Media massa nasional, terutama media cetak, telah menafikan KTT Non-Blok ke-16 lalu di Teheran. Ini sungguh ironis dan sangat sulit dimengerti; bagaimana mungkin sebuah acara yang diikuti 120 negara — yang merupakan 2/3 anggota PBB — dengan melibatkan 35 kepala negara (presiden/raja), puluhan perdana menteri, puluhan utusan khusus, dan puluhan menteri luar negeri serta kehadiran seorang Sekjen PBB, bisa dianggap sepele oleh media massa di Indonesia, yang notabene adalah salah satu pendiri Gerakan Non-Blok?
Kompas dan sekondannya secara mencolok menampakkan sikap bias, sektarian, dan sangat memihak (pro-Barat, anti-Republik Islam, anti-Islam).
Sebaliknya, Kompas meliput dan mengulas panjang lebar kunjungan Kanselir Jerman Angel Merkel ke China, tepat pada hari pembukaan KTT Non-Blok, yang sama sekali tidak diberitakan kecuali satu hari sesudahnya, itupun fokus pada pernyataan kontroversial Presiden Mesir, M. Mursi. Jadi, bagi Kompas dkk., agenda seorang Merkel lebih berharga daripada agenda ratusan pimpinan negara bersama Sekjen PBB yg tengah membahas isu-isu penting dunia! (Ini juga bisa dilihat bagaimana bagaimana Kompas sejak kemarin hingga hari ini mengelu-elukan kunjungan seorang Hillary Clinton).
Telah terjadi pemboikotan terencana dan sistematis. Berdasarkan investigasi, saya tak pernah menemukan satu foto pun tentang KTT tampil di Kompas. Jangankan pidato pembukaan KTT oleh Pemimpin Spiritual Ayatollah Seyyed Ali Khamenei atau pernyataan Presiden Ahmadinejad selaku tuan rumah, atau apresiasi Sekjen PBB Ban Ki-Moon terhadap penyelenggaraan KTT maha penting ini, atau hasil rekomendasi KTT, bahkan pidato Wapres RI Boediono berikut agenda beliau selama di Teheran pun sama sekali tidak diliput alias diboikot. Tapi, anehnya, Kompas mengutip kecaman Presiden Mursi terhadap pemerintah Suriah dengan mengulasnya panjang lebar, misalnya disebutkan bahwa kasus ini mempermalukan tuan rumah
Sikap bias dan sektarian Kompas memang sudah lama diketahui. Selain dalam liputan berita, harian ini juga sangat sektarian dalam menerima tulisan/opini. Ia menolak setiap tulisan yang dianggap tak sejalan dengan kepentingan ideologi aliran yang dianutnya, dan sebaliknya ia mudah menerima tulisan — sesederhana dan sedangkal apapun — kalau menyuarakan isu-isu liberalisme, sekulerisme dan semacamnya. Menyangkut opini, memang itu wilayah prerogatifnya atau selera redaksinya yang menentukan. Kita tak terlalu mempersoalkan. Hanya saja, dalam peliputan berita, ia semestinya memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik seperti keseimbangan berita, fairness, dan sikap tak memihak.
Saya sangat concern dengan peliputan media
Banyak kasus konflik dan kekerasan dipicu oleh pemberitaan dan ulasan media
Sampai hari ini media mainstream seperti Kompas masih mendominasi isi kepala publik kita. Sekalipun dominasi tunggal ini mulai berkurang setelah kemunculan media online — yang sangat beragam, peran media cetak masih sangat besar. Lagipula, isi liputan media online juga dipengaruhi oleh ketersediaan pasokan berita, yang umumnya diproduksi oleh media mainstream atau taipan media mainstream tersebut dengan outlet/merk media yang lain. Kita juga jangan menyamakan sebagian besar publik dengan kita, yang mungkin punya akses ke berbagai media di luar yang mainstream tadi. Sepengamatan saya, jangankan publik awam, anggota parlemen saja atau para dosen umumnya cuma membaca Kompas atau Republika/Media Indonesia/Tempo. Publik yang akses internet pun lebih banyak meluangkan waktunya untuk ngobrol di facebook dan sejenisnya alih-alih baca berita, jendela realita.
Husain Heriyanto
[Islam Times/on/Beritaprotes]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar