Sejak 20 Maret lalu, masyarakat Iran sedang merayakan tahun barunya, 1 Farfardin 1391 Hijriah Syamsiah. Hari Raya Tahun Baru Iran ini disebut Nauruz. Perayaannya terlihat lebih meriah dibandingkan Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha.
Menurut kawan yang
sudah lama tinggal di Iran, saat Idul Fitri maupun Idul Adha hanya diliburkan
sehari, selanjutnya aktivitas perkantoran dan sekolah berjalan lagi seperti
biasa. Tapi untuk merayakan Nauruz, libur sekolah maupun
kantor-kantor pemerintahan bisa lebih dari sepekan.
Puncak liburan Nauruz terjadi pada 13 Farfardin 1391 Hijriah Syamsyiah (31
Maret 2012). Pada saat itu masyarakat
Iran merayakannya dengan cara ke
luar rumah menuju tempat terbuka untuk makan dan bermain bersama keluarga.
Nauruz sebenarnya tradisi bangsa
Persia lebih dari 2.500 tahun lalu.
Pada hari-hari Nauruz, masyarakat
Iran saling berkunjung ke rumah
sanak keluarganya, layaknya Idul Fitri dan Idul Adha di daerah kita, Aceh.
Tradisi ini juga berlangsung di
Afghanistan,
Tajikistan,
Azerbaijan,
Turkmenistan,
hingga
Pakistan.
Selain karena awal pertanggalan
Iran,
disebut Nauruz juga karena awal masuknya musim semi. Sebab, berbeda dengan
kita,
Iran
memiliki empat musim yang semua musimnya punya suasana tersendiri. Seperti
musim dingin ini, waktu malam lebih panjang daripada siang hari.
Di sisi lain, kemajuan teknologi
Iran
sangat mengejutkan negera-negara musuhnya seperti
Amerika, Israel,
maupun Inggris. Semua ini diraih
Iran
setelah Revolusi
Iran
tahun 1979 di bawah pimpinan Ayatullah Imam Khomeini yang kini dijabat
Ayatullah Ali Khamenei.
Masalah teknologi
Iran,
termasuk teknologi nuklirnya dalam beberapa tahun terakhir ini memang menjadi
headline sejumlah
surat
kabar dunia. Terlepas dari jujur tidaknya media-media dunia, berita itu juga
dijadikan referensi oleh sejumlah media
massa Indonesia.
Saking gencarnya berita tersebut, sedikit sekali atau malah bisa dikatakan
tidak ada media kita yang menyorot tentang perkembangan budaya, ekonomi,
pendidikan, ilmu pengetahuan seperti ilmu logika, filsafat, fikih, Alquran
hingga pengetahuan pemikiran lainnya di
Iran.
Terlepas dari perbedaan negeri para mullah dengan kita, satu persamaan yang
patut dibanggakan adalah kita dan
Iran sama-sama muslim. Bedanya,
mayoritas masyarakat
Iran
dari total penduduknya yang berjumlah sekitar 75 juta jiwa adalah bermazhab
Imamiah Istna Asyar (12 imam) atau biasa dikenal dengan Mazhab Syiah atau
Mazhab Ja’fari. Berbeda dengan
Indonesia,
di negeri Salman Alfarisi ini penganut mazhab Sunni tetap ada, namun sangat
minim. Sehingga tidak jarang kalau orang
Indonesia sering ditanyai Syieh
hasti yo ahli tasannun (Anda Syiah atau Sunni)? Saya sendiri sering menjawab,
“Man musalmon hastam.” (Saya seorang muslim).
Dari
Iran
saya teringat bahwa daerah kita saat ini sedang marak-maraknya memperingati
maulid Nabi Muhammad saw. Warga
Iran
justru memperingatinya masing-masing dua kali, yakni hari kelahiran dan hari
kewafatan nabi serta kelahiran dan kewafatan para imam. Untuk hari-hari itu,
Iran
menjadikannya sebagai hari libur nasional dan menyelenggarakan majelis duka di
masjid-masjid.
Satu hal yang mencengangkan, rakyat
Iran dalam majelis duka sangat
mudah menangis hingga bersedu-sedu ketika diceritakan tentang perjuangan dan
kesedihan Rasulullah saat berdakwah hingga wafatnya. Mereka juga sangat mudah
menangis ketika diceritakan syahidnya Fatimah Zuhra, putri Rasulullah serta
para imamnya. Apalagi sejarah mencatat bahwa Imam Ali, Hasan, Husein, dan
seterusnya, kesemuanya syahid dengan cara diracun atau dibunuh.
Tragedi kemanusiaan yang paling ditangisi warga
Iran adalah pembantaian cucu
kesayangan Nabi, Imam Husein di Karbala, Irak, atau biasa dikenal dengan
Asyura, oleh ribuan tentara bani Umayyah di bawah kekhalifahan Yazid bin
Muawwiyah.
Untuk peringatan ini, masyarakat
Iran di mana-mana menggelar majelis
duka hingga pawai besar-besaran. Dalam majelis itu juga mereka mendoakan
kutukan untuk para pembunuh atau peracun para imam mereka. Kita di Indonesia
justru hanya terbiasa memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad saw, dengan
menghadirkan penceramah yang “wajib” bisa melucu. Seolah, tak lucu ya tidak
laku.
*M SYUKUR HASBI, mahasiswa Jami’atul Mustafa, Republik Islam
Iran,
melaporkan dari Teheran
(tribunnews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar