Sejak pembentukan rezim zionis Israel tahun 1948, sejak saat itu pula rakyat Palestina senantiasa berjuang untuk membebaskan tanah airnya. Dalam sejarah perjuangan rakyat Palestina, mereka menggunakan berbagai macam metode dalam bingkai partai politik, kelompok, gerakan rakyat atau pemogokan demi mewujudkan cita-citanya.
Bangsa Palestina
dalam perjuangannya berharap besar kepada siapa saja yang mengangkat bendera perjuangan melawan rezim
Zionis Israel.
Oleh karenanya, sejak pendudukan 60 tahun Palestina, kita mengenal tiga model
berbeda dalam sejarah perjuangan rakyat Palestina.
1. Nasionalisme Arab
Sejak tahun 1948 negara-negara Arab dengan bersandar pada semangat nasionalisme
Arab atau lebih dikenal dengan nama Pan Arabisme berusaha menghancurkan rezim
Zionis Israel
dan menyelamatkan Palestina. Negara-negara Arab yang digerakkan oleh Suriah,
Mesir, Yordania, Lebanon dan Irak terlibat perang dengan Israel sebanyak 4 kali
(tahun 1948, 1956, 1967 dan 1973), namun dapat dikata di semua perang yang
dilakukan mereka tidak berhasil. Sebaliknya,
Israel malah
berhasil menguasai banyak daerah negara-negara Arab dan mendudukinya dengan
bantuan para pendukung internasionalnya.
Negara-negara Arab memulai perang pertama terhadap rezim Zionis Israel tahun
1948. Di hari-hari pertama perang, negara-negara Arab muncul sebagai pemenang,
namun Israel
dengan bantuan Amerika dan negara-negara Eropa membalikkan keadaan. Setelah 10
hari perang mereka menjadi pemenang Perang Pertama ini. Hasil dari perang tahun
1948, Rezim Zionis Israel
berhasil memperluas tanah pendudukannya 1/5 dari sebelumnya dan dampaknya
banyak orang-orang Arab yang harus mengungsi dari tanah airnya.
8 tahun setelah itu dan pada tahun 1956 Perang Kedua Arab dan Israel terjadi
dengan alasan nasionalisasi terusan Suez oleh Gamal Abdul Nasser, Presiden
Mesir waktu itu. Israel
kembali memenangkan perang ini dan menguasai daerah cukup luas dari gurun Sina
dan Jalur Gaza.
Namun boleh dikata kemenangan besar rezim Zionis Israel atas Pan Arabisme terjadi
dalam Perang Ketiga yang dikenal dengan Perang 6 hari. Pada bulan Mei 1967,
pasukan militer Rezim Zionis Israel
telah bersiap-siap di jalur perbatasan dengan Suriah. Presiden Mesir Gamal
Abdul Nasser dengan sigap mengingatkan pihak Suriah akan kemungkinan serangan
mendadak rezim Zionis Israel.
Militer Mesir, Rusia, Yordania, Irak dan Kuwait telah siaga penuh. Pihak
Arab dan Israel
saling melontarkan tuduhan akan serangan musuh dan saling melakukan propaganda
terhadap pihak lain.
Ketika kemungkinan terjadinya perang semakin memuncak, Gedung Putih dan Kremlin
mengambil keputusan untuk mencegah terjadinya perang. Duta Besar Uni Soviet
untuk Mesir di tengah malam membangunkan Nasser
dan memperingatkannya agar tidak mengeluarkan perintah perang. Nasser mengikuti
peringatan Uni Soviet dengan gambaran bahwa Amerika juga telah memperingatkan Israel agar
tidak memulai perang. Abdul Nasser bukan saja tidak melakukan serangan terlebih
dahulu, tapi ia juga tidak mengambil langkah hati-hati untuk menghadapi
kemungkinan serangan Israel.
Abdul Nasser bahkan membiarkan bandara-bandara Mesir tanpa pertahanan dan
pesawat-pesawat tempur tanpa dikamuflase.
Perang akhirnya terjadi juga tanggal 5 Juni. Serangan luas dan tiba-tiba angkatan
udara rezim Zionis Israel
berhasil menghancurkan bandara-bandara udara Mesir, Suriah, Yordania dan Irak
hanya dalam 3 jam. Setelah itu pasukan darat militer Israel
memasuki medan
perang dengan dukungan angkatan udaranya. Hanya dalam 6 hari, rezim Zionis
Israel berhasil menduduki gurun Sina, Tepi Barat Sungai Jordan, Jalur Gaza,
Dataran Tinggi Golan, kota penting Suriah al-Qunaytirah dan seluruh kota Baitul
Maqdis yang sebelum ini diumumkan PBB sebagai kota internasional. Dampak dari
perang ini, sekitar satu juta orang Arab yang hidup di daerah-daerah pendudukan
Israel menjadi pengungsi dan
luas daerah yang dijajah Israel
tiga kali lipat lebih luas dari sebelumnya.
Akibat Perang 6 hari sangat menyakitkan negara-negara Arab dan menistakan
mereka. Sementara itu rakyat Palestina mutlak berputus asa dari Pan Arabisme
dan bantuan negara-negara Arab untuk membebaskan tanah air mereka. Dalam
kondisi yang demikian, tokoh-tokoh Palestina berpikiran untuk memperkuat
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dibentuk pada tahun 1964.
2. Sosialisme
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dibentuk pada tahun 1964 dengan tujuan
menghapus Israel dan dijadikan sebagai organisasi nasionalis dan disepakati
oleh para pemimpin negara-negara Arab. Para
pemimpin Arab sejatinya tengah berusaha untuk mengontrol orang-orang Palestina
garis keras dalam sebuah organisasi.
Hingga sebelum Perang 6 hari tahun 1967, kepemimpinan PLO berada di tangan
orang-orang Palestina yang dipengaruhi negara-negara Arab, khususnya Mesir,
namun setelah Perang 6 hari, tokoh-tokoh Palestina akhirnya memegang sendiri
kendali PLO. Mereka berhasil melakukan operasi-operasi gerilya terhadap Israel dan
secara perlahan-lahan berhasil mengembalikan sebagian identitas dan semangat
rakyat Palestina yang telah hilang.
Sebagaimana telah disebutkan, setelah Perang 6 hari dengan dimulainya
kepemimpinan Yasser Arafat, garis kebijakan PLO mengalami perubahan dan mampu
mengakhiri masa kebergantungannya terhadap negara-negara Arab. Berbagai
keberhasilan PLO dan Arafat berlanjut hingga bulan Oktober 1973, yakni mulainya
Perang Keempat Arab-Israel.
Kegagalan beruntun negara-negara Arab di tiga perang sebelumnya bagi mereka
sebuah penghinaan, penistaan dan sangat memalukan. Kondisi ini menyebabkan
negara-negara Arab, khususnya Mesir dan Suriah memutuskan untuk bersatu dengan
PLO dengan tujuan membalas kerugian sebelumnya dan mengembalikan pamor mereka
yang telah hilang. Untuk itu mereka berencana untuk melakukan serangan luas
terhadap Rezim Zionis Israel.
Demi menyukseskan rencana ini, militer negara-negara Arab memulai serangan
mendadak pada tanggal 6 Oktober, bertepatan dengan hari Yom Kipur orang-orang
Yahudi. Di saat-saat pertama serangan mendadak terhadap Israel, mereka berhasil membebaskan banyak
daerah yang diduduki Israel.
Namun dukungan NATO, khususnya Amerika dan pengiriman bantuan senjata ke Israel
dengan membuat jembatan udara antara pangkalan-pangkalan militer NATO di Eropa
dan Israel membuat situasi perang berbalik menguntungkan Israel dan akhirnya
negara-negara Arab kembali harus menerima kekalahan yang keempat kalinya.
Ada perbedaan
penting antara perang Arab-Israel kali ini dengan perang-perang sebelumnya.
Dalam perang Oktober 1973 negara-negara Arab sudah tidak lagi berperang dengan
motivasi menghancurkan Israel
dan menyelamatkan rakyat Palestina, melainkan mereka lebih memprioritaskan
kepentingan nasionalnya. Tujuan mereka berperang demi membebaskan daerah-daerah
mereka yang diduduki Israel.
Mesir berperang untuk menguasai kembali gurun Sina, sementara Suriah ingin
mengembalikan dataran tinggi Golan ke pangkuannya. Dengan demikian, pihak asli
yang kalah dalam perang ini adalah PLO dan rakyat Palestina. Karena Mesir dan
Suriah sekalipun kalah dalam perang, namun mereka mampu mengambil kembali
sebagian dari daerah yang diduduki Israel, sementara rakyat Palestina
dan PLO tidak sempat melihat sejengkal pun dari tanah mereka.
Oleh karenanya, kembali lagi perang terakhir antara Arab dan Israel
membuktikan kepada rakyat Palestina bahwa kecenderungan nasionalisme yang
diusung PLO juga ternyata tidak mampu membantu mereka membebaskan tanah air
Palestina. Medan perang melawan penjajah Israel boleh dikata jalan di tempat sehingga
kemenangan Revolusi Islam Iran
yang akhirnya dipilih sebagai model baru dalam melakukan perlawanan demi
membebaskan Palestina.
3. Islam
Kelompok-kelompok pejuang Palestina setelah perang tahun 1973 bukan hanya tidak
berhasil dalam perjuangannya, khususnya Organisasi Pembebasan Palestina (PLO)
yang berjuang dalam bingkai sosialis dan sekuler, tapi friksi di berbagai
kalangan rakyat Palestina semakin menghebat. Tentu saja perlu diketahui bahwa
sekalipun kelompok-kelompok ini berselisih, tapi mereka tetap melakukan
perjuangan melawan rezim Zionis Israel
dari luar Palestina pendudukan secara terbatas dan tidak langsung.
Markas PLO dan kelompok-kelompok perjuangan lainnya berada di negara-negara
tetangga Palestina pendudukan seperti Suriah, Mesir, Yordania dan Lebanon. Oleh
karenanya mereka terpaksa menyesuaikan kebijakannya dengan pemerintah-pemerintah
Arab yang memberikan mereka tempat. Dalam kondisi yang demikian, perjuangan
melawan rezim penjajah al-Quds dilakukan dengan syarat disepakati oleh
negara-negara tuan rumah. Padahal negara-negara Arab di perang Oktober 1973
terbukti tidak lagi mempedulikan cita-cita Palestina. Bagi mereka yang penting
adalah melindungi kepentingannya dalam bingkai hubungan dengan Israel.
Dengan dasar ini, sangat wajar bila pemerintah-pemerintah Arab memaksakan model
perjuangan yang sesuai dengan kondisi negaranya kepada para pejuang Palestina.
Karena khawatir akan reaksi Israel
terhadap mereka. Sebagian negara Arab seperti Yordania malah berbuat lebih
jahat dengan menghadapi para pejuang Palestina.
Dalam kondisi yang demikian dan setelah bangsa Palestina melewati pengalaman
pahit bersama para pemimpin politiknya dan tidak lagi ada harapan, kemenangan
revolusi Islam terjadi di Iran tahun 1979 dengan slogan pembebasan al-Quds.
Revolusi Islam Iran
mampu menghilangkan debu-debu keputusasaan dari wajah rakyat Palestina.
Setelah kemenangan Revolusi Islam Iran, gelombang kesadaran akan
Islam di Timur Tengah meningkat hebat. Generasi muda Palestina yang telah putus
asa akan perjuangan tidak prinsip berbagai organisasi dan kelompok Palestina
dalam bingkai Sosialisme dan Nasionalisme mulai merasakan semangat revolusi
yang menguasai Iran.
Kemenangan revolusi Iran
secara perlahan-lahan berhasil memudarkan peran kelompok-kelompok nasional dan
sosialis di Palestina pendudukan.
Pembentukan Gerakan Jihad Islam
Setahun setelah kemenanganRrekvolusi Islam Iran, dibentuk gerakan Islam di
Palestina pendudukan. Pembentukan Jihad Islam memunculkan potret baru mengenai
Islam politik dan para pemimpin agama-politik bagi rakyat Palestina.
Gerakan Jihad Islam dan para pemimpinnya berhasil mengaitkan agama dan politik
serta melakukan perjuangan bersenjata melawan rezim Zionis Israel.
Keistimewaan lain Gerakan Jihad Islam bila dibandingkan dengan gerakan-gerakan
lain adalah Jihad Islam tidak pernah mengambil kebijakan dari pihak luar
Palestina pendudukan yang bertentangan dengan kepentingan dan kebijakan di
internal Palestina. Jihad Islam dengan aksi-aksi operasi mati syahid dan
keberanian luar biasa hingga kini memainkan peran penting dalam mengembalikan
kepercayaan diri rakyat Palestina. Jihad Islam juga berperan penting dalam
mempersiapkan dimulainya Intifada rakyat Palestina di bulan Desember 1987.
Proses Terbentuknya Intifada
Intifada Palestina pada tahun 1987 dimulai tanpa kebergantungan kelompok atau
koordinasi sebelumnya partai-partai politik yang berafiliasi dengan
negara-negara Arab, tapi mendapat ilham dari revolusi Islam Iran. Intifada Palestina merupakan
hasil terbesar front muqawama dalam sejarah perjuangan melawan rezim Zionis Israel. Karena
seluruh elemen masyarakat Palestina ikut dalam proses muqawama.
Di tahun yang sama, setelah Intifada Palestina semakin menguat di bulan
Desember 1987, terbentuk sebuah organisasi perjuangan baru bernama Gerakan
Perlawanan Islam Palestina atau Hamas. Pembentukan Hamas dilakukan oleh Gerakan
Ikhwanul Muslimin menyusul Intifada Palestina merupakan awal peran serta
Ikhwanul Muslimin dalam sebuah aksi teratur dan berkesinambungan.
Perlahan-lahan Hamas berhasil menarik perhatian masyarakat dan berubah menjadi
elemen asli Intifada di Palestina pendudukan. Hal ini menyebabkan semakin
melebarnya friksi antara Hamas dan PLO yang memilih perdamaian dengan rezim
Zionis Israel.
Pada tahun 1993 Israel
memanfaatkan PLO untuk mengontrol gerakan-gerakan muqawama seelah semakin
meningkatnya aksi-aksi perlawanan Palestina. Untuk itu Israel mulai melakukan berbagai perundingan
dengan PLO dan dalam Konferensi Oslo Israel
mengusulkan pembentukan Otorita Palestina dengan ibu kota Ramallah. Setelah terbentuknya Otorita
Palestina, Rezim Zionis Israel
memberikan bantuan finansial dan senjata-senjata ringan. Hal ini menggembirakan
rakyat Palestina karena mereka sudah tidak lagi melihat polisi-polisi Israel yang berlalu lalang di Tepi Barat Sungai Jordan dan
Jalur Gaza, tapi polisi Palestina.
Dalam kondisi yang demikian, Israel
setelah memberikan berbagai insentif kepada Yasser Arafat mulai mengajukan
tuntutan-tuntutannya. Mereka menuntut Arafat agar mengahadapi gerakan-gerakan
Islam dan menghalangi aktivitas merusak. Menyusul perintah Arafat, sistem
keamanan Otorita Palestina mulai melakukan aksinya dan menangkap serta
memenjarakan banyak pejuang dan para pemimpin Jihad Islam dan Hamas.
Dengan cara ini Israel
berhasil membuat orang-orang Palestina saling berhadap-hadapan dan tanpa perlu
mengeluarkan biaya besar mereka berhasil mengontrol gerakan-gerakan perlawanan
Islam. Kondisi ini berjalan selama 7 tahun, hingga pada tahun 2000 rakyat
Palestina mulai letih menyaksikan berbagai perundingan yang tidak kunjung
membuahkan hasil. Mereka kemudian memilih kembali melakukan perlawanan
bersenjata dan terbentuk Intifada baru al-Aqsa. Dimulainya Intifada al-Aqsa
bertepatan dengan semakin terisolasinya Yasser Arafat secara politik dan
menjadi tahanan rumah di Ramallah. Kenyataan ini menjadi titik tolak kemunduran
Otorita Palestina, sementara kelompok-kelompok muqawama Islam semakin kuat
dengan dukungan rakyat.
Muqawama Islam di perang Gaza berhasil
membuktikan bahwa kini mereka memiliki basis rakyat yang kuat dan tidak ada
satu kekuatan pun yang dapat memaksa mereka untuk menerima arogansi rezim
Zionis Israel.
(IRIB Indonesia
/ Saleh Lapadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar