel Chossudovsky adalah salah seorang pengamat politik Timur Tengah yang aktif menulis tentang Syria. Motivasinya sederhana saja: mencegah perang, karena perang hanya akan merugikan warga dunia pada umumnya. Perang hanya menguntungkan segelintir elit politik dan para industrialis perang (penyedia senjata, juragan minyak, dll).

Dalam tulisannya ‘Syria: NATO’s Next Humanitarian War’, Chossudovsky mengkompilasi data-data yang dia dapatkan dari sumber-sumber Barat sendiri, yang membuktikan bahwa kerusuhan di Syria (yang disebut media Barat sebagai ‘gerakan protes damai’) adalah sebuah rekyasa yang dilaksanakan sejak lama oleh aliansi AS-NATO- Israel (apa tujuannya, bisa dibaca di tulisan saya sebelumnya “Syria: Prahara di Negeri Pengungsi”). Menurut Chossudovsky, aksi ‘protes’ di Syria tidak lahir dari perpecahan politik internal sebagaimana dideskripsikan oleh media mainstream media. Memang benar, Syria bukan negara surga di mana semua rakyatnya berada di satu kubu. Namun, kekuatan oposisi tidaklah mengakar luas di tengah rakyat sampai-sampai mampu memicu kerusuhan besar-besaran. Sejak awalnya, ini adalah hasil dari sebuah operasi rahasia intelijen AS dan NATO yang bertujuan untuk memicu kekacauan sosial dan mendestabilisasi Syria.

Chossudovsy menulis, sejak pertengahan Maret 2011, kelompok-kelompok Islamis bersenjata yang secara rahasia didukung oleh intel Barat dan Israel, mulai melakukan serangan-serangan terorisme, menembaki gedung-gedung pemerintahan, polisi, dan masyarakat sipil. Hal inilah yang kemudian juga diakui oleh Clinton dalam wawancaranya dengan BBC: Al Qaeda berada di balik serangan-serangan itu; dan ini menunjukkan absurditas kondisi di Syria, bahkan AS bersedia bekerjasama dengan Al Qaeda demi melengserkan Assad. Chossudovsky menyandarkan bukti dari pernyataannya ini pada laporan dari the Arab League Observer Mission. Selain itu, pemberitaan-pemberitaan dari media massa Barat sendiri menyinggung tentang kehadiran M16 (Dinas Rahasia Inggris) dan CIA di Syria. Misalnya Daily Star melaporkan bahwa AS, Inggris, dan Turki mensuplai para pemberontak dengan senjata, dan menyatakan bahwa ‘Syria mendukung Hizbullah dan hal ini mengancam Timur Tengah.” Harian ini juga melaporkan bahwa Menteri Pertahanan Inggris mengkonfirmasi bahwa Inggris tengah menyusun rencana rahasia untuk memberlakukan no-fly-zone di Syria, namun perlu dukungan dari PBB. Tapi bila dukungan PBB tidak juga didapat, akan ada kondisi yang memaksa NATO bertindak. Daily Star juga mengutip narasumbernya yang memprediksi bahwa bahwa pertempuran di Syria akan lebih besar dan lebih berdarah daripada Libya.

Kini mari kita lihat sekilas apa yang ditulis jurnalis independen, Thierry Meyssan, yang sebelumnya aktif meliput langsung ke berbagai kawasan konflik dan memberikan laporan yang berbeda dengan media mainstream (misalnya, kisruh pemilu Iran tahun 2009, Meyssan melaporkan langsung situasinya dari Tehran dan menunjukkan berbagai kebohongan media mainstream, begitu pula konflik di Libya). Dalam laporan panjang di websitenya(www.voltairenet.com) , Meyssan menganalisis berbagai kebohongan yang dilakukan media mainstream.

Meyssan antara lain melaporkan bahwa dengan dukungan Rusia, tentara nasional Syria akhirnya menyerbu Homs pada 9 Februari, setelah semua upaya mediasi dengan pasukan pemberontak (yang menamakan diri Free Syrian Army/FSA) gagal dilakukan. FSA akhirnya kalah dan mundur ke wilayah Emirat seluas 40 hektar yang langsung dikepung oleh tentara nasional, sampai akhirnya wilayah itu pun berhasil direbut tentara nasional pada tanggal 1 Maret. Namun ada yang tidak diberitakan media mainstream tentang kejadian di Emirat: pasukan FSA membantai orang-orang Kristen di dua desa, saat para mereka berupaya melarikan diri ke Lebanon. Alih-alih memberitakan realitas keji di Emirat, media mainstream malah terus menyebarluaskan kisah-kisah tentang kekejaman pasukan Assad kepada rakyatnya. Dan sebagaimana yang dulu terjadi dalam kasus Iran dan Libya, media-media yang bekerjasama bahu-membahu dalam propaganda ini adalah Aljazeera (Qatar), Al-Arabiya (Saudi Arabia), France24 (France), BBC (UK) and CNN (USA). Meyssan menyebut kesemuanya berada di bawah koordinasi dengan jurnalis Israeli.

Lalu, ada laporan lagi yang cukup membuat heboh dunia maya akhir-akhir ini, yaitu terbongkarnya video palsu soal kerusuhan di Syria, dilakukan oleh Danny Abdul Dayem (22 tahun, warga Suriah-Inggris). Dia bekerja sama Anderson Cooper dari CNN Amerika. Parahnya, video palsu yang menggunakan efek suara-suara bom dan letusan senjata, seolah-olah para aktivis sedang dibantai tentara nasional Syria itu, disebarluaskan juga oleh media mainstream.

Ada satu fakta menarik yang dilaporkan Meyssan dalam salah satu tulisannya, yaitu ternyata pemimpin FSA (=Pasukan Pembebasan Syria) adalah Aldel Hakim Belhaj. Siapa Belhaj? Dia adalah pemimpin Al Qaeda legendaris di Libya, menjabat sebagai Gubernur Militer di Tripoli. Temuan Meyssan ini sejalan dengan penemuan Chossudovsky (dan kemudian juga diakui terang-terangan oleh Menlu AS, Clinton, bahwa Al Qaeda berada di tengah-tengah para pemberontak Syria).

Ada banyak lagi kejanggalan yang bisa ditemukan dalam konflik Syria, yang tidak perlu berkaitan dengan agama dan mazhab. Intinya, konflik Syria adalah sebuah rekayasa dari AS, NATO, dan Israel. Terlalu naif bila ada yang mengatakan bahwa mereka sedang berusaha menggulingkan Assad untuk membantu rakyat Syria yang tertindas. Ini adalah cerita lama yang berulang. Assad tidak pro Israel, mendukung Hizbullah dan Hamas, dan berbaik-baik dengan Iran. Semua faktor ini menjadi penghalang bagi ambisi Israel untuk menguasai Timur Tengah. Saat ini umat Islam menghadapi musuh yang sama dengan Assad, yaitu Israel. Sayang sekali, umat Islam justru sibuk saling tuduh dan tidak mau satu suara; hanya karena termakan propaganda media Barat. Bukan hanya rakyat awam. Sebagian pemimpin negara-negara Islam pun ramai-ramai mendukung Barat untuk menggulingkan Assad. Dan Israel pun tertawa, karena upayanya menggulingkan Assad berbuah bonus: perpecahan di kalangan muslim.

Terakhir, apa untungnya buat kita orang Indonesia mengamati kasus Syria? Silahkan membaca berbagai analisis yang menyebutkan bahwa skenario disintegrasi di Syria (dan Libya) sesungguhnya sedikit demi sedikit sedang diimplementasikan di Indonesia. Kecerdasan untuk melihat siapa musuh, siapa kawan, akan sangat bermanfaat bila kita tidak ingin negeri kita sendiri kelak hancur lebur seperti Syria atau Libya.


Syria: Prahara di Negeri Kaum Pengungsi


Ada satu tesis yang pernah saya dapat dari seorang ulama Iran: dalam menganalisis konflik di dunia ini, lihat siapa yang berada di sisi AS, maka itulah pihak yang salah (atau lebih salah). Silahkan saja untuk tidak percaya. Tetapi, tesis ini berkali-kali terbukti dalam berbagai analisis politik, bahkan yang ditulis analis Barat sekalipun. Di manapun AS berada, maka yang berada di barisan AS-lah yang terbukti berbuat makar. Tak perlu jauh-jauh, kita masyarakat Indonesia hari ini bisa melihat, siapa saja yang berada satu kubu dengan AS (lewat tangan-tangannya, semisal IMF atau Bank Dunia, atau LSM-LSM asing, atau dalam berbagai bentuk ‘tangan’ lainnya), pastilah dia melakukan aksi-aksi yang anti-rakyat. Contoh konkritnya, mantan Menkeu kita yang rajin menambah hutang negara ke Bank Dunia itu. Sudah banyak analis ekonomi yang memperingatkan bahaya hutang, tapi mantan menkeu kita yang anak emasnya AS itu tetap saja berhutang. Tak heran ketika dia tersandung kasus Century yang merampok uang rakyat 6,7 T, induk semangnya menyelamatkannya dengan cara mengangkatnya sebagai salah satu Direktur Bank Dunia.

Tesis ini kembali terbukti di Libya dan Syria. Libya, betapapun Qaddafi adalah diktator bagi rakyatnya, tapi ketika AS ikut campur, bisa dipastikan di antara kedua pihak, Qaddafi atau AS, maka yang lebih salah adalah AS. Qaddafi adalah pemimpin yang kejam terhadap lawan politiknya, tapi dia juga pemimpin sebuah negara dengan cadangan minyak terbanyak di Afrika; minyak yang diincar oleh serigala-serigala rakus di belakang NATO. Lebih-lebih lagi, Qaddafi sedang merintis gerakan ‘pertukaran minyak dengan emas’. Qaddafi tahu bahwa Dollar dan Euro adalah uang semu; dia menyerukan agar Afrika menjual minyak dengan emas. Bila gagasan Qaddafi terlaksana, Euro dan Dollar akan langsung kolaps. Serigala-serigala rakus (para kapitalis top dunia) tidak akan rela menukar emas mereka dengan minyak. Mereka ingin sistem dunia tetap berjalan sebagaimana hari ini: mereka bebas membeli emas dengan uang kertas yang harganya hanya setara dengan harga cetak uang kertas itu (=selembar kertas yang dicetak angka-angka tertentu di atasnya). Gagasan perlawanan dari Qaddafi adalah gagasan berbahaya, dan untuk itu dia harus disingkirkan. Untuk menutupi belangnya, mereka menamakan aksi mereka dengan istilah ‘humanitarian intervention’, melakukan operasi militer demi kemanusiaan. Bahkan mengebom rumah Qaddafi dan menewaskan anak-cucunya pun dianggap sah.

Sekali lagi, kita tidak sedang membela Qaddafi, tapi dalam kasus ini, AS jauh, jauh, jauh lebih kotor dari Qaddafi.
Bagaimana dengan Syria? Bashir Al Asad bukan pemimpin suci yang harus dibela sampai mati. Tapi, Syria selama 60 tahun terakhir berada di kubu yang berbeda dengan AS. Syria berada di kubu yang sama dengan Hizbullah, Hamas, dan Iran untuk menentang Israel, ‘anak emas’ AS. Mari kita pakai lagi tesis di atas, maka akan terbukti bahwa sekalipun Asad bukan pemimpin suci, tapi AS jauh,jauh, jauh lebih kotor.

Syria adalah sebuah negeri dengan tingkat pengangguran yang semakin hari semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh sikap Asad sendiri yang mau saja dibodoh-bodohi IMF. Syria adalah negara penerima petunjuk IMF: berusaha memperbaiki ekonomi dengan deregulasi keuangan, reformasi perdagangan, dan privatisasi, yang ujung-ujungnya hanya memperkaya yang kaya, dan memperbanyak kelas miskin dan pengagguran. Maka, memang wajar bila ada demo-demo menentang Asad.

Namun, ketika AS berkeras ingin menyingkirkan Asad dengan alasan demokrasi (padahal pada saat yang sama melindungi raja-raja Arab yang sudah jelas-jelas monarkhi dan despotik), maka, AS-lah yang jauh, jauh, jauh lebih salah. Benar bahwa ada sebagian rakyat Syria yang demo menentang Asad, tapi siapa mereka? Mengapa mereka juga bersenjata militer? Darimana senjata mereka? Mereka menembaki demonstran dan polisi, lalu mengapa media Barat tidak mengupas hal ini?

Pakar Timur Tengah, Michel Choosudovsky menulis ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa manipulasi dalam pemberitaan aksi demo di Syria. Bahkan media tidak memberitakan adanya demo besar-besaran pro Asad, dengan jumlah peserta yang jauh lebih besar daripada demo anti-Asad. Kenyataan bahwa Asad minta maaf kepada rakyatnya karena ada tentara yang bersikap keras menghadapi demonstran, menujukkan kualitas Asad: dia dengan segala kekurangannya sesungguhnya cinta kemanusiaan.
Asad adalah ‘bapak’ bagi jutaan pengungsi Palestina dan Irak. Sejak 63 tahun yang lalu, Syria adalah tempat berlindung bagi orang-orang Palestina yang terusir dari tanah air mereka sendiri. 

Syria bahkan menjadi markas perjuangan Hamas untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Israel. Kondisi 500.000 pengungsi Palestina di Syria jauh lebih baik daripada kondisi pengungsi Palestina di Lebanon atau Jordan. Para pengungsi itu mendapat layanan kesehatan dan perumahan yang sama sebagaimana rakyat Syria.

Masih belum cukup, perang Irak pun membawa dampak membanjirnya pengungsi ke Syria. AS yang konon datang ke Irak untuk menyelamatkan rakyat Irak, justru telah menyebabkan 1,5 juta warga Irak terpaksa mengungsi, menjauhkan diri dari berbagai aksi kekerasan di Irak. Bagi Syria yang berpenduduk 18 juta jiwa itu, kedatangan 2000 pengungsi per hari (data tahun 2007), jelas memerlukan sebuah kelapangan hati yang luar biasa. Bandingkan dengan Mesir era Mubarak yang dengan bengis menutup pintu perbatasan Rafah, menghalangi pengungsi Palestina, yang sekarat sekalipun, untuk mendapatkan pertolongan.

Menurut UNHCR, kedatangan pengungsi dalam jumlah sangat besar itu menambah berat beban Syria karena mereka diberi layanan sebagaimana warga Syria: pendidikan, kesehatan, rumah, dan subsidi minyak. Tak heran bila Syria disebut sebagai negara yang terbaik di kawasan Timur Tengah dalam memberikan layanan sosial dan ekonomi bagi para pengungsi.

Dan kini, AS dan sekutu-sekutunya berupaya menggulingkan Assad dengan alasan demokrasi. Namun, alasan sesungguhnya adalah jelas: Asad adalah satu-satunya pemimpin Arab yang hingga hari ini tetap teguh menolak berdamai dengan Israel, Asad bahkan membantu Hizbullah untuk melawan invasi Israel ke Lebanon selatan, bahkan Asad menyediakan perlindungan bagi aktivis-aktivis top Hamas. Bagi Israel, Asad adalah duri dalam daging. Dan kepada AS-lah Israel meminta bantuan untuk menyingkirkan Asad. AS, lagi-lagi, menggunakan cara lama, membiayai kelompok-kelompok oposan di Syria untuk melawan Asad. Media pun digunakan untuk membesar-besarkan demo di Syria (bahkan dengan cara curang sekalipun, dengan menggunakan kamuflase gambar-gambar dan video). Bahkan, untuk kasus Libya dan Syria, justru Al Jazeera (yang sering dicitrakan sebagai media non-Barat) yang menjadi ujung tombak untuk menggalang opini dunia agar AS diberi hak untuk melakukan ‘humanitarian intervention’: menyerbu Libya dan Syria, menggulingkan Qaddafi dan Asad, dan mengganti keduanya dengan pemimpin yang bisa ‘diatur’.

(http://dinasulaeman.wordpress.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar