Sesaat setelah deklarasi Persatuan Islam di UMI, Ketua MUI Pusat Bidang Fatwa, KH Ma'ruf Amin, menulis opini di harian Republika berjudul "Menyikapi Fatwa MUI Jatim" tanggal 8 November 2012. Entah ada hubungannya atau tidak, tetapi tulisan tersebut muncul di saat kaum muslimin di Indonesia sedang giat-giatnya merajut persatuan Islam.
Tulisan tersebut kemudian dimuat ulang oleh Hidayatullah online pada hari yang sama. Untuk menjawab tulisan tersebut, KH Jalaluddin Rakhmat, ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia, menuliskan jawaban yang dimuat di harian Republika pada tanggal 10 November 2012.
******
Imam Ahmad bin Hanbal adalah imam besar, pendiri mazhab besar. Bagaimana ia menyikapi fatwa? Ia berkata, "Barangsiapa yang melibatkan diri dalam fatwa, ia telah melibatkan diri dalam urusan besar; kecuali jika terpaksa. Al-Sya'bi –salah seorang ulama tabi'in- ditanya orang tentang satu masalah, ia menjawab: Aku tidak tahu. Ia ditegur: Apakah Anda tidak malu berkata tidak tahu, padahal Anda adalah faqih seluruh
Sebagian ahli ilmu (agama) berkata: Belajarlah mengatakan "Aku tidak tahu" , karena jika kamu berkata –Aku tidak tahu- mereka akan mengajarimu. Jika kamu berkata –aku tahu- mereka akan bertanya kepadamu sampai kamu tidak tahu. Uqbah bin Muslim berkata: Aku menemani Umar bin Khattab ra. 34 bulan, kebanyakan kali jika ia ditanya tentang masalah agama, ia menjawab: Aku tidak tahu. Ketika Imam Syafii ditanya satu masalah dan ia diam, orang bertanya: Mengapa tidak menjawab?. Ia berkata: Aku tidak menjawab sampai aku mengetahui apakah yang baik itu diam atau menjawab."
Ibn Qayyim dalam I'lam al-Muwaqqi'in 6: 133-135 menjelaskan aturan-aturan memberikan fatwa berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Ia tegaskan betapa para ulama salaf, sahabat dan tabiin, merasa takut untuk memberikan fatwa, lebih takut dari menghadapi singa.
Salman dipersaudarakan Nabi saw dengan Abu al-Darda. Abu al-Darda diangkat sebagai qadhi. Salman mengirimkan
Fatwa salah yang disampaikan oleh lembaga yang mengkliam berhak memberikan fatwa, sama seperti obat yang salah yang diberikan kepada pasien. Alih-alih menyembuhkan, ia bisa membunuh. Di antara fatwa yang telah ikut serta, atau menyertai terbunuhnya seorang muslim di Sampang, adalah fatwa MUI Sampang. Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang menambahkan lagi hukuman dua tahun di atas dua tahun penjara sebelumnya yang diputuskan Pengadilan Negeri Sampang berkaitan dengan fatwa MUI Jawa Timur.
Mungkin karena itulah para ulama di MUI Pusat tidak sepakat untuk menerbitkan fatwanya. Kebanyakan memilih diam. Mereka tahu bahwa fatwa yang menganggap sekelompok umat Islam sesat dapat menghancurkan kehormatan, merusak harta kekayaan, dan menumpahkan darah. Mereka perlu mengkaji secara mendalam dan tidak tergesa-gesa. Mereka juga perlu mengkaji fatwa-fatwa sebelumnya.
Fatwa Imam Malik: Tanya dulu yang lebih berilmu. Marilah kita belajar dari Imam Malik, salaf kita yang saleh. Ia berkata, "Aku tidak akan memberi fatwa sebelum tujuh puluh orang (ulama) bersaksi bahwa aku ahli untuk memberikan fatwa." Kapan seseorang berhak disebut ahli? "Seseorang tidak layak menyebut dirinya ahli sebelum ia bertanya kepada orang yang lebih tahu dari dirinya. Aku tidak memberikan fatwa sebelum aku bertanya kepada Rabi'ah dan Yahya bin Sa'id" kata ImamMalik (Lihat I'Lam al-Muwaqqi'in 6:132).
Masih kata Imam Malik, "Apabila para sahabat menghadapi masalah yang berat, mereka tidak memberikan jawaban sebelum mereka mengambil jawaban sahabatnya yang lain, padahal mereka adalah generasi yang dianugrahi Tuhan kebenaran, taufiq, dan kesucian. Bayangkan diri kita yang tertutup dosa dan hati kita yang bergelimang kesalahan." Diriwayatkan bahwa bila Umar bin Khattab ditanya tentang satu masalah ia kumpulkan semua ahli Badar dan ia berkonsultasi dengan mereka lebih dahulu sebelum memberikan fatwa.
Apakah Anda lebih berilmu dari mereka? Sekarang izinkan saya yang jahil ini bertanya kepada MUI Jatim yang memberikan fatwa tentang kesesatan Syiah dan kepada yang terhormat Dr K.H. Ma'ruf Amin yang mengeluarkan fatwa yang mendukung fatwa tersebut:
Apakah Bapak-bapak telah mengkaji fatwa para ulama seluruh dunia Islam yang hadir dalam Konferensi Islam Internasional di Amman, Yordania, pada 4-6 Juli 2005 (sebelas tahun setelah fatwa MUI tahun 1984? Sebagai catatan kecil: Dari Indonesia hadir antara lain K.H. Hasyim Muzadi dan Rozy Munir; dari Mesir, a.l Prof Dr Ali Jumu'a, mufti besar Mesir; dari Syria, a.l. Prof. Dr Syaikh Wahbah Zuhaily (penulis al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh); dari Arab Saudi, a.l. Dr Abd al-Aziz bin Utsman al-Touaijiri. Salah satu dan nomor satu dari fatwa mereka yang lebih dikenal sebagai Deklarasi Amman menyatakan:
"(1) Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi'i, Hanafi, Malik, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja'fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. Tidak diperbolehkan mengkafirkan salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas. darah, kehormatan dan harta benda salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas tidak boleh dihalalkan."
Sebelum mengeluarkan fatwa tentang kesesatan Syiah, apakah menurut Bapak-bapak, tidak perlu mengkaji fatwa para ulama internasional itu, apalagi menyetujuinya, karena mereka tidak lebih alim dari Bapak-bapak? Umar bin Khattab ra mengumpulkan dahulu para sahabat ahli Badar sebelum memberi fatwa. Konferensi Islam Internasional mengumpulkan dulu ratusan ulama dari berbagai negeri sebelum mengeluarkan Deklarasi Amman.
Sekretaris Jenderal OKI, di bawah payung Akademi Fiqih Internasional (IIFA) mengumpulkan ulama Iraq, Sunni dan Syiah, sebelum mengeluarkan fatwa yang dikenal sebagai Deklarasi Makkah.
Presiden SBY mengumpulkan ulama Sunni dan Syiah internasional di istana
Cukupkah bagi Bapak-bapak mengumpulkan anggota-anggota MUI seJatim plus beberapa orang ulama dari MUI Pusat, lalu mengeluarkan fatwa bahwa Syiah itu sesat. Apakah para ulama di MUI Sampang yang berkumpul di Sampang dan para ulama MUI Jatim yang berkumpul di
(IRIB Indonesia/Republika/IJABI/PH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar