"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Rabu, 28 November 2012

Lawan Media Mainstream Corong Hegemoni


Media massa nasional, terutama media cetak, telah menafikan KTT Non-Blok ke-16 lalu di Teheran. Ini sungguh ironis dan sangat sulit dimengerti; bagaimana mungkin sebuah acara yang diikuti 120 negara — yang merupakan 2/3 anggota PBB — dengan melibatkan 35 kepala negara (presiden/raja), puluhan perdana menteri, puluhan utusan khusus, dan puluhan menteri luar negeri serta kehadiran seorang Sekjen PBB, bisa dianggap sepele oleh media massa di Indonesia, yang notabene adalah salah satu pendiri Gerakan Non-Blok?


Kompas dan sekondannya secara mencolok menampakkan sikap bias, sektarian, dan sangat memihak (pro-Barat, anti-Republik Islam, anti-Islam).
Hampir seminggu agenda Non-Blok digelar, yakni 26 -31 Agustus. Masuk dalam agenda adalah isu-isu regional dan internasional yang urgen dan sangat penting, seperti perdamaian dunia atas dasar prinsip keadilan dan martabat bangsa, pelucutuan senjata nuklir, isu cawe-cawe Barat di Suriah, reformasi struktural PBB, dan isu abadi tentang Palestina. Akan tetapi, tak satupun isu aktual dan penting ini dimuat dan diulas secara memadai.

Sebaliknya, Kompas meliput dan mengulas panjang lebar kunjungan Kanselir Jerman Angel Merkel ke China, tepat pada hari pembukaan KTT Non-Blok, yang sama sekali tidak diberitakan kecuali satu hari sesudahnya, itupun fokus pada pernyataan kontroversial Presiden Mesir, M. Mursi. Jadi, bagi Kompas dkk., agenda seorang Merkel lebih berharga daripada agenda ratusan pimpinan negara bersama Sekjen PBB yg tengah membahas isu-isu penting dunia! (Ini juga bisa dilihat bagaimana bagaimana Kompas sejak kemarin hingga hari ini mengelu-elukan kunjungan seorang Hillary Clinton).

Telah terjadi pemboikotan terencana dan sistematis. Berdasarkan investigasi, saya tak pernah menemukan satu foto pun tentang KTT tampil di Kompas. Jangankan pidato pembukaan KTT oleh Pemimpin Spiritual Ayatollah Seyyed Ali Khamenei atau pernyataan Presiden Ahmadinejad selaku tuan rumah, atau apresiasi Sekjen PBB Ban Ki-Moon terhadap penyelenggaraan KTT maha penting ini, atau hasil rekomendasi KTT, bahkan pidato Wapres RI Boediono berikut agenda beliau selama di Teheran pun sama sekali tidak diliput alias diboikot. Tapi, anehnya, Kompas mengutip kecaman Presiden Mursi terhadap pemerintah Suriah dengan mengulasnya panjang lebar, misalnya disebutkan bahwa kasus ini mempermalukan tuan rumah Iran yg mendukung Suriah. Koran terbesar di Indonesia ini ternyata juga amat provokatif terhadap isu-isu tertentu.

Sikap bias dan sektarian Kompas memang sudah lama diketahui. Selain dalam liputan berita, harian ini juga sangat sektarian dalam menerima tulisan/opini. Ia menolak setiap tulisan yang dianggap tak sejalan dengan kepentingan ideologi aliran yang dianutnya, dan sebaliknya ia mudah menerima tulisan — sesederhana dan sedangkal apapun — kalau menyuarakan isu-isu liberalisme, sekulerisme dan semacamnya. Menyangkut opini, memang itu wilayah prerogatifnya atau selera redaksinya yang menentukan. Kita tak terlalu mempersoalkan. Hanya saja, dalam peliputan berita, ia semestinya memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik seperti keseimbangan berita, fairness, dan sikap tak memihak.

Saya sangat concern dengan peliputan media massa karena efeknya yang luar biasa. Media massa sangat berpengaruh terhadap persepsi dan struktur kognitif pembaca/publik yang kemudian bermuara kepada pembentukan sikap dan perilaku mereka. Mungkin inilah alasannya mengapa Barat dan Zionis mengerahkan segenap potensi dan usahanya untuk menguasai dunia pers; yang terbukti sangat berhasil membentuk persepsi, pola pikir dan pola laku masyarakat Barat atau yang terbaratkan di seluruh dunia.

Banyak kasus konflik dan kekerasan dipicu oleh pemberitaan dan ulasan media massa yg bias, provokatif, dan penyebar kebohongan dan fitnah. Dan sebaliknya, sesuai dengan motto “No media, no idea”, kita tidak punya saluran untuk menyuarakan pemikiran dan opini kita yang berdampak massif kepada masyarakat. Untuk sebuah Tragedi Sampang saja, kita sulit menyalurkan pendapat karena artikel-artikel kita tidak dimuat. Dalam kasus-kasus tertentu, press release dan konperensi pers yang dilakukan ormas seperti Ahlul Bait Indonesia, induk organisasi warga Syiah di Indonesia, berhasil menarik perhatian jurnalis untuk meliputnya, tetapi sebagian besar hanya hadir dalam media online/internet; jarang sekali dimuat dalam media cetak. Meski, pada saat yg sama, kita perlu apresiasi Tempo yang mewawancarai Jalaluddin Rahmat. Tapi, saya tidak tahu adakah Rakhmat lebih puas mengemukakan gagasan melalui wawancara atau kolom khusus.

Sampai hari ini media mainstream seperti Kompas masih mendominasi isi kepala publik kita. Sekalipun dominasi tunggal ini mulai berkurang setelah kemunculan media online — yang sangat beragam, peran media cetak masih sangat besar. Lagipula, isi liputan media online juga dipengaruhi oleh ketersediaan pasokan berita, yang umumnya diproduksi oleh media mainstream atau taipan media mainstream tersebut dengan outlet/merk media yang lain. Kita juga jangan menyamakan sebagian besar publik dengan kita, yang mungkin punya akses ke berbagai media di luar yang mainstream tadi. Sepengamatan saya, jangankan publik awam, anggota parlemen saja atau para dosen umumnya cuma membaca Kompas atau Republika/Media Indonesia/Tempo. Publik yang akses internet pun lebih banyak meluangkan waktunya untuk ngobrol di facebook dan sejenisnya alih-alih baca berita, jendela realita. 


Husain Heriyanto
[Islam Times/on/Beritaprotes]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar