"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Jumat, 01 Maret 2013

Dan Pembunuh-pembunuh Itu Masih Bergentayangan


Konflik atasnama agama akhir-akhir ini yang terus meningkat eksalasinya[1] yang juga telah merenggut korban nyawa adalah fenomena baru di Republik ini. Namun bisa jadi, konflik itu hanyalah modus baru dari berbagai kekerasan di negeri ini. Hal ini hanya bisa dibuktikan, ketika berbagai aksi kekerasan tidak kita pandang sebagai sebuah event yang tidak terpisah dari aksi kekerasan lain. Dalam tulisan ini, saya mencoba menelanjangi geneologi kekerasannya, yang barangkali dari analisisnya akan menemukan modus atau pola yang sama, dan lebih dari itu, bahkan barangkali memiliki tembok struktur kekerasan yang sama.


Persoalan kekerasan atasnama agama atau kasus intoleransi seolah menjadi antitesis bahwa Indonesia adalah mengakui keragaman. Penyerangan, pembakaran, penyegelan, pengusiran, bahkan pembunuhan terhadap kelompok yang dianggap sesat terus saja terjadi. Celakanya, dari banyak dan meningkatnya trend kasus-kasus berbasis kekerasan atas nama agama ini pemerintah gagal menjamin rasa aman bagi warga negaranya, tanpa harus membeda-bedakan latar belakang sosial warga negaranya. Pemerintah terkesan gagap, canggung dan selalu saja terlambat mengatasi persoalan. Maka tak heran, apabila publik banyak menilai pemerintah absen dengan melakukan banyak pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan atas nama agama.


Tulisan ini secara khusus akan membahas bagaimana pemerintah –dari level daerah sampai pusat, melihat persoalan kekerasan atas nama agama. Tentu, faktor-faktor lain seperti adanya syiar kebencian (hate speech), perdebatan tafsir antaraliran, motif perebutan sumberdaya ekonomi, dan lain-lain juga tidak bisa dinegasikan. Namun, saya membatasi diri dalam melihat kasus-kasus tersebut pada peran pemerintah. Publik selama ini latah mengatakan pemerintah melakukan pembiaran. Jika hal ini terbukti benar, pertanyaannya adalah sejauh mana hal tersebut bisa terjadi? Diawali dengan paparan singkat contoh beberapa kasus kemudian dilanjutkan dengan analisis keterlibatan pemerintah terhadap kasus-kasus kekerasan atasnama agama, tulisan ini ingin menguji apa yang telah dituduhkan publik bahwa pemerintah telah melakukan upaya pembiaran.

Tesis singkat tulisan ini adalah pemerintah tidak saja melakukan pembiaran, lebih jauh, pemerintah “mendukung” kekerasan berbasis agama. Bahkan, pemerintah terus “memelihara” kekerasan dalam negara. Di titik inilah ada kekhawatiran akan lahirnya sebuah kolaborasi baru untuk membuat modus yang juga baru untuk kekerasan. kolaborasi baru ini adalah lahirnya rezim fasisme-“relijius”.

Bisa dibayangkan bagaimana mengerikannya hidup di tempat di mana pemerintah yang oleh Konstitusi dimandatkan untuk menjaga keamanan warga negaranya justru adalah pelaku kekerasaan itu sendiri. Bagaimana hal ini bisa terjadi.


Syiah Sampang, HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin


Publik Indonesia seolah tersontak, belum genap sepekan merayakan Idul Fitri, kasus Syiah di Sampang yang meletus pada 26 Agustus lalu. Satu orang dari kelompok Syiah tewas isa-sia. Tentu, persoalan Syiah di Sampang adalah persoalan multidimensi. Satu sisi memang ada persoalan keluarga, tetapi tidak bisa dikesampingkan bahwa di sisi lain terdapat juga persoalan sosial ekonomi-politik dan kultur khususnya di Kabupaten Sampang, Madura. Syiah di Sampang sudah eksis selama tiga generasi,[2] namun mengapa baru akhir-akhir ini bisa meletus?

Dari data di lapangan[3] menunjukkan, Kejaksaan dan MUI Sapang merekrontruksi kasus Sampang sebagai kasus penodaan agama dan digiring untuk melakukan penghukuman terhadap Tajul Muluk dan pelarangan terhadap Siah di Sampang.

Hal ini terjadi ketika dilaksanakannya pertemuan antara Kejaksaan Sampang, MUI dan Roeis Al Hukama, Khozairi dan Moh. Nur. Hasil pertemuan inilah yg menjadi rekrontruksi penodaan agama oleh Tajul Muluk dan penyesatan Syiah terjadi pada 31 Desember 2011. Bukti lain menunjukkan, Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat) Sampang yang anggotanya antara lain terdiri Kejaksaan, Kepolisian, TNI, Depdagri yang menggelar rapat 4 Janurai 2011 di Kantor Kejaksaan Sampang. Hasilnya adalah surat edaran No: TAR. B-3/0.5.36/Dsp.5/01/2012 ditandatangani oleh Danang Purwoko Adji Susesno, SH., Kejari Sampang yang ditembuskan ke DPRD Sampang, Ketua PN Sampang, anggota Tim Pakem Kabupaten Sampang.

Inti dari hasil rapat Bakorpakem ini menjadi subtansi surat edaran tersebut adalah ajaran yang disebarkan oleh Ust. Tajul Muluk sesat dan menyesatkan serta meresahkan masyarakat. Ust. Tajul Muluk melakukan penistaan agama dan melanggar UU PNPS/1965. Hasil Rapat juga merekomendasikan Bakorpakem untuk mengeluarkan larangan terhadap ajaran Tajul Muluk di Kabupaten Sampang.
Kasus yang menimpa HKBP Filadelfia Tambun, Bekasi memiliki geneologi yang kurang-lebih sama dengan kasus-kasus terhadap penyegelan gereja-gereja di Indonesia lainnya, khususnya GKI Taman Yasmin, Kota Bogor. Bedanya barangkali, apa yang dilakukan oleh pengurus GKI Taman Yasmin dan HKBP Filadelfia tidak diam dengan perlakuan diskriminasi pemerinatah daerah dengan menggugat balik.

Diawali dari sengketa izin pendirian rumah ibadat yang dinilai oleh orang yang mengatasnamakan “warga sekitar” yang tidak percaya pada sejumlah kelengkapan persyaratan pendirian rumah ibadat sesuai dengan SKB dua menteri, khususnya, mereka ragu soal tandatangan warga yang menyetujui rencana pendirian rumah ibadat. Kasus ini, kemudian disengketakan dan pemerintah kabupaten/ kota mengakomodir tuntutan “warga setempat” untuk melakukan penyegelan gereja. Penyegalan pun dilakukan oleh Satpol PP. Penyegelan sepihak ini tentu membawa konsekuensi hukum, karena ijin pembangunan rumah ibadah sudah dikantongi oleh pengurus gereja yang gerejanya telah disegel. Tidak ingin hak beribadahnya terampas, mereka pun melakukan gugatan ke PTUN terhadap bupati/ walikota setempat. Ketika tuntutan mereka dimenangkan, bupati dan walikota ini melakukan banding ke MA. Pun di MA, pihak gereja tetap memenangkan perkara ini dan MA merekomendasikan untuk mencabut larangan beribadah.

Tetapi apa yang terjadi? Putusan MA ini tidak diindahkan bupati atau walikota tersebut. Dan tetap saja, umat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia tidak bisa beribadah. Pun ketika mereka merasa yakin bahwa prosedur pendirian rumah ibadatnya sudah tepat dan mereka ngotot melakukan ibadat mingguan di luar bangunan yang telah disegel, sekelompok massa melakukan intimidasi selama ibadat.


State Supports Violence


Dari beberapa contoh kejadian kekerasan atasnama agama tersebut di atas, nampak jelas bahwa terdapat keterlibatan unsur pemerintah di sana. Pemerintah, tidak saja diam dan abai terhadap serangkaian kekekerasan atasnama agama. Pemerintah menjadi pelaku aktif yang ikut menginisiasi meluasnya kebencian dan kemarahan yang menyulut publik untuk bersama-sama melakukan kekerasan dalam berbagai derajatnya, dari penyerangan, perampasan, pembakaran, perkosaan hingga pembunuhan.

Jika pemerintah dikatakan abai, tentu pernyataan ini mudah disangkal. Dari pengakuan salah para korban, tiga hari sebelum kejadian, telah berhembus Short Message Service tentang rencana penyerangan terhadap komunitas Syiah di Sampang. Aparat keamanan dalam hal ini polisi, sudah dihubungi. Namun pada Minggu pagi 26 Agustus, hanya sekitar lima personil polisi berseragam yang tampak di sekitar lokasi. Sorenya, perkampungan terbakar. Tentu fakta ini mengingatkan kita pada video penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Terdapat pola yang sama, yaitu aparat seolah menganggap remeh persoalan dengan hanya menurunkan sedikit saja personilnya. 

Aparat tampak kualahan di tengah massa bermuka beringas yang membawa pentungan, golok dan clurit di tangan.
Aparat berdalih masih kekurangan personil dan anggaran. Tentu dalih ini lemah dasarnya. Aksi Detasemen Khusus 88 Antiteror lebih dari cukup untuk menyangkal keluhan kepolisian. Dilengkapi peralatan canggih, aksi cekatan, tak jarang ada televisi yang bisa menayangkan secara langsung aksi perlawanan terhadap teroris dari yang berkelas dunia sampai teroris pemula.

Pertanyaannya kemudian mengapa kekerasan atasnama agama yang juga telah merenggut korban nyawa manusia juga tidak dianggap menjadi sebuah ancaman serius terhadap persoalan keamanan di dalam negeri? Apakah pemerintah tunduk terhadap mereka yang menggunakan atribut agama ketika melakukan kekerasan? Sementara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehari sesudah Insiden Monas, 1 Juni 2008 pernah mengatakan, ”Negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan. Negara harus menegakkan tatanan yang berlaku untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia”.

Bakorpakem, Bupati, Walikota, Polisi, TNI AD, Intelijen dan Kejaksaan adalah aparatus negara di bawah Presiden. Bagaimana jika mereka yang seharasnya bertanggungjawab justru terlibat aktif terhadap kekerasan atasnama agama? Dan apa alasannya mempertahankan peraturan karet dan diskriminatif seperti SKB 2 Menteri, UU PNPS, UU Pornografi dan lain-lain jika bukan untuk mengelola (maintaining) kekerasan itu sendiri dalam tubuh negara.
Peraturan semacam itu bisa dilihat seperti rem tangan. Siapa saja yang “melawan” penguasa –saat-saat ini penguasa adalah oligarki antara pemilik tafsir, uang, massa dan senjata– akan habis dilibas. Komunitas Ahmadiyah, Syiah, GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Gereja-gereja di Aceh selatan, dan masih banyak lagi adalah saksi hidupnya.


Lahirnya rezim fasis-“relijius”


Lalu, apa bedanya kekerasan atasnama agama akhir-akhir ini dengan kekerasan pada masa Orde Baru? Saat ini pun unsur aparatus negara juga aktif terlibat. Yang baru adalah adanya tangan ketiga. Mereka yang beratribut agama namun meneriakkan “bunuh-bunuh-bunuh”. Mereka yang mengklaim ajarannya paling benar dan hartus diberlakukan secara formal. jika ada yang menentang, mereka tak tanggung-tanggung memaksakannya dengan cara-cara kekerasan. kata-kata semacam halal darahnya, aksi sweeping terhadap warung pada saat bulan puasa, bakar masjid Ahmadiyah, dan meminta pemerintah turun tangan untuk ikut menyegel gereja yang “tidak sah” ijin pendiriannya bagi “warga sekitar” adalah contoh yang mudah bisa kita temukan dalam siaran-siaran berita.

Jika kelompok-kelompok ini memaksakan cara pandang atas kebenaran dengan pemaksaan dan juga menghalalkan kekerasan, bukankah ini juga yang digunakan oleh kaum fasis untuk menumpas siapa saja yang berbeda dalam melihat kebenaran? Karena kebenaran mutlak adalah milik penguasa fasis itu?

Dari contoh-contoh dan analisis di atas dapat ditarik sebuah simpulan adanya kolaborasi baru untuk memodifikasi kekerasan. Kelompok yang memaksakan kebenarannya dengan menghalalkan cara-cara kekerasan berkomplot dengan pemerintah yang punya senjata dan kebal hukum. Kebal hukum di sini saya dapatkan dari sebuah studi singkat menelusuri tidak adanya aktor intelektual yang dihukum atas berbagai tindak kekerasan pascarefermasi. Bukankah hal ini bisa jadi sebagai sebuah tanda lahirnya sebuah rezim baru, yaitu rezim fasis yang berkedok “relijius”; fasisme-“relijius”.

Siapa sejatinya aktor intelektual pelaku kekerasan di Republik ini? Siapa pembuhuh Munir? Siapa aktor intelektual yang mengobarkan kebencian, menyusun taktik serangan sistematis terhadap kelompok Ahmadiyah, Syiah, dan di berbagai tempat lain yang pernah ditangkap, dihadapkan di meja pengadilan, dan diganjar hukuman?

Jika pemerintah ini –dari berbagai levelnya- tidak hanya abai, melainkan terlibat akif dan bahkan melangsungkan dan melanggengkan praktik kekerasan, bukankan pembunuh-pembunuh itu sejatinya masih bergentayangan?


[1] Setara Institute melaporkan, kekerasan berbasiskan agama sepanjang tahun 2007 sebanyak 135 kasus, tahun 2008 menjadi 265 kasus, 2009: 200 kasus, 2010: 216 kasus, lalu meningkat kembali pada tahun 2011 menjadi 244 kasus. Korban terbanyak adalah jemaat Ahmadiyah dan umat Kristiani
[2] Syi’ah memasuki pulau Madura dibawa oleh seorang Kiai bernama Makmun, seorang yang awalnya Sunni. Ia mendapatkan kabar mengenai tumbangnya Syah Iran Reza Pahlevi oleh Ayatollah Khomeini, melalui seorang sahabatnya di Iran pada awal tahun 80-an. Ia lalu mempelajari Syi’ah dan mengirimkan anak-anaknya yaitu Iklil al-Milal, Tajul Muluk, Roisul Hukama dan Ummi Hani ke Yayasan Pesantren Islam (YAPI) di Bangil. Tajul Muluk mendapatkan kesempatan untuk belajar di Pondok Pesantren Sayyid Muhammad Al-Maliki di Arab Saudi pada 1993. Namun pendidikan itu berhenti ditengah jalan karena terkendala biaya, sehingga ia kembali ke Sampang pada 1999, sumber;http://www.tempo.co/read/news/2012/09/02/173426989/Bagaimana-Kronologi-Syiah-Masuk-Sampang. Diakses pada 06 September 2012
[3] Siaran Pers HRWG 3 September 2012


* Daniel Awigra
Serikat Jurnalisme Untuk Keberagaman
(sejuk.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar