"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Sabtu, 01 Desember 2012

Beban Sejarah Syiah Sampang

Hari mulai beranjak siang, sekelompok santri, dengan menumpang mobil, bermaksud ke Bangil, Jawa Timur. Belum sampai setengah perjalanan, tiba-tiba mobil itu dihadang oleh sekelompok orang tak dikenal. 

Sempat terjadi cekcok, mobil yang ditumpangi santri akhirnya memutuskan kembali ke rumah di Dusun Nangkernang, Desa Karangayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Karang Penang. (Detik.com, 26/08/2012) dan (Berita Jatim.com 26/08/2012).


Kejadian di atas memulai seluruh rangkaian kekerasan pada komunitas Syiah di Sampang, pada Minggu, 26 Agustus 2012. Hingga artikel ini ditulis, suasana di Sampang dikabarkan masih mencekam. Wartawan kesulitan untuk mendekati lokasi kejadian, karena beredar kabar bahwa sepanjang jalan telah ditanami bom. Korban tewas diperkirakan 2 orang, dengan korban terakhir bernama Thahir, 5 orang luka berat, dan satu orang luka ringan, yaitu Kapolsek Omben. Sedangkan rumah yang dibakar mencapai 9 buah. (BeritaJatim.com, 26/08/2012).

Peristiwa kerusuhan Sampang tak ayal membuat kalangan NU bak kebakaran jenggot. Mengingat bahwa wilayah Jawa Timur dan Madura merupakan basis massa ormas NU, yang selama terkesan tak beringas dan toleran. Terlebih ini untuk kedua kalinya, setelah pada medio 2011, kerusuhan dengan isu yang sama pernah meletus di Sampang.

Tak kurang dari Ketua GP Ansor, Nusron Wahid, dan Ketua PBNU, Said Aqil Siradj, seperti dikutip dari Detik.com mengutuk keras tindakan kekerasan mengatasnamakan agama tersebut. Baik, Nusron dan KH. Said Aqil menilai, konflik Sunni-Syiah ini barang lama, dan menuding adanya pihak ketiga yang sengaja mengadu domba. Bahkan KH Said Aqil menyatakan, konflik ini sejatinya bukan antara Sunni-Syiah, melainkan konflik keluarga atau personal.

Nusron benar bahwa konflik Sunni-Syiah ini bukanlah barang baru di dunia Islam. Konflik ini telah ada jauh sebelum kerusuhan Sampang. Bermula dari konflik politik perihal kepemimpinan pasca Nabi Saww, antara kelompok Ali dengan Muawiyyah, yang keduanya merupakan Sahabat Nabi Saww, kemudian merembet hingga persoalan akidah. Bahkan rembetan itu mencapai wilayah politik global.

Sebagai contoh, ialah apa yang terjadi di Iran dan Irak saat ini. Dua madzhab besar, Sunni dan Syiah saling berhadapan di satu sisi. Sementara di sisi lainnya, negara-negara di Arab dan Iran saling berhadapan. Masing-masing menonjolkan kesentimenan Sunni-Syiah. Tangan asing-pun dicurigai bermain dalam menciptakan konflik Sunni-Syiah agar terus berkesinambungan. Pihak asing meras perlu untuk menjaga agar konflik itu tetap ada. Sebab hanya dengan demkianlah, pihak asing bisa dengan sesukanya menginjak-nginjak wilayah Arab dan sekitarnya, yang terkenal kaya dengan sumber bumi, “emas hitam”.

Dunia Islam bukannya tak sadar akan adanya konspirasi tingkat dewa di balik konflik sektarian itu. Indonesia, misalnya, banyak tokoh-tokoh agama yang telah mencoba mendamaikan ketegangan yang berada di tengah-tengah Sunni-Syiah. Quraisy Syihab, pakar tafsir Indonesia, tercatat pernah mengarang buku, “Sunni-Syiah Bergandengan Tangan.” Kemudian, Alm. Abdurrahman Wahid seringkali mengatakan bahwa NU sejatinya adalah Syiah secara kultural. Semuanya itu demi meredakan konflik antara Sunni-Syiah, yang ditenggarai adanya kepentingan asing di dalamnya.

Namun apa daya, segelintir umat Islam rupanya tak menyadari petingnya arti “ukhuwaah” dalam Islam. Lebih jauhnya, tak sadar akan adanya pihak ketiga yang sengaja “melemparkan” api di tengah-tengah minyak yang tersebar antara Sunni-Syiah. Mereka yang tak sadar ini, terus dihembusi dengan isu-isu sektarian, dengan harapan tidak terwujudnya “Ummah Wahidah”, umat yang satu.

Dengan kacamata global dan beban sejarah Syiah di masa silam inilah kita harus memandang konflik Sunni-Syiah di Sampang. Sebab, sejatinya “kobaran” koflik Sampang bak letupan kecil di tengah-tengah skenario besar.

Lalu adakah kacamata lain?. Ada!. Ketidaktegasan aparat yang berwenang dalam melindungi warga negaranya juga turut berperan. Demikian juga fatwa MUI yang menyatakan Syiah sebagai kelompok sesat, namun tak memberikan solusi juga turut ambil bagian dalam terciptanya konflik Sunni-Syiah.

Mengutip Dr. Zuli Qadir, MUI, sebagai institusi keagamaan, seharusnya menjadi pengayom atas semua kelompok komunitas yang ada, ketimbang memberikan fatwa sesat yang akan berdampak pada terjadinya kekerasan publik. Sehingga antar sesama warga negara terjadi saling curiga, saling memusuhi, dan saling balas dendam. Bukan hanya dendam kultural, tetapi sekaligus dendam politik. (Esai-Esai Agama Di Ruang Publik, Dr Zuli Qadir).

Akhirnya, jika aparat yang berwenang tetap tidak tegas dalam menangani kasus kekerasan Sampang kali ini, dan MUI, sebagai lembaga yang mengeluarkan fatwa sesat terhadap Syiah hanya duduk manis di atas kursi kekuasaan, maka tampaknya beban sejarah masa silam harus terus menerus ditanggung oleh kelompok Syiah. Tidak hanya di Sampang, melainkan di seluruh Indonesia.


*Dewa Gilang (kompasiana)



Tiga Bulan Lebih, Nasib Syiah Sampang Kian Tak Jelas


Sebanyak 284 warga Syiah asal Sampang sampai hari ini masih mengungsi di Stadion Gelora Olahraga Sampang, Madura, Jawa Timur. Hal itu disebabkan, masih belum ada solusi konkrit meski berbagai kesepakatan sudah ditandatangi pemerintah.

Hari Jumat (23/11/2012) perwakilan pengungsi yang idampingi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya,Andi Irfan, mengadu kepada Komisi VIII DPR. Mereka meminta keputusan pasti dari nasib mereka yang selama tiga bulan ini hanya menunggu dan menjadi pengungsi di negrinya sendiri.

Mereka adalah para petani yang memiliki ladang dan terbiasa dengan bekerja keras, sedangkan di GOR mereka terpaksa hanya menjadi pengangguran. Mereka ingin kembali pulang ke kampung halamannya dan menggarap ladang tembakau mereka. Hal itu diungkapkan Andi Irfan saat menemui komisi VIII di Gedung DPR.

"Pada dasarnya para pengungsi itu menginginkan untuk segera pulang. Mereka ingin beraktivitas. Mereka kehilangan mata pencaharian, uang, dan tempat tinggal. Mereka tidak bisa memanen padahal itu adalah harapan satu-satunya mereka bisa memiliki harta," kata Andi sehari 

Bahkan, kata Andi, hingga saat ini, mereka tak mengetahui bagaimana kondisi ladangnya. Pasalnya, di dalam pengungsian itu mereka tak dapat keluar masuk secara bebas. "Perlu diketahui bahwa sebenarnya mereka ini kan terpenjara karena kalau mau keluar harus izin, harus tanda tangan, dimarahi," kata dia.

Sementara, Iklil Al Minal, salah satu pengungsi yang merupakan saudara Tajul Muluk, mempertanyakan kelanjutan nasib para pengungsi. "Intinya kami pertanyakan sampi kapan kami tinggal di GOR. Kami tidak merasakan kasih sayang pemerintah daerah," kata dia.

Iklik mengatakan, bahkan sampai hari ini, aliran air dan suplai makanan ke tempat pengungsian masih dihentikan. "Dua hari lalu sempat berjalan tapi dari Rabu disetop kembali," kata dia. "Kami sampai harus patungan untuk membeli air dan makanan. Kami tidak bekerja lagi tiga bulan terakhir padahal kami harusnya memanen tembakau. Kami tidak tau sampe kapan kami akan begini. Kami ingin kembali ke desa kami. Kami tidak mau direlokasi," lanjutnya.

Andi Irfan mengatakan, berbagai kesepakatan terkait kasus Syiah di Sampang baru selesai di level pusat. Sementara, korban langsungnya sampai saat ini belum jelas, masih menunggu kepastian nasib di pengungsian.

"Dari 284 orang di GOR, selama ini malah secara jelas tidak pernah diajak untuk berdiskusi, tidak pernah diajak untuk membicarakan tentang apa sebenarnya yang menjadi harapan dari korban. Saya bisa tegaskan tidak pernah," kata Irfan.

Pemerintah hanya menawarkan beberapa opsi untuk merelokasi pengungsi. Di antaranya, menawarkan sebuah perumahan untuk pengungsi Syiah, relokasi ke rusunawa di Sidoarjo, membuat hunian sementara di satu lahan kosong di daerah sekitar Camplong, Sampang. "Ini semua opsi-opsi yang bukan merupakan aspirasi korban," katanya.

Irfan menilai relokasi warga Syiah bukan solusi yang tepat. Pemerintah salah mengidentifikasi akar masalah sehingga solusinya pun tidak tepat. 

Menurut Andi, persoalan utamanya justru ketidakmampuan Pemerintah Kabupaten Sampang mengurai desakan yang terus menerus dilakukan oleh komunitas yang ada di Sampang. Yakni, desakan para kyai pemuka Sunny agar Tajul Muluk berhenti mengajarkan ajaran Syiah dan orang-orang keluar sebagai penganut Syiah atau mereka pindah dari Madura. "Dan sampe terakhir belum bergeser dari opsi itu," kata dia.

Menurutnya, pemerintah kabupaten tidak pernah melakukan sosialisasi apapun terkait ajaran Syiah. Masalahnya, dalam masyarakat Madura yang monolitik tidak ada tafsir alternatif. Dia mencontohkan pada 1 November 2012 ada peristiwa beberapa orang didesak untuk menyatakan ke luar dari Syiah. 

"Itu adalah satu bentuk bahwa Pemkab Sampang atau Kemenag Sampang tidak melakukan sosialisasi. Yang terjadi malah sebaliknya," kata dia. 

Sementara, anggota Komisi VII bidang Agama yang saat itu memimpin rapat, Abdul Aziz Suseno mengatakan, pihaknya menyesalkan terhadap apa yang terjadi pada pengungsi Sampang. Aziz mengatakan, akan mendesak menteri dalam negeri dan menteri agama untuk segera menyelesaikan masalah ini. "Kami mendesak Kementerian Agama untuk menyelesaikan menurut Undang-Undang yang berlaku," kata Aziz. "Meningkatkan dialog dengan pihak yang terkait. Sekarang saatnya menunggu janji pemerintah." 

[Islam Times/Sa]



LSM akan Adukan Diskriminasi terhadap Syiah Sampang ke PBB


Kelompok Kerja Aliansi Kebebasan Beragama Berkeyakinan Jawa Timur segera melaporkan nasib 284 pengungsi Sampang ke PBB sebagai 'Internally Displaced Persons' atau pengungsi lokal yang terlantar di negaranya, karena tidak menerima jatah makan sejak 19 November.

"Ratusan pengungsi dari komunitas Syiah Sampang di GOR Sampang sekarang kritis, karena bantuan jatah makanan, minuman, dan air bersih untuk mereka sudah distop sejak 19 November lalu," kata anggota Pokja AKBB Jatim Johan Avie di Kantor LBH Surabaya, Jumat (30/11).

Didampingi sejumlah aktivis/pegiat AKBB Jatim, semisal Akhol Firdaus (koordinator AKBB), Suparman (LBH Surabaya), dan Wahyuni W (Jaringan GUSDURian Indonesia), ia menduga penghentian jatah konsumsi itu merupakan bagian dari tekanan Pemkab Sampang agar pengungsi menerima relokasi.

"Tekanan itu cukup kentara, buktinya ketika ada seorang pengungsi yang berobat, maka petugas kesehatan justru mengatakan agar ia ikut tawaran pemerintah daripada sakit-sakitan atau kembali ke Sunni saja," katanya.

Menurut Asisten Kepala Departemen Pendidikan dan Publikasi CMARs Jatim itu, intimidasi serupa juga sering diterima para pengungsi dari tim Tagana, Satpol PP, Bakesbangpol, dan sebagainya.

"Yang jelas, pengungsi tidak ingin direlokasi, karena mereka ingin kembali ke kampung halaman dengan aman atau ada jaminan keamanan dari aparat kepolisian. Mereka ingin menggarap lahan miliknya di lokasi kejadian," katanya.

Namun, katanya, keinginan itu sudah pernah disampaikan ke Pemkab Sampang, tapi mereka justru tidak bisa menjamin keamanan itu dan meminta untuk memilih dua opsi yakni keluar dari Sampang atau kembali ke Sunni. "Jadi, negara gagal," katanya. Oleh karena itu, AKBB tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melaporkan nasib pengungsi ke IDP. "Sejak 19 November lalu, para pengungsi makan dari bantuan relawan dan memasak sendiri, tapi ada juga Bu Sabar yang akhirnya mengalami pendarahan dan terpaksa dioperasi di RS Sampang," katanya.

Informasi yang diterima AKBB dari Bakesbangpol Sampang menyebutkan penghentian jatah konsumsi itu karena alokasi dana untuk penanganan pengungsi dari Pemprov Jatim sudah habis, sebab dana untuk pengungsi itu juga untuk menjamin sekitar seribu personel keamanan dan petugas teknis urusan pengungsi.

"Kami berharap IDP akan mendesak pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar pengungsi atau memulangkan mereka dengan memberi jaminan keamanan. Negara harus menjamin hak hidup bagi kelompok mayoritas dan minoritas," katanya.

Pokja AKBB Jatim terdiri dari 12 LSM yakni LBH Surabaya, CMARs Surabaya, GKI Sinode Jatim, PusHAM Unair, JIAD Jatim, GUSDURian Jatim, KPI Jatim, Yayasan Maryam, Sapulidi Surabaya, PMII Jatim, KSGK, dan KPPD Surabaya.

Bantuan makanan dan minuman untuk pengungsi warga Syiah di GOR Sampang, Jawa Timur, dihentikan sejak awal bulan November 2012. Akibatnya, pengungsi terpaksa mengadakan iuran untuk membeli makanan dan minuman. Nasib sekitar 274 jiwa pengungsi warga Syiah asal Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, dan warga Desa Bluuran, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, kini tidak jelas.

Kebijakan itu dikecam Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya. Menurut KontraS, tindakan pemerintah dalam menghentikan pasokan bantuan makan dan minum untuk pengungsi Syiah di GOR Sampang melanggar hak asasi manusia (HAM).

Minimnya anggaran dinilai bukanlah alasan yang masuk akal. Pemerintah setempat dinilai hanya tidak memiliki niat baik dalam menyelesaikan konflik Syiah. "Ini hanya masalah iktikad pemerintah menyelesaikan konflik saja, bukan masalah anggaran," kata Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya, Andy Irfan, Jumat malam, 30 November 2012. Andy menjelaskan, jika pemerintah bertindak serius dalam melakukan resolusi konflik Syiah, akan disusun kebijakan khusus untuk menangani masalah minimnya anggaran untuk pengungsi Syiah.

Menurut Andy, para pengungsi sudah lebih dari tiga bulan berada di GOR Tenis Sampang tanpa ada solusi yang menguntungkan dari pemerintah. Pemerintah justru terkesan melakukan pembiaran dengan menghentikan suplai air bersih dan makanan sejak beberapa waktu lalu.

Biro Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Edi Prawito, membantah soal penghentian bantuan untuk korban kerusuhan Sampang. "Siapa yang bilang bantuan itu dihentikan? Saya tidak bilang bantuan itu dihentikan, Gubernur Jawa Timur sudah menyetujui proposal yang diajukan Bupati Sampang kurang-lebih satu minggu kemarin," ujarnya.

Hingga kini, 192 pengungsi Syiah yang ditampung di GOR Tenis Indoor belum mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat. Selama ini, mereka hanya mendapatkan bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 250 juta pada dua minggu pertama pasca-kejadian 16 Agustus 2012 lalu.

(IRIBIndonesia/Republika/Tempo/Kompas/PH)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar