Catatan Redaksi: Beberapa waktu lalu tim redaksi Global Future Institute memantau dan menyerap berbagai tanggapan masyarakat atas politik pemberitaan media massa kita terkait memanasnya konflik di Suriah dan serangan Israel ke jalur Gaza. Berikut selintas beberapa pandangan mereka.
Satrio
Arismunandar, Wartawan Senior dan mantan Produser Trans TV:
Coba
perhatikan cara pemberitaan media-media Indonesia liput tentang Konflik di
Timur Tengah.
Di news agency yang didominasi AS, Inggris, Perancis, kita sering membaca
ungkapan "warga sipil terkena bom buatan Rusia, rudal buatan Soviet, roket
buatan Iran,... dan seterusnya". Tetapi mereka tidak pernah menulis:
"warga sipil Palestina dibom dengan bom-bom buatan Amerika,
pesawat-pesawat buatan Amerika, rudal buatan Amerika..."
Sejumlah media di
Indonesia
sering mentah-mentah menterjemahkan
gaya
pemberitaan yang tidak berimbang macam ini. Makanya saya sering bilang,
wartawan itu tidak cukup sekadar jadi "profesional" (mengerti
teknis), tapi harus mengerti ideologi dan politik pemberitaan. Wartawan itu
bukan sekadar tukang ketik.
Cokrogeni Ibrahim, Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia:
Saya menduga jaringan media
Indonesia
sudah dikuasai agen-agen CIA (AS), MI-6 (Inggris), Mossad (
Israel) dan antek-antek Arab mereka (Arab Saudi,
Qatar,
Turki, dan lain-lain). Dalam krisis Suriah, sangat jelas media-media TV yang
menjadi mainstream (arus utama) opini publik berkiblat pada Al-Jazeera (
Qatar)
yang merupakan corong propaganda neo-kolonialisme AS dan para sekutu baratnya.
Amin, Institute for Strategic and Development Studies:
Saya barusan juga
baca
Strait times Singapura.
menyebut para pejuang Palestina sebagai militan bukan pejuang. dan menutupi
kerusakan yang mengenai
Israel
seolah iron dome itu ampuh.
Buat saya tidak habis pikir gimana ceritanya media
massa
luar negeri bisa begitu mempengaruhi kebijakan keredaksian media-media kita di
Indonesia.
Yossie Noor Yanto, Ibu Rumah Tangga:
Yang amat memprihatinkan saya, media-media
massa kita sekarang kiblatnya tergantung
siapa investor pemilik media-media kita sekarang.
Kgpa Arifuddin, Guru pada sebuah SMA di Indramayu, Jawa Barat:
Seorang teman dari
Israel
mengabarkan dengan sebenarnya, beliau mengatakan bahwa “Media Kami tidak
melaporkan keluar berapa banyak kerusakan yang diderita
Israel akibat serangan balasan yang
dilancarkan Hamas”. Beliau mengatakan bahwa paling tidak 62 tentara Israel
tewas yang pada umunya adalah para pria tentara angkatan darat selama perang
yang telah berlangsung 3 hari. Beliau juga melaporkan bahwa Perdana Mentri
melakukan pertemuan darurat dengan memanggil seluruh petugas disebabkan Hamas
berhasil menghancurkan 2 jet temput jenis Fighter. Mereka berasumsi bahwa jika
mereka memulai serangan darat maka mereka akan menghadapi lebih banyak masalah
dibanding perang sebelumnya,disamping itu mereka berasumsi karena Hamas mampu
menghancurkan Jet Fighter adalah mungkin bahwa Hamas dapat menggunakan senjata
lebih baru dan canggih. Demikian laporan seorang teman dari
Israel.
Deddy Prihambudi:
Lucu, Media "Mainstream" di Indonesia Justru Mendukung Oposisi Suriah
Tangapan pembaca terkait artikel berjudul "Terkait Suriah, SBY Dinilai Pro
Amerika": Saya pribadi menerima semua INFO UPDATE dari
medan tempur, langsung dari reportase
teman-teman di Suriah. Semua yang diomongkan media sini, bohong belaka. Apa
buktinya? sederhana saja. PBB menyatakan bahwa kekuatan "oposisi" di
Suriah harus diwaspadai. Mereka tidak cukup ingin menjatuhkan Dr Bashar Assaad,
namun juga memiliki agenda sendiri, yang tidak selalu paralel dengan demokrasi,
HAM dan prinsip universal lainnya.
Bashar Assad membangun Suriah yang multikultur dan multiplural. Inilah yang
justru tidak diinginkan oleh kaum "oposisi". Semua minoritas dijaga
oleh Bashar Assad. Namun lucunya, semua media
massa "mainstream" di sini justru
mendukung oposisi. Lucu.! Apa bedanya media
massa ini, dengan pers radikal?
Bagi saya, profesi jurnalis adalah pertama-tama adalah profesi intelektual.
Jika jurnalis tidak memiliki kecepatan menangkap "gejala" dari apa
yang dilihatnya, maka, akibatnya sangat parah. Jurnalisme mampu membangun
gambaran "pertama" pada pemirsanya. Saya punya contoh-contoh kasus.
Pertama, soal Suriah. Bahkan PBB dan penengah PBB, yaitu Lakhdar Brahimi
menyatakan bahwa kasus Suriah sangat kompleks. Semestinya, jurnalis sini
menelaah, apa sebab PBB sampai pada kesimpulan ini. KOMPAS, semisal, sangat
getol menghancurkan citra Dr Bashar Asad. Kompas lupa, kaum oposisi bersenjata
itu juga membantai minoritas kristen
Armenia, yang selama ini dilindungi
Pemerintah Suriah. kasus berikutnya, dikatakan ini perang Sunni vs Syi'ah . Ini
lebih bebal lagi. Dr Bashar Assad jelas Sunni, dan mayoritas Ulama Sunni
mendukung Dr Bashar Assad.
Contoh kedua, TV One, yang kini setiap tengah malam menyiarkan edisi Timur
tengah. Apakah redaksi TV One perlu kita beri pendidikan dasar jurnalistik?
Apakah TV One tidak bisa membedakan, mana ANALIS Timur Tengah, dana mana
PENERJEMAH bahasa Arab? ini rancu. Semua TKI/TKW yang puluhan tahun hidup di
Timur Tengah pun, mampu menjadi TRANSLATOR bagi TV One, untuk sekedar
menterjemahkan Al jazeera edisi Arabic.
(theglobal-review.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar