Departemen Luar Negeri AS setiap tahun, mempublikasikan laporan pelanggaran hak asasi manusia negara-negara dunia. AS mengklaim diri sebagai pemimpin dunia. Dengan laporan seperti ini, AS ingin diakui sebagai super power di dunia.
Yang menjadi
pertanyaan, mengapa hak asasi manusia mendapat perhatian besar sedemikian rupa
dari Washington?
Puluhan pakar dikerahkan untuk mempublikasi laporan tahunan hak asasi manusia
(HAM) di seluruh dunia. Mengapa AS yang berkekuatan besar dari sisi militer
dan ekonomi, masih membutuhkan kebijakan yang mengesankan sebagai pembela HAM
di dunia?
Kecenderungan semacam ini sebenarnya muncul setelah hancurnya kekuatan Timur.
AS setelah perang dingin, kehilangan Uni Soviet yang juga musuh terbesar di
dunia yang secara tidak langsung melegalkan intervensi AS di berbagai negara.
Setelah berakhirnya perang dingin, AS tidak memproduksi produk domestik bruto
terbesar, tidak menganggarkan anggaran terbesar militer dan gudang senjata,
serta tidak mempunyai hak untuk mengintervensi negara-negara.
Mau tidak mau,
Washington
dituntut untuk menjustifikasi superioritasnya di hadapan masyarakat dunia.
Karena inilah, AS mengklaim sebagai pembela HAM dan demokrasi, bahkan klaim itu
sengaja dimunculkan lebih kentara dibanding periode perang dingin.
Pelanggaran HAM di AS
Pada faktanya, hak asasi manusia adalah isu penting bagi kebijakan AS. Dari
laporan itu, negara yang menjadi pendukung AS atau bukan dapat diketahui dengan
baik. Laporan tahunan HAM yang dirilis
Deplu
AS juga dijadikan sebagai sikap
AS atas negara-negara di dunia. Tak diragukan lagi, Republik Islam
Iran menjadi pelanggan tetap dalam laporan
pelanggaran HAM yang dirilis
Deplu
AS.
Iran disinggung sebanyak 80
halaman dalam laporan tahunan HAM yang dirilis
Deplu AS.
Pemublikasian pelanggaran HAM oleh
Deplu
AS dapat dikatakan sebagai
tindakan pengulangan rutin. Akan tetapi perilisan itu kini kurang menjadi perhatian
di dunia menyusul pelanggaran
HAM
AS di negeri sendiri dan
negara-negara lain.
Pelanggaran HAM oleh AS sudah menjadi rahasia umum. Meski demikian, AS tetap
tak malu diri dengan terus merilis daftar nama-nama negara yang diklaim sebagai
pelanggar HAM.
Iran, Rusia,
Cina dan sejumlah negara lain penentang kebijakan
Washington menjadi pelanggan tetap dalam
daftar nama pelanggar HAM yang dibuat oleh AS. Bahkan klaim pelanggaran
negara-negara itu dijabarkan secara detail.
Sejumlah media AS juga mengakui perilisan daftar nama negara pelanggar HAM
sebagai alat
Washington
untuk menyudutkan negara-negara yang dianggap melawan kebijakan Gedung Putih.
Buletin Foreign Policy yang juga termasuk media terkemuka di AS mempertanyakan
klaim-klaim AS yang menuding
Iran
sebagai palanggra HAM. Dalam buletin itu disinggung bahwa AS tak memperhatikan
hak manusia yang paling mendasar. Hal itu terjadi pada tindakan tentara AS yang
dikirim ke negara-negara lain. Buletin juga menyebut pemberlakuan sanksi atas
Iran sebagai
pelanggaran hak asasi manusia yang nyata oleh AS.
Media terkemuka AS itu juga menyinggung kejahatan-kejahatan AS seperti serangan
militer ke dua negara, penculikan, penyiksaan atas ribuan tahanan di
Guantanamo, Begram dan
Abu Ghraib. Sumber yang sama juga menyebutkan kasus 15 tentara AS yang terlibat
dalam kasus pelanggaran HAM dan penyiksaan terhadap para tahanan. Dilaporkan,
"Dari 15 tentara hanya satu orang yang dinyatakan sebagai pelanggar hak
asasi manusia dan penyiksa para tahanan. Pengadilan juga hanya menyatakan tiga
dari semua tentara yang tersangka sebagai pihak yang bersalah, sedangkan
sisanya dinyatakan bebas."
Koran lainnya yang mengungkap kriminalitas dan pelanggaran hak asasi manusia AS
adalah Washington Post. Koran itu menyebutkan, sejumlah tentara AS membantai
warga sipil
Afghanistan
yang tak bersalah. Bahkan disebutkan bahwa mereka membantai warga tak berdosa
di
Afghanistan
dengan maksud hiburan. Ini benar-benar pelanggaran hak asasi manusia yang sama
sekali tak dapat ditolerir. Yang lebih menyeramkan lagi, sejumlah tentara AS
setelah membantai warga-warga sipil yang tak berdosa, memotong-motong jasad
mereka.
Masih mengenai kekejian AS, Washington Post juga mengungkap bahwa AS
benar-benar memanfaatkan Peristiwa 11 September dengan menangkapi semua pihak
yang hanya dicurigai sebagai teroris. Mereka diculk dan dijebloskan ke
penjara-penjara rahasia. Tak dapat dipungkiri, pembuatan penjara-penjara
rahasia merupakan pelanggaran nyata.
Para
warga yang hanya sebatas dicurigai sebagai teroris langsung dipenjarakan tanpa
prosedur pengadilan. Ini semua dilakukan oleh AS yang mengklaim sebagai
pendukung HAM. Lebih dari itu, penyiksaan para tahanan di penjara-penjara
rahasia menjadi skandal tersendiri bagi AS.
Obama dan HAM
Banyak skandal pelanggaran HAM yang dilakukan oleh AS. Sebagian pelanggaran HAM
itu disebutkan dalam buku biografi Mantan Presiden AS, George W.Bush. Setelah
itu, Barack Obama muncul sebagai
Presiden
AS yang menang dalam pemilu
setelah mengangkat slogan-slogan pemanis yang di antaranya adalah penutupan
penjara-penjara rahasia dan pengadilan atas para pelaku penyiksa di masa
pemerintah Bush. Namun setelah Obama duduk di kursi kepresidenan, slogan yang
disuarakan hanya sebatas janji tanpa realisasi.
Beberapa lama setelah menjadi
Presiden
AS, Obama menyatakan bahwa tidak
ada pengusutan hukum bagi para perwira yang terlibat dalam kekerasan interogasi
dan penangkapan para warga yang dicurigai teroris. Menurut pandangan Obama,
para perwira hanya melakukan ketetapan dan instruksi yang ada. Untuk itu mereka
tidak dapat diadili." Lebih lanjut, Obama mengatakan, "Menghabiskan
waktu untuk mengecam masa lalu, tak akan menyelesaikan masalah."
Dalam laporan Kementerian Kehakiman AS disebutkan bahwa menelanjangi secara
paksa, memukul perut dan muka, mencampur aduk makanan, membenturkan ke tembok
buatan, mengikat dengan ikatan yang menyakitkan, menggunakan serangga dalam
mengintimidasi para tahanan, mengeksekusi adalah hal -hal yang dikategorikan
sebagai palanggaran hak asasi manusia. Akan tetapi menggunakan cara penyiksaan
terburuk untuk interogasi terhadap tersangka tidak dapat dikatakan sebagai
pelanggaran hak asasi manusia."
Iranphobia
Departemen Luar Negeri AS merilis laporan tahunan pelanggaran hak asasi manusia
dan menjadikan
Iran
sebagai negara yang disorot secara khusus dalam laporan itu. AS sengaja
melakukan itu dengan beberapa tujuan. Di antara tujuannya adalah Iranphobia di
tingkat kawasan. Dengan cara ini, pengaruh Revolusi Islam
Iran dapat
diantisipasi di tengah gejolak kebangkitan rakyat di kawasan.
Tak diragukan lagi, kebangkitan rakyat secara serentak di kawasan merupakan
kegagalan total politik AS.
Apalagi
AS selama ini dikenal sebagai
sahabat dekat rezim-rezim penindas. Dengan kebangkitan rakyat di kawasan, AS
benar-benar dihadapkan pada kondisi yang membingungkan. Pada saat yang sama,
rezim-rezim penindas di kawasan adalah pihak-pihak yang menguntungkan kebijakan
Washington.
Kebencian masyarakat atas AS bahkan dapat dipastikan sebagai faktor
kebangkitaan rakyat di kawasan. Di Mesir, masyarakat menolak intervensi AS yang
selalu merugikan kepentingan bangsa. Hal itu ditunjukkan rakyat Mesir dengan
tetap berada di Bundaran Al Tahrir selama Hosni Mubarak yang juga antek utama
AS di kawasan, tak diadili dan dihukum. Di Bahrain, masyarakat tetap menuntut
demokrasi di negara mereka yang malah dihabisi oleh rezim Al Khalifa dan Saudi.
Semua itu menunjukkan bahwa AS akan terkucilkan di kawasan, bahkan dunia.
Selamat tinggal AS.
(IRIB/AR/NA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar