Monopoli lembaga penyiaran lebih bahaya ketimbang monopoli sektor bisnis lain. UU Penyiaran pun sedang ditarik-ulur: diperkarakan di Mahkamah Konstitusi, dipersoalkan di Senayan.
Rapat Pansus RUU Pemilu di Ruang
Pansus RUU Pemilu yang dipimpin Arif Wibowo dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) juga mengundang lembaga survei lainnya, duo LSI: Lembaga Survei
Arif Wibowo mengatakan, lembaga survei perlu diatur dalam UU Pemilu. Sebab, aktivitas lembaga survei dapat mempengaruhi hasil Pemilu. Kolaborasi sebuah lembaga survei dan stasiun televisi misalnya, dapat cepat mengubah peta suara. Ia khawatir peluang pemenang Pemilu hanya dimiliki mereka yang dapat menguasai televisi dengan kekuatan modal ataupun koneksi.
"Bila sebuah lembaga survei berkolaborasi dengan sebuah medium televisi dan menyampaikan hitung cepat secara realtime, itu bisa mempengaruhi sikap pemilih di tempat lain. Makanya, dalam draf kami ada klausul hitung cepat dapat dipublikasikan setelah penghitungan suara selesai di
Kekhawatiran Arif Wibowo masuk akal. Tak lama setelah Pansus RUU Pemilu membahas lembaga survei dan iklan politik di televisi, Hary Tanoedsoedibjo mempublikasikan diri sebagai fungsionaris Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Pemilik grup MNC (RCTI, MNC TV, televisi berbayar Indovision, Sindo TV dan Global TV termasuk jaringan televisi lokal dan radio) itu kini berkolaborasi dengan Surya Paloh, pendiri Nasdem sekaligus bos Metro TV.
Bergabungnya dua bos itu kian meneguhkan tren penumpukan kekuatan bisnis dan politik pada kalangan tertentu saja. Di luar mereka, ada grup Trans Corporation (Trans TV, Trans 7, portal berita detik.com) dan grup Surya Citra Media (SCTV, O Channel, Elshinta TV dan Indosiar).
Salahkah mereka?
Jika bersandar pada UU Perseroan Terbatas dan UU Larangan Praktik Monopoli Persaingan Usaha Tidak Sehat (Antimonopoli), langkah mereka sah-sah saja. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahkan makin mengokohkan upaya penumpukan kekuatan bisnis dan politik. Pertengahan Desember lalu, lembaga ini mengeluarkan keputusan bahwa akuisisi Indosiar oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (pemilik SCTV) adalah sah.
Keputusan KPPU ini hanya menguntungkan pengusaha, dan menyingkirkan kepentingan publik. Demikian pendapat Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP). Ujungnya, langkah bisnis yang dapat berpengaruh ke politik akan terus terjadi jika hanya mengacu pada kedua UU tersebut. Karena itu, KIDP mempersoalkan hal ini melalui payung hukum yang lain.
Awal Januari lalu, KIDP mengajukan uji materi UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi dengan memperkarakan Pasal 18 ayat 1 dan Pasal 34 ayat 4 UU Nomor 32 Tahun 2002. Gugatan ini diajukan karena telah terjadi penafsiran sepihak terhadap kedua pasal tersebut yang digunakan untuk kepentingan sekelompok pemodal. KIDP berharap Mahkamah Konstitusi dapat mengakhiri multitafsir atas kedua pasal tersebut.
"Kedua pasal itu menegaskan bahwa pemusatan kepemilikan atas frekuensi tidak dibenarkan. Akibat tidak dilaksanakannya aturan itu, diversity of ownership dan diversity of content yang diamanahkan UU Penyiaran tidak pernah dinikmati publik," ujar Eko Maryadi, koordinator KIDP.
Monopoli Penyiaran = Menguasai Otak dan Pikiran
Pengamat media dari Universitas Gadjah Mada Amir Effendi Siregar berpendapat, monopoli bersifat kuantitatif dan kualitatif. Jadi, menguasai frekuensi penyiaran sudah termasuk kategori monopoli. "Monopoli dalam dunia penyiaran tidak bisa disamakan dengan industri sepatu," katanya.
Pendapat Amir diamini Paulus Widiyanto. Menurut mantan Ketua Pansus RUU Penyiaran ini, monopoli bisnis penyiaran tak beda dengan monopoli dagang semen. Bahkan, kata dia, efeknya jauh lebih besar karena, "Monopoli penyiaran itu bisa sampai memonopoli otak dan pikiran manusia."
(jurnalparlemen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar