"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Jumat, 23 November 2012

Iran, Bangsa Pemberani yang Mudah Menangis


Sejak 20 Maret lalu, masyarakat Iran sedang merayakan tahun barunya, 1 Farfardin 1391 Hijriah Syamsiah. Hari Raya Tahun Baru Iran ini disebut Nauruz. Perayaannya terlihat lebih meriah dibandingkan Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha. 


Menurut kawan yang sudah lama tinggal di Iran, saat Idul Fitri maupun Idul Adha hanya diliburkan sehari, selanjutnya aktivitas perkantoran dan sekolah berjalan lagi seperti biasa. Tapi untuk merayakan Nauruz, libur sekolah maupun kantor-kantor pemerintahan bisa lebih dari sepekan.


Puncak liburan Nauruz terjadi pada 13 Farfardin 1391 Hijriah Syamsyiah (31 Maret 2012). Pada saat itu masyarakat Iran merayakannya dengan cara ke luar rumah menuju tempat terbuka untuk makan dan bermain bersama keluarga.

Nauruz sebenarnya tradisi bangsa Persia lebih dari 2.500 tahun lalu. Pada hari-hari Nauruz, masyarakat Iran saling berkunjung ke rumah sanak keluarganya, layaknya Idul Fitri dan Idul Adha di daerah kita, Aceh. Tradisi ini juga berlangsung di Afghanistan, Tajikistan, Azerbaijan, Turkmenistan, hingga Pakistan.

Selain karena awal pertanggalan Iran, disebut Nauruz juga karena awal masuknya musim semi. Sebab, berbeda dengan kita, Iran memiliki empat musim yang semua musimnya punya suasana tersendiri. Seperti musim dingin ini, waktu malam lebih panjang daripada siang hari. 

Di sisi lain, kemajuan teknologi Iran sangat mengejutkan negera-negara musuhnya seperti Amerika, Israel, maupun Inggris. Semua ini diraih Iran setelah Revolusi Iran tahun 1979 di bawah pimpinan Ayatullah Imam Khomeini yang kini dijabat Ayatullah Ali Khamenei.

Masalah teknologi Iran, termasuk teknologi nuklirnya dalam beberapa tahun terakhir ini memang menjadi headline sejumlah surat kabar dunia. Terlepas dari jujur tidaknya media-media dunia, berita itu juga dijadikan referensi oleh sejumlah media massa Indonesia. Saking gencarnya berita tersebut, sedikit sekali atau malah bisa dikatakan tidak ada media kita yang menyorot tentang perkembangan budaya, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan seperti ilmu logika, filsafat, fikih, Alquran hingga pengetahuan pemikiran lainnya di Iran.

Terlepas dari perbedaan negeri para mullah dengan kita, satu persamaan yang patut dibanggakan adalah kita dan Iran sama-sama muslim. Bedanya, mayoritas masyarakat Iran dari total penduduknya yang berjumlah sekitar 75 juta jiwa adalah bermazhab Imamiah Istna Asyar (12 imam) atau biasa dikenal dengan Mazhab Syiah atau Mazhab Ja’fari. Berbeda dengan Indonesia, di negeri Salman Alfarisi ini penganut mazhab Sunni tetap ada, namun sangat minim. Sehingga tidak jarang kalau orang Indonesia sering ditanyai Syieh hasti yo ahli tasannun (Anda Syiah atau Sunni)? Saya sendiri sering menjawab, “Man musalmon hastam.” (Saya seorang muslim).

Dari Iran saya teringat bahwa daerah kita saat ini sedang marak-maraknya memperingati maulid Nabi Muhammad saw. Warga Iran justru memperingatinya masing-masing dua kali, yakni hari kelahiran dan hari kewafatan nabi serta kelahiran dan kewafatan para imam. Untuk hari-hari itu, Iran menjadikannya sebagai hari libur nasional dan menyelenggarakan majelis duka di masjid-masjid.

Satu hal yang mencengangkan, rakyat Iran dalam majelis duka sangat mudah menangis hingga bersedu-sedu ketika diceritakan tentang perjuangan dan kesedihan Rasulullah saat berdakwah hingga wafatnya. Mereka juga sangat mudah menangis ketika diceritakan syahidnya Fatimah Zuhra, putri Rasulullah serta para imamnya. Apalagi sejarah mencatat bahwa Imam Ali, Hasan, Husein, dan seterusnya, kesemuanya syahid dengan cara diracun atau dibunuh.

Tragedi kemanusiaan yang paling ditangisi warga Iran adalah pembantaian cucu kesayangan Nabi, Imam Husein di Karbala, Irak, atau biasa dikenal dengan Asyura, oleh ribuan tentara bani Umayyah di bawah kekhalifahan Yazid bin Muawwiyah. 

Untuk peringatan ini, masyarakat Iran di mana-mana menggelar majelis duka hingga pawai besar-besaran. Dalam majelis itu juga mereka mendoakan kutukan untuk para pembunuh atau peracun para imam mereka. Kita di Indonesia justru hanya terbiasa memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad saw, dengan menghadirkan penceramah yang “wajib” bisa melucu. Seolah, tak lucu ya tidak laku.


*M SYUKUR HASBI, mahasiswa Jami’atul Mustafa, Republik Islam Iran, melaporkan dari Teheran
(tribunnews)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar