"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Rabu, 13 Februari 2013

Indonesia Harus Mewaspadai Manuver Udara dan Ruang Angkasa Amerika Serikat dan Jepang


Manuver udara Amerika Serikat di Indonesia perlu diwaspadai oleh para stakeholders(pemangku kepentingan) kebijakan luar negeri dan keamanan nasional Indonesia. Baru-baru ini berkembang informasi bahwa satelit-satelit pengindra Sumber Daya Alam (SDA) Amerika Serikat LANDSAT-1 sampai VII telah melintasi wilayah udara Indonesia pada ketinggian 36 ribu km di atas bumi. Tentu saja ini suatu perkembangan yang cukup mencemaskan dari segi kedaulatan dan integritas territorial udara Republik Indonesia.


Betapa tidak. Menurut informasi dari Arie Sukiasto, pakar politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, dari pantauan satelit-satelit pengindra SDA tersebut, berhasil menemukan beberapa data penting bahwa mulai dari Aceh hingga Papua, ternyata penuh dengan cekungan Minyak Bumi dan Mineral Gas.
Sudah barang tentu serangkaian data-data ini selain penting juga strategis dari sisi kepentingan nasional Amerika. Sehingga dengan demikian, Amerika punya referensi yang faktual dan terukur untuk menguasai daerah-daerah Indonesia yang memiliki nilai strategis dari segi geopolitik. Khususnya yang kaya minyak dan mineral gas. Termasuk yang belakangan mulai terungkap di Sampang, Madura-Jawa Timur.

Justru gara-gara terjadinya pembantaian warga Muslim Syiah di Sampang, daerah ini mulai terungkap kandungan minyaknya yang cukup besar di Indonesia. Sekadar gambaran betapa kayanya Madura, mari kita telisik pendapatan daerah Kabupaten Sumenep dari bagi hasil migas untuk tahun 2011 dan 2012.

Berdasarkan data 2012 yang berdasarkan catatan seorang pakar energy ST Natanegara, Sumenep diperkirakan akan mendapatkan dana bagi hasil minyak dan gas sebesar Rp 8,8 triliun. Padahal menurut data resmi yang dipublikasikan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumenep hanya mencapai Rp 4 miliar. Padahal, kalau merujuk pada catatan St Natanegara, Rp 4 miliar yang katanya diperoleh dari sumber minyak dan gas, ternyata hanya sebagian kecil yang dialokasikan untuk program community development. Sedangkan perolehan Sumenep dari sumber minyak yang sebesar Rp 8 triliun tersebut, pajak pribadi pegawai MIGAS belum masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Masuk akal jika Amerika, Inggris, Kanada dan Cina, berebut menjadi kontraktor di daerah Sampang-Madura dan sekitarnya. Untuk blok Bawean, yang berhasil jadi kontraktor adalah Kerr McGee of Indonesia sedangkan operatornya adalah Camar Resources dari Kanada.
Betapa strategisnya nilai geopolitik Madura bisa dilihat melalui beberapa fakta berikut ini:

Blok Bulu Operator: Pearloil Satria Ltd (Uni Emirat Arab) Kontraktor: Sebana Ltd.
Blok Pangkah Operator: Amerada Hess Indonesia-Pangkah Ltd (Amerika Serikat) Kontraktor: Premier Oil Pangkah Ltd.
Blok Onshore and Offshore Madura Strait Area Operator: Husky Oil (Madura) Ltd Kontraktor: Hudbay Oil International Ltd (Inggris).
Blok Karapan Operator: Amstelco Karapan Pte Ltd (Inggris) Kontraktor: Amstelco Karapan Pte Ltd Blok East Bawean I Operator: East Bawean.
Blok East Bawean I Operator: East Bawean Ltd (Kanada) Kontraktor: CJSC Sintezmorneftegaz (Rusia).
Blok South East Madura Operator: PT Energi Mineral Langgeng Kontraktor: PT Energi Mineral Langgeng.
Blok East Bawean II Operator: Husky Oil Bawean Ltd (Kanada) Kontraktor: Husky Oil Bawean Ltd.
Blok North East Madura III Operator: Anadarko Indonesia Company (Amerika Serikat) Kontraktor: Anadarko Indonesia Company.
Blok Madura Offshore Operator: Santos Madura Offshore Pty Ltd Kontraktor: Talisman Madura Ltd (Kanada).
Blok Mandala Operator: PT Bumi Hasta Mukti-Fortune Empire Group Ltd Kontraktor: Konsorsium PT Bumi Hasta Mukti-Fortune Empire Group Ltd.
Blok West Madura Operator: Kodeco Korea (6 Mei 1981-6 Mei 2011), Pertamina (7 Mei 2011-7 Mei 2031). Kontraktor: Kodeco Energy Company Ltd (6 Mei 1981-6 Mei 2011), Pertamina (7 Mei 2011-7 Mei 2031).
Blok North Madura Operator: Konsorsium Australian Worldwide Exploration North Madura NZ Ltd-North Madura Energy Ltd. Kontraktor: Konsorsium Australian Worldwide Exploration North Madura NZ Ltd-North Madura Energy Ltd.
Blok Ketapang Operator: Petronas Carigali Ketapang II Ltd (Malaysia) Kontraktor: Gulf Resources Ketapang (ConocoPhillips-Amerika Serikat).
Blok Terumbu Operator: Australian Worldwide Exploration Terumbu NZ Ltd Kontraktor: Australian Worldwide Exploration Terumbu NZ Ltd.
Blok South Madura Operator: South Madura Exploration Company Pte Ltd Kontraktor: PT Eksindo South Madura.
Blok Madura Operator: Society Petroleum Engineers Petroleum Ltd (Cina) Kontraktor: Society Petroleum Engineers Petroleum Ltd.
Menyadari kenyataan tersebut, maka hal ini telah menjelaskan mengapa Presiden Amerika Barrack Obama telah memutuskan untuk meningkatkan kekuatan angkatan lautnya di Australia. Keputusan Obama untuk menambah sebanyak 2500 personel marinirnya di Darwin, Australia, harus dibaca sebagai bentuk kecemasan Washington terhadap semakin agresifnya Cina tidak saja secara militer, melainkan juga dari segi ofensif ekonominya sebagaimana tergambar melalui pertarungan merebut tender sebagai Kontraktor di daerah kaya MIGAS di Madura-Jawa Timur.

Bagi Amerika, soal MIGAS bukan sekadar merebut Sumber Daya Alam negara-negara lain, melainkan juga sudah menjadi bagian integral dari isu keamanan nasional.

Terkait dengan penyebaran pasukan marinir Amerika di Darwin Australia, berbagai kalangan DPR-RI maupun beberapa negara ASEAN, memandang hal ini berpotensi meningkatkan ketegangan dan eskalasi konflik di kawasan Asia Tenggara. Beberapa waktu lalu, DPR-RI telah memperingatkan kehadiran marinir AS di Negeri Kangguru itu. Beberapa anggota DPR bahkan mendesak Washington untuk memberi penjelasan kepada Jakarta terkait pangkalan militernya yang hanya berjarak 820 kilometer dengan Indonesia. Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR, Tubagus Hasanuddin mengatakan, "Perlu ada jaminan dari AS, karenanya keberadaan pangkalan milter itu harus dijelaskan kepada pemerintah Indonesia." (Baca berita situs kamihttp://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6490&type=8#.UQcpm_JP1kg).

Memang benar bahwa Presiden SBY sudah mendapat keterangan dari Presiden Obama ketika bertemu di KTT ASEAN Nusa Dua pada 2111 lalu bahwa penempatan pasukan tersebut semata untuk tanggap darurat bencana alam. Sayang sekali sepertinya SBY percaya begitu saja terhadap keterangan Obama yang bisa dipastikan hanya “retorika diplomasi” semata.

Indonesia udah seharusnya menunjukkan kekhawatiran serius atas kehadiran militer AS di dekat wilayahnya. Pemerintah juga perlu melobi negara-negara ASEAN untuk menyatakan keberatan terhadap agenda AS kawasan. Kehadiran pangkalan militer AS bagaimana pun akan mengganggu ketenangan dan pada jangka panjang akan memancing munculnya ketegangan di kawasan.

Bom Terbang Hipersonik AS: Ancam Wilayah Udara Asia Pasifik

Meskipun tujuan strategis Washington adalah penguasaan secara geopolitik negara-negara yang kaya minyak dan mineral gas seperti Indonesian dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada umumnya melalui sarana-sarana non militer, namun postur pertahanan AS tetap ditingkatkan pada skala yang cukup strategis. Karena itu, mencermati serangkaian produk-produk terbaru di matra udara dan ruang angkasa kiranya penting untuk jadi prioritas para pemegang otoritas keamanan nasional Indonesia.

Jika kita menelisik perkembangan industri strategis bidang pertahanan Amerika sejak 2011 lalu, ada informasi cukup mencemaskan. Novemver 2011 lalu Pentagon berhasil melakukan ujicoba satu bom terbang yang melesat lebih cepat daripada suara dan akan memberi para perencana militer kemampuan untuk menyerang sasaran di mana pun di dunia dalam waktu kurang dari satu jam.

Produk yang bernama “Advanced Hypersonic Weapon", atau AHW ini, berhasil diluncurkan melalui roket di wilayah udara Pasifik, dengan kecepatan hipersonik sebelum menghantam sasaran di pulau karang Kwajalein di Marshall Islands, demikian isi pernyataan Pentagon ketika itu. Kwajalein terletak sekitar 4.000 kilometer di sebelah barat-daya Hawaii.

Tentu saja bagi para pakar industri pertahanan strategis diluncurkannya produk bom terbang hipersonik ini cukup mencemaskan. Karena sewaktu-waktu bisa mengancam kedaulatan udara Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, di tengah semakin menajamnya persaingan global AS versus Cina di kawasan ini.

Menurut taksiran beberapa ilmuwan teknologi udara, bom terbang hipersonik ini punya kecepatan melampaui 5 Mach --atau lima kali kecepatan suara-- 6.000 kilometer per jam.

Apapun alasan yang dikumandangkan pihak Pentagon ketika itu, Proyek AHW Angkatan Darat AS adalah bagian dari program "Prompt Global Strike", yang berusaha memberi militer AS sarana untuk mengantar senjata konvensional di tempat lain di dunia dalam waktu satu jam. Bayangkan, jika AHW ini digunakan dengan tujuan untuk melancarkan agresi militer ke sebuah negara atau kawasan. Negara manapun yang dalam posisi sebagai musuh Amerika, bisa dipastikan akan cemas dengan kepemilikan senjata macam AHW ini.

Dan dalam program yang bernama “Prompt Global Strike” ini, Washington memang sepertinya tidak main-main. Bayangkan saja. Pentagon telah menanam 239,9 juta dolar AS dalam program Global Strike tahun ini, termasuk 69 juta dolar AS untuk bom terbang yang diuji coba pada 2011 lalu.



Satelit Mata-Mata Jepang Semakin Pertajam Ketegangan di Asia Pasifik

Selain semakin agresifnya postur pertahanan AS di Asia Tenggara, manuver udara Jepang, sekutu tradisional AS sejak pasca Perang Dunia II, kiranya juga perlu kita waspadai. Awal Januari 2013 lalu, Jepang meluncurkan dua satelit mata-mata ke orbit, untuk memperkuat kemampuan pengawasannya, termasuk mengawasi Korea Utara dari jarak dekat.

Mengingat kenyataan adanya persekutuan strategis yang solid antara Amerika dan Jepang, maka perkembangan terkini adanya satelit mata-mata Jepang tersebut nampaknya paralel dengan manuver pengindra Sumber Daya Alam (SDA) Amerika Serikat LANDSAT-1 sampai VII yang baru-baru ini dikabarkan telah melintasi wilayah udara Indonesia pada ketinggian 36 ribu km di atas bumi. Karena baik satelit jenis LANDSAT-1 sampai VII maupun dua satelit mata-mata Jepang tersebut, keduanya masuk kategori pengumpul data intelijen. Kedua satelit Jepang pengumpul data intelijen tersebut ditempatkan ke orbit dengan menggunakan roket H-2A buatan dalam negeri Jepang, yang terdiri dari satelit radar operasional dan satelit optikal percobaan.

Peluncuran dilakukan dari Tanegashima Space Center, Pulau Tanegashima, selatan Jepang, sekitar pukul 13.40 waktu setempat (11.40 WIB) oleh Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) dan Mitsubishi Heavy Industries Ltd. "Roket itu terbang sesuai rencana dan melepaskan kedua satelit itu," kata JAXA dalam sebuah pernyataan yang dikutip AFP.

Ini jelas sebuah perkembangan informasi yang cukup menarik. Keterlibatan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) dan Mitsubishi Heavy Industries, menggambarkan betapa pembangunan dan pengembangan industry strategis pertahanan terkait secara langsung dengan pembangunan industri strategis Jepang pada skala dan lingkup yang lebih luas. Artinya, kalau peluncuran dua satelit mata-mata Jepang ini dipandangns sebagai bagian dari perkembangan kemajuan industri pertahanan Jepang, maka keterlibatan dua badan strategis Jepang ini, harus dibaca sebagai bukti nyata bahwa urusan pertahanan dan pengembangan peralatan militer Jepang saat ini, bukan sekadar urusan pihak militer semata. Melainkan sudah menjadi isu strategis yang ditangani oleh berbagai elekmen sipil di Jepang.

Bagi Indonesia, perkembangan teknologi pertahanan Jepang tersebut harus dicermati secara seksama dan penuh kewaspadaan mengingat adanya eksamaan misi antara Amerika dan Jepang untuk mengincar kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik pada umumnya.

Sebagai satelit radar operasional yang ditujukan untuk melengkapi sistem pengawasan, pada perkembangannya satelit jenis ini bukan sekadar alat yang berfungsi defensif. Melainkan juga bisa digunakan untuk tujuan yang lebih agresif. Karena satelit mata-mata ini akan memungkinkan Jepang untuk memantau setiap tempat di dunia setidaknya dalam satu kali sehari, sekalipun tertutup awan dan malam hari.

Sedangkan satelit optikal percobaan adalah satelit demonstrasi untuk mengumpulkan data bagi riset dan percobaan teknologi masa depan dan berbagai perbaikan yang memungkinkan Jepang meningktakan kemampuan surveilans-nya (pengawasan). Dari kemampuan ini saja, Jepang bisa memantau dan mendeteksi berbagai perkembangan teknologi Indonesia maupun negara manapun yang jadi sasaran pengintaian pihak Jepang. Sekaligus ini juga membuktikan bahwa program riset dan percobaan teknologi di Jepang terkait erat dengan kebijakan strategis pertahanan Jepang di masa depan.

Tak pelak lagi ini cukup mencemaskan bagi angkatan udara Indonesia dan negara-negara yang berpotensi sebagai musuh Jepang di masa depan. Satelit radar, yang merupakan satelit pengumpulan intelijen, dilaporkan akan segera beroperasi secara penuh pada bulan April nanti. Satelit itu diletakkan dengan jarak beberapa ratus kilometer di luar angkasa, dikabarkan mampu mengambil foto obyek berukuran satu meter di bumi.

Sepertinya seluruh elemen strategis Jepang bersatu-padu untuk urusan ini.

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, yang bersikap keras terhadap Korut memuji keberhasilan peluncuran satelit itu. "Pemerintah akan menggunakan sebanyak-banyaknya sistem itu untuk meningkatkan keamanan nasional dan manajemen krisis kami," kata Shinzo Abe yang dikutip stasiun radio NHK.

Meskipun ini merupakan pernyataan resmi pemerintah, namun frase “meningkatkan keamanan nasional dan manajemen krisis” kiranya harus diartikan sebagai kalimat bersayap yang bisa juga diartikan bahwa satelit ini siap untuk jadi bagian dari peralatan militer Jepang yang bersifat agresif.

Yang jelas, peluncuran satelit ini saja pemerintah Jepang telah mengeluarkan anggaran sebesar 10 miliar dolar AS atau sekitar 96, 5 triliun rupiah. Jelas jumlah yang cukup fantastis mengingat anggaran pertahanan Indonesia saja saat ini hanya sekitar 72 Triliun per tahun.

Yang perlu digarisbawahi melalui kajian ini, keberhasilan peluncuran satelit mata mata Jepang ini, berarti menambah panjang daftar kesuksesan roket jenis H-2A, yang sebelumnya telah berhasil mengantarkan 15 satelit Jepang ke luar angkasa. Sehingga Jepang saat ini telah berhasil mengopeasikan satu satelit radar dan tiga satelit optik.

Sekadar informasi tambahan. Jepang mulai membuat rencana untuk menggunakan satelit guna mengumpulkan data intelijen setelah Korea Utara meluncurkan rudal jarak jauh pada tahun 1998. Satelit intelijen Jepang diluncurkan pertama kalinya pada Maret 2003, sebagai tanggapan atas uji rudal Korut pada 1998.

Berarti situasi di Semenanjung Korea, memang cukup memanas, bisa menjadi pemicu ketegangan regional yang menyeret AS, Cina dan bahkan Rusia, dalam konflik militer berskala luas di dalam beberapa waktu ke depan.

Apalagi ketika Korea Utara pada Desember 2012 lalu mengklaim berhasil meluncurkan roket jenis Unha-3 untuk membawa satelit cuaca ke orbit. Alhasil, keberhasilan ini memicu kecemasan Jepang karena roket ini berhasil terbang melintasi gugusan pulau Okinawa.

Manuver ruang angkasa Korea Utara ini tentu saja dikecam AS dan sekut-sekutunya sebagai manuver tersamar Korea Utara untuk program teknologi rudal dengan dalih meluncurkan roket untuk membawa satelit cuaca ke orbit.

Tren ini harus dibaca dengan seksama oleh para pemegang otoritas keamanan nasional Indonesia mengingat kenyataan bahwa Jepang saat ini menjadi tempat bagi 5000 tentara Amerika untuk menghadang ancaman dari Korea Utara.

Mengingat kenyataan Jepang berada dalam jangkauan rudal Korea Utara, maka kerjasmaa AS-Jepang untuk mengembangkan satelit mata-mata, maka Jepang saat ini sudah bisa diasumsikan memiliki sistem pertahanan rudal sendiri. Sehingga dari sudut pandang persekutuan strategis AS-Jepang, satelit mata mata ini bukan sekadar bersifat defensive, melainkan ofensif di masa depan.


Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
(theglobal-review.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar