"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Selasa, 27 November 2012

Konglomerasi Media & Konvergensi Telematika


Adalah fakta bahwa dunia teknologi telekomunikasi dan informatika (Telematika) kini berkembang begitu pesat. Dari perkembangan tersebut, ada kecenderungan beberapa media di dunia untuk melakukan konvergensi (penggabungan/menyatu). Artinya, jika sebelumnya teknologi informasi, telekomunikasi dan penyiaran terpisah, maka kini ada kecenderungan media-media tersebut menyatu dan membentuk sebuah group. 


Dengan adanya konvergensi, proses produksi berita menjadi lebih efisien secara ekonomi, karena hasil reportase lapangan seorang jurnalis dapat sesegera mungkin dipublikasikan di berbagai kanal sekaligus (media cetak, televisi, online, dan radio). Tapi di sisi lain, hal ini kemudian memunculkan kritik atas kualitas sebuah karya jurnalistik & kekhawatiran terkait hegemoni wacana publik, mengingat rekonstruksi fakta melalui agenda setting adalah sisi paling buruk dari konvergensi & konglomerasi media.


Menurut teori agenda setting Maxwell McCombs dan Donald Shaw: “We judge as important what the media judge as important.” Kita cenderung menilai sesuatu itu penting sebagaimana media massa menganggap hal tersebut penting.

Artinya, jika media massa menganggap suatu isu/berita itu penting, serta menayangkan isu tersebut dengan frekuensi penayangan yang tinggi, maka masyarakat juga akan menganggapnya penting. Sebaliknya, jika isu/berita tersebut dianggap tidak penting oleh media massa atau frekuensi penayangannya rendah, maka isu tersebut juga menjadi tidak penting bagi masyarakat, tenggelam & bahkan menjadi tidak tersentuh sama sekali. 

Karena orientasi media massa adalah bisnis keuntungan, maka media yang telah berorientasi kepada keuntungan akan selalu melihat informasi sebagai komoditas. Etika informasi bukan lagi benar atau salah, tapi baik atau buruk. Baik jika memiliki nilai jual dan buruk jika tidak memiliki nilai jual.

Berdasarkan hasil penelitian Centre for Innovation Policy & Governance (CIPG), ditemukan fakta bahwa 12 kelompok media besar Indonesia (yang seluruhnya berada di Jakarta) kini telah menguasai saluran informasi di seluruh Indonesia. Dampak dari konglomerasi media ini adalah informasi yang diterima masyarakat rentan bias kepentingan politik dan ekonomi, mengingat fakta bahwa beberapa pemilik media besar tersebut juga memiliki peran di dalam dunia politik & bisnis lain di luar media.

Masyarakat sebenarnya dapat “melawan” dominasi perspektif dan juga wacana yang dihembuskan oleh media konglomerasi. Melawan dalam hal ini adalah berupa argumentasi/opini atau wacana dengan perspektif yang berbeda. Entah itu dengan cara membuat zine, kicauan lewat twitter, artikel melalui blog pribadi, radio komunitas, atau melalui media apapun yang berisi tentang berita & argumentasi dengan sudut pandang yang berbeda, namun tetap berdasarkan fakta yang terjadi.

Sayangnya, masyarakat & para pengguna internet saat ini masih cenderung mengekor opini publik bentukan media mainstream (arus utama) yang dimiliki oleh segelintir pengusaha kaya di Indonesia. 

Seandainya masyarakat memiliki kesadaran bahwa selain menjadi konsumen berita, sesungguhnya mereka juga dapat berperan baik sebagai produsen, mungkin hal tersebut bisa menjadi penyeimbang atas dominasi perspektif bentukan media konglomerasi yang ditujukan demi keuntungan perusahaan/pemilik perusahaan tersebut. 

Dalam kasus ini, sepertinya masyarakat sedang berada di antara dua pilihan: masyarakat memanfaatkan media, atau media yang memanfaatkan masyarakat.



Cello Subastita
(kompasiana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar